Ramalan Mengerikan IMF Bikin Nasib Batu Bara Makin Suram

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
25 June 2020 10:41
Coal piles are seen at a warehouse of the Trypillian thermal power plant, owned by Ukrainian state-run energy company Centrenergo, in Kiev region, Ukraine November 23, 2017. Picture taken November 23, 2017. REUTERS/Valentyn Ogirenko
Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan Newcastle untuk kontrak yang ramai ditransaksikan kembali melemah pada perdagangan kemarin. Harga batu bara sampai saat ini stabil di rentang bawah dan belum mampu keluar dari cekaman pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Kemarin (24/6/2020) harga batu bara ditutup melemah 0,38% ke US$ 52,65/ton. Sejak 10 Juni lalu, harga komoditas unggulan Australia dan RI ini cenderung bergerak di rentang sempit di sekitar US$ 52 - US$ 54. 

Ada dua faktor utama yang masih menyebabkan harga batu bara tertekan. Pertama adalah permintaan yang masih lemah dan kedua adalah kecemasan akan lonjakan kasus baru infeksi Covid-19 yang menjadi ancaman terjadinya gelombang kedua wabah.

Saat ini harga batu bara patokan China yaitu Qinhuangdao terus menguat dan kini harganya dibanderol di US$ 80,21/ton. Harga batu bara domestik China sebenarnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga batu bara lintas laut (seaborne).

Dalam kondisi normal (tanpa pandemi), biasanya situasi seperti sekarang ini, impor batu bara China seharusnya melonjak karena harga batu bara impor jauh lebih kompetitif.

Namun pembatasan impor batu bara China sudah mulai dilakukan. Pembatasan ini untuk mendongkrak permintaan batu bara domestik.

Lagipula impor batu bara China sudah termasuk 'jor-joran' di bulan April ketika aktivitas ekonomi China mulai dipacu lagi pasca lockdown ketat.

Pekan lalu setidaknya tiga perusahaan utilitas China diminta oleh bea cukai lokal untuk membatalkan pengiriman 9-12 kapal kargo Supramax yang mengangkut 45-50 ribu ton batu bara (seaborne) untuk periode Juli dan Agustus.

Perusahaan-perusahaan utilitas tersebut dikabarkan telah menggunakan kuota impornya dan penjual diminta untuk mencari importir baru yang masih memiliki kuota di China. Reuters melaporkan kapal kargo tersebut kebanyakan berasal dari Indonesia dan Rusia.

Kebijakan ini jelas mempengaruhi dinamika pasar batu bara lintas laut ketika permintaan global sedang lemah dan harganya sangat rendah. Di saat yang sama harga batu bara China juga sedang mengalami kenaikan.

Beralih ke Negeri Ginseng dan Negeri Sakura, impor Korea Selatan dan Jepang hingga 19 Juni lalu masing-masing sebesar 0,74 juta ton dan 2,18 juta ton. Volume impor pekan lalu lebih rendah dari minggu sebelumnya yang masing-masing sebanyak 2,11 juta ton dan 2,83 juta ton.

Berdasarkan perkiraan Refinitiv, suhu udara di bagian Asia Utara akan cenderung lebih hangat sehingga kebutuhan pendingin akan meningkat. Seharusnya dengan kondisi seperti ini, permintaan terhadap batu bara akan lebih terdongkrak.

Namun harga gas yang sudah terlalu murah disertai dengan tekanan untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan membuat Korea Selatan dan China akan cenderung memilih gas.

Impor batu bara India juga masih rendah. Data Refinitiv Coal Flow impor batu bara pekan lalu hanya sebanyak 1,32 juta ton dan lebih rendah dari pekan sebelumnya 1,6 juta ton. 

Dari sisi perkembangan pandemi Covid-19, jumlah kasus secara global sekarang sudah di atas angka 9,4 juta orang. Amerika Serikat (AS) masih menjadi negara dengan kasus terbanyak.

Lonjakan kasus baru yang terjadi di Negeri Paman Sam membuat beberapa gubernur New York, New Jersey dan Connecticut memberlakukan kebijakan karantina 14 hari bagi para pengunjung dari sembilan negara bagian lain ketika sampai.

Di Jerman laju reproduksi virus juga mengalami peningkatan menjadi 2,76. Itu artinya 1 orang pasien atau penderita Covid-19 bisa menularkan ke hampir 3 orang lainnya.

Peningkatan kasus di Jerman membuat Pemerintah Negara Bagian North Rhine-Westphalia kembali memberlakukan lockdown di dua distrik agar virus tidak menyebar lebih lanjut. Mini-lockdown ini rencananya berlaku hingga 30 Juni. 

Kabar yang turut membebani pasar adalah proyeksi perekonomian versi Dana Moneter Internasional (IMF) yang lebih suram dibandingkan proyeksi April lalu. 

Lembaga yang bermarkas di Washington DC itu merevisi turun pertumbuhan ekonomi tahun 2020. IMF menurunkan 1,9 poin persentase proyeksi pertumbuhan output global menjadi minus 4,9% untuk tahun ini.

Pemulihan ekonomi diproyeksi akan lebih lambat dan bertahan dari yang diprediksi sebelumnya. Di 2021 ekonomi global diramal 5,4%, atau lebih rendah 6,5 poin persentase dibanding outlook Januari 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentimen Buruk, Harga Batu Bara Dekati US$ 50/Ton

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular