Rupiah Akhirnya Menguat, tapi Tak Bisa Lari Kencang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 June 2020 16:00
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Rabu (24/6/2020), setelah melemah dan stagnan dalam tiga hari terakhir. Meski demikian, laju penguatan mata uang Garuda masih belum sekencang bulan April dan Mei lalu.

Saat pembukaan perdagangan, rupiah menguat 0,07% di Rp 14.100/US$. Mayoritas perdagangan dihabiskan di zona hijau, meski sempat melemah 0,14% di Rp 14.130/US$.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.080/US$, menguat 0,21% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Dengan penguatan 0,21%, rupiah belum mampu menembus 3 besar mata uang terbaik Asia hari ini. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:10 WIB.

Sejak mencapai level terkuat dalam lebih dari 3 bulan terakhir Rp 13.850/US$, rupiah belum lagi menunjukkan laju kencang. Rupiah masuk ke fase konsolidasi, bergerak tipis-tipis dan cenderung melemah.

Sejak awal April hingga 8 Juni lalu, rupiah melaju kencang, mencatat penguatan hingga lebih dari 15%. Kepanikan yang terjadi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang mulai mereda, membuat aliran modal kembali masuk ke dalam negeri yang membuat rupiah perkasa.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan pada periode April sampai 8 Juni terjadi inflow di pasar obligasi senilai Rp 14 triliun.

Sementara sejak 8 hingga 22 Juni lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 6,14 triliun. Akibatnya, rupiah menjadi kekurangan "bensin" untuk kembali melaju kencang.

Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan Indonesia sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.

Sementara pada hari ini, sepertinya terjadi inflow di pasar obligasi, yang terlihat dari penurunan yield surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun sebesar 2,1 basis poin (bps) menjadi 7,174%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga naik dan yield turun, artinya permintaan SBN sedang tinggi yang menjadi indikasi capital inflow.

Sentimen pelaku pasar yang cukup bagus menjadi penopang penguatan rupiah. Membaiknya sentimen tersebut tercermin dari penguatan bursa saham AS (Wall Street) Selasa kemarin. Bursa saham Eropa juga berakhir di zona hijau kemarin.

Tanda-tanda pemulihan ekonomi di Eropa menjadi pemicu penguatan bursa saham. Kemarin, Markit melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur dan jasa dari zona euro yang cukup mengejutkan. PMI manufaktur Prancis kembali menunjukkan ekspansi, kemudian Jerman dan zona euro secara keseluruhan meski masih berkontraksi tetapi menunjukkan perbaikan yang jauh lebih baik dari prediksi analis.

Data PMI tersebut mengingatkan PMI manufaktur China yang juga langsung berekspansi ketika kebijakan lockdown dilonggarkan.
Harapan akan pemulihan ekonomi V-shape pun kembali muncul, yang membuat mood pelaku pasar membaik.

Selain itu, klarifikasi penasehat perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro, terkait ucapannya mengenai berakhirnya kesekapatan dagang AS-China juga membuat mood pelaku pasar membaik.

"Komentar saya diterjemahkan jauh di luar konteks," kata Navarro menanggapi pernyataannya yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.

"Mereka tidak ada melakukan perubahan apapun pada kesepakatan dagang fase I, yang masih tetap seperti sebelumnya. Saya hanya mengatakan kurangnya kepercayaan yang kita miliki saat ini pada Partai Komunis China setelah mereka berbohong mengenai asal virus (corona) China dan menyebarkan pandemi ke seluruh dunia," tambahnya.

Presiden AS, Donald Trump juga menyatakan kesepakatan dagang dengan China masih tetap melalui akun Twitternya.

Sayangnya, adanya risiko penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) gelombang kedua membuat pelaku pasar sedikit berhati-hati mengalirkan modalnya. Padahal, rupiah sangat mengandalkan capital inflow sebagai "bensin" untuk melaju.

China, dan Korea Selatan sudah mengalami "serangan" gelombang kedua. Kini "serangan" datang ke Jerman.

Pada hari Minggu lalu, tingkat reproduksi (Rt) Covid-19 di Jerman naik menjadi 2,88 dari sebelumnya 1,79. Artinya 1 orang yang terinfeksi Covid-19 dapat menularkan ke 2,88 orang, atau dari 100 orang dapat menularkan ke 288 orang.

Benar saja, Jerman yang sebelumnya disebut negara paling sukses meredam Covid-19 di Eropa, kini harus kembali menerapkan kebijakan lockdown di wilayah Guetersloh dan Warendorf di Jerman barat. Lockdown akan dilakukan setidaknya hingga 30 Juni.

Risiko gelombang kedua Covid-19 yang sudah merembet ke Eropa membuat pelaku pasar berhati-hati mengalirkan modal ke negara emerging market, sehingga laju penguatan rupiah tertahan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular