
Rupiah 2021, Investor di 'Tim' Sri Mulyani atau BI?

Untuk saat ini, para investor 'setuju' dengan BI bahwa rupiah memang berpeluang kembali menguat. Tetapi patut digarisbawahi itu berlaku 'untuk saat ini', sebab kondisi fundamental bersifat dinamis. Apalagi di tengah kondisi pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian global dipenuhi ketidakpastian.
Rupiah sejak bulan April memang menunjukkan kinerja impresif, menguat lebih dari 15% hingga awal Juni lalu. Pada pekan lalu menyentuh level Rp 13.810/US$ yang merupakan level terkuat sejak 24 Februari.
Penguatan rupiah tersebut sejalan dengan survei 2 mingguan yang dilakukan oleh Reuters. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi jual (short) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (11/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,69, turun jauh dari rilis dua pekan sebelumnya -0,05. Hasil tersebut menjadi penurunan keenam beruntun.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Dengan survei terbaru yang menunjukkan angka minus, artinya pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah. Artinya rupiah semakin diminati pelaku pasar, dan ke depannya diprediksi akan terus menguat, sehingga mengambil posisi long.
Di bandingkan mata uang Asia lainnya, posisi long rupiah menjadi yang tertinggi. Itu artinya rupiah sangat menarik bagi pelaku pasar, dan menjadi mata uang terbaik untuk dijadikan investasi. Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.
Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Dengan posisi long rupiah yang terus meningkat, ada peluang rupiah akan melanjutkan tren penguatan.
Selain survei tersebut, bank investasi ternama Morgan Stanley juga menaikkan peringkat aset-aset Indonesia dari underweight menjadi overweight menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan dalam negeri.
Rekomendasi overweight diartikan bahwa aset-aset tersebut akan mengalami kenaikan yang bisa melebihi instrumen atau aset lain yang menjadi patokannya.
"Kami menaikkan Indonesia dan Yunani menjadi overweight bersama dengan pasar lainnya seperti China, Rusia, India, Brasil, dan Singapura. Namun kami masih underweight untuk Arab Saudi, Meksiko, dan Thailand. Indonesia menawarkan suku bunga riil ketiga tertinggi di antara negara-negara berkembang," tulis Morgan Stanley, dalam risetnya, dilansir Rabu (17/6/2020).
Bukan tanpa alasan Morgan Stanley memberi apresiasi terhadap Indonesia. Morgan Stanley menilai ekonomi Indonesia bisa pulih dengan cepat dari pandemi Covid-19.
Menurut Morgan Stanley, Indonesia sudah bisa mencapai level pertumbuhan ekonomi pra-corona pada kuartal I-2020. Lebih cepat ketimbang negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
(pap/pap)