Rupiah 2021, Investor di 'Tim' Sri Mulyani atau BI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 June 2020 16:17
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, dan Bank Indonesia (BI) memiliki proyeksinya masing-masing terkait nilai tukar rupiah pada 2021. Masalahnya, proyeksi keduanya terbilang cukup jomplang.

Senin kemarin, Sri Mulyani merevisi posisi nilai tukar rupiah dalam kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM-PPKF), dari yang sebelumnya Rp Rp14.500-15.500/US$ menjadi Rp 14.900 - Rp 15.300/US$.

"Untuk nilai tukar rupiah, sedikit menguat dari KEM-PPKF yang memang disusun pada situasi April saat volatilitas tinggi. Sekarang kita mengusulkan pada Rp 14.900 - Rp 15.300 per dolar Amerika Serikat (AS)," ujar Sri Mulyani saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).

Sementara itu BI memproyeksi posisi nilai tukar rupiah pada 2021 akan mencapai Rp 13.700-Rp 14.300 per dolar AS.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan nilai tukar rupiah pada 2021 diperkirakan menguat seiring dengan berbagai faktor positif yang terjadi, termasuk aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik.

"Kami melihat juga berlanjutnya penguatan rupiah dengan tingginya imbal hasil aset keuangan domestik, membaik kepercayaan investor dan menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global," jelas Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6/2020).

"Rata-rata nilai tukar rupiah pada 2020 pada kisaran Rp 14.000 sampai Rp 14.600 per dollar AS dan akan menguat di 2021 pada kisaran Rp 13.700 - Rp 14.300 per dollar AS," kata Perry melanjutkan.

Kendati demikian, pemerintah, BI, dan Komisi XI DPR akhirnya menyepakati nilai tukar rupiah ditargetkan di kisaran Rp 13.700 - Rp 14.900 per dolar AS di tahun 2021.

"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."

Sri Mulyani memang tidak ingin rupiah terlalu menguat. Pada Kamis (17/6/2020) pekan lalu, dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021, Sri Mulyani menyampaikan pihaknya juga tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.

"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.

Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.

Di sisi lain, BI melihat faktor fundamental saat ini mendukung penguatan rupiah lebih lanjut.

Untuk saat ini, para investor 'setuju' dengan BI bahwa rupiah memang berpeluang kembali menguat. Tetapi patut digarisbawahi itu berlaku 'untuk saat ini', sebab kondisi fundamental bersifat dinamis. Apalagi di tengah kondisi pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian global dipenuhi ketidakpastian.

Rupiah sejak bulan April memang menunjukkan kinerja impresif, menguat lebih dari 15% hingga awal Juni lalu. Pada pekan lalu menyentuh level Rp 13.810/US$ yang merupakan level terkuat sejak 24 Februari.

Penguatan rupiah tersebut sejalan dengan survei 2 mingguan yang dilakukan oleh Reuters. Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi jual (short) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (11/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,69, turun jauh dari rilis dua pekan sebelumnya -0,05. Hasil tersebut menjadi penurunan keenam beruntun.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Dengan survei terbaru yang menunjukkan angka minus, artinya pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah. Artinya rupiah semakin diminati pelaku pasar, dan ke depannya diprediksi akan terus menguat, sehingga mengambil posisi long.

Di bandingkan mata uang Asia lainnya, posisi long rupiah menjadi yang tertinggi. Itu artinya rupiah sangat menarik bagi pelaku pasar, dan menjadi mata uang terbaik untuk dijadikan investasi. Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.

Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).

Dengan posisi long rupiah yang terus meningkat, ada peluang rupiah akan melanjutkan tren penguatan.

Selain survei tersebut, bank investasi ternama Morgan Stanley juga menaikkan peringkat aset-aset Indonesia dari underweight menjadi overweight menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan dalam negeri.

Rekomendasi overweight diartikan bahwa aset-aset tersebut akan mengalami kenaikan yang bisa melebihi instrumen atau aset lain yang menjadi patokannya.

"Kami menaikkan Indonesia dan Yunani menjadi overweight bersama dengan pasar lainnya seperti China, Rusia, India, Brasil, dan Singapura. Namun kami masih underweight untuk Arab Saudi, Meksiko, dan Thailand. Indonesia menawarkan suku bunga riil ketiga tertinggi di antara negara-negara berkembang," tulis Morgan Stanley, dalam risetnya, dilansir Rabu (17/6/2020).

Bukan tanpa alasan Morgan Stanley memberi apresiasi terhadap Indonesia. Morgan Stanley menilai ekonomi Indonesia bisa pulih dengan cepat dari pandemi Covid-19.

Menurut Morgan Stanley, Indonesia sudah bisa mencapai level pertumbuhan ekonomi pra-corona pada kuartal I-2020. Lebih cepat ketimbang negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Secara teknikal, rupiah berada dalam fase konsolidasi sejak dua pekan lalu, dan kembali berada di atas level psikologis Rp 14.000/US$. Fase konsolidasi semakin terlihat setelah di awal pekan lalu rupiah membentuk pola Doji.

Posisi pembukaan pasar dan penutupan pasar Senin (15/6/2020) sama di Rp 14.050/US$, dan membentuk ekor (tail) yang hampir seimbang ke atas dan bawah. Secara teknikal, rupiah disebut membentuk pola Doji, dan berarti pasar sedang ragu kemana arah pasar selanjutnya.

Terbukti, setelah membentuk Doji, rupiah tidak banyak banyak bergerak, sebelum mengalami spike Jumat lalu.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Tekanan terhadap rupiah sebenarnya sudah mulai berkurang melihat indikator stochastic pada grafik sudah keluar dari wilayah jenuh jual (oversold).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang naik, yang artinya dolar AS berpeluang menguat setelah stochastic mencapai oversold.

Rupiah kemungkinan masih akan bergerak di dekat psikologis Rp 14.000/US$. Peluang rupiah ke Rp 13.565/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 100% masih terbuka, selama bertahan di bawah Rp 14.730/US$ (Fibonnaci Retracement 61,8%).

Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).
Untuk jangka panjang, dalam arti hingga tahun depan rupiah memang memiliki ruang untuk menguat.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Bulanan
Foto: Refinitiv

Dilihat dari grafik bulanan rupiah saat ini berada di dekat garis trend line naik, yang akan menjadi penahan jika rupiah terus menguat. Trend line tersebut juga berada di dekat level terkuat tahun ini.

Mata Uang Garuda juga berada di dekat indikator rerata pergerakan 50 bulan (MA 50), yang berada di kisaran Rp 13.900/US$.

Artinya, untuk jangka panjang support berada di kisaran Rp 13.565 sampai Rp 13.900 per dolar AS, yang akan menjadi penentu apakah rupiah akan menguat atau melemah di tahun depan.

Melihat indikator stochastic bulanan yang berada di dekat wilayah jenuh jual, rupiah kemungkinan besar sulit menembus support tersebut. Artinya rupiah masih akan bergerak di atas Rp 13.565/US$. Tetapi jika support tersebut pada akhirnya ditembus secara menyakinkan di grafik bulanan, Mata Uang Garuda berpeluang menguat lebih jauh.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular