Ada Risiko Gelombang Kedua Corona, Harga Minyak Malah Naik 9%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 June 2020 06:42
Ilustrasi Kilang Minyak
Ilustrasi Pengeboran Minyak (AP/Eric Gay)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia melonjak pada perdagangan pekan ini. Kenaikan harga si emas hitam malah terjadi saat dunia dilanda kecemasan risiko gelombang serangan kedua (second wave outbreak) virus corona.

Sepanjang pekan ini, harga minyak jenis brent melesat 7,81%. Harga light sweet lebih edan lagi, meroket sampai 9,62%.

Padahal dunia sedang dibuat cemas oleh risiko second wave outbreak virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Kecemasan ini masuk akal, karena kasus corona di sejumlah negara mengalami kenaikan.

Misalnya di Amerika Serikat (AS). Per 19 Juni, jumlah pasien positif corona di Negeri Adidaya adalah 2.178.710 orang. Bertambah 23.138 orang (1,07%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Selama tiga hari beruntun, jumlah kasus corona di AS selalu bertambah di atas 20.000. Dari sisi persentase, lajunya naik di atas 1%.

Situasi di Jerman juga layak diperhatikan. Per 19 Juni, jumlah pasien positif corona tercatat 188.534 orang. Bertambah 770 orang (0,41%) dibandingkan hari sebelumnya dan menjadi kenaikan harian tertinggi sejak 20 Mei.

Pelaku pasar mengkhawatirkan bahwa kasus corona yang mengalami lonjakan bisa membuat pemerintah di berbagai negara kembali mengetatkan pembatasan sosial (social distancing) bahkan mungkin memberlakukan karantina wilayah (lockdown). Jika ini terjadi, maka pemulihan ekonomi dunia yang digadang-gadang dimulai pada paruh kedua 2020 sulit terwujud.

Ketika pemulihan ekonomi dunia penuh tanda tanya, maka prospek kenaikan permintaan energi pun menjadi buram. Sentimen ini semestinya membuat harga minyak sulit naik.

Namun mengapa yang terjadi malah sebaliknya? Mengapa harga malah naik signifikan?

Setidaknya ada dua jawaban. Pertama adalah semakin banyak negara yang mematuhi kesepakatan OPEC+ untuk menurunkan produksi minyak. Irak dan Kazakhstan sudah berkomitmen untuk mengurangi produksi mereka.

Survei Reuters menyebutkan, produksi minyak negara-negara OPEC pada Mei diperkirakan 24,77 juta barel/hari. Turun 19,26% dibandingkan bulan sebelumnya.

Dengan semakin tingginya kepatuhan terhadap kesepakatan untuk memangkas produksi hingga 9,7 juta barel/hari, maka ke depan pasokan minyak di pasar dunia bakal menipis. Minimnya pasokan menjadi penggerak kenaikan harga.

Kedua adalah proyeksi produksi minyak AS bakal berkurang. Pertanda ke arah sana sudah terlihat, yaitu rig minyak di AS pada pekan berjumlah 189. Ini adalah rekor terendah sejak 2009.

AS adalah produsen minyak terbesar dunia meski bukan anggota OPEC maupun OPEC+ karena produksi minyak di Negeri Adidaya lebih banyak dipakai untuk memenuhi kebutuhan domestik. Namun tetap saja perkembangan pasokan dari sana akan mempengaruhi harga dunia.

Dua faktor ini sudah cukup untuk mendongrak harga minyak. Meski ada kemungkinan permintaan turun akibat pandemi virus corona, tetapi penurunan pasokan sepertinya bisa mengimbangi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular