
Rupiah Memang Lesu Lawan Dolar, tapi Libas Mata Uang Eropa

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini, setelah membukukan pelemahan pada pekan lalu. Itu berarti, Mata Uang Garuda belum mampu lagi melanjutkan tren penguatan yang dimulai sejak April lalu.
Rupiah pada perdagangan Jumat (19/6/2020) kemarin berakhir di level Rp 14.050/US$, sama persis dengan posisi akhir Jumat (12/6/2020) pekan lalu.
Tetapi, beda ceritanya ketika berhadapan dengan mata uang Eropa, rupiah perkasa di pekan ini. Melawan euro, rupiah menguat 0,7%, melawan poundsterling melesat 1,47% dan berada di level terkuat 8 bulan.
Sementara melawan franc Swiss, rupiah melemah tipis 0,01%. Pelemahan tipis melawan mata uang safe haven tersebut menujukan kinerja rupiah cukup bagus, apalagi saat pelaku pasar sedang berhati-hati akan kemungkinan terjadinya penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) gelombang kedua.
Melawan mata uang Asia, rupiah bergerak bervariasi. Berikut pergerakan dolar AS, mata uang Eropa dan Asia melawan rupiah sepanjang pekan ini.
China, negara asal virus corona kini menghadapi risiko tersebut. Setelah 50 hari tanpa transmisi lokal Covid-19 alias nol kasus, Beijing akhirnya melaporkan kasus pertama pada Jumat pekan lalu. Sejak saat itu hingga saat ini, jumlah kasus Covid-19 di Beijing nyaris mencapai 200 orang.
Kluster Covid-19 di Beijing berada di pasar Xinfadi, yang merupakan pasar tradisional terbesar di Beijing. Sehingga risiko semakin banyak orang yang terjangkit cukup tinggi. Pasar Xinfadi tersebut juga jauh lebih besar dari pasar di kota Wuhan yang menjadi awal munculnya virus corona hingga menjadi pandemi.
Tidak hanya China, Amerika Serikat juga mengalami lonjakan kasus Covid-19. Di beberapa negara bagian bahkan mencetak rekor penambahan kasus per hari. Meski AS sebelumnya menyatakan tidak akan melakukan lockdown lagi, tetapi lonjakan kasus dapat membuat kegiatan warganya kembali dibatasi seperti China, sehingga pemulihan ekonomi akan berjalan lebih lambat lagi.
Rupiah sebenarnya mendapat tenaga untuk menguat di pekan ini setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya.
Gubernur BI, Perry Warjiyo pada hari Kamis mengumumkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 4,25% atau turun 25 basis poin (bps) dari sebelumnya.
Perry bersama dengan Dewan Gubernur lainnya memandang kebijakan untuk menurunkan bunga acuan 25 bps tersebut sejalan dan konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian di era Covid-19 ini.
"Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada era Covid-19," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam keterangan pers usai RDG BI edisi Juni 2020, Kamis (18/6/2020).
Tidak hanya itu, BI juga membuka peluang untuk kembali menurunkan suku bunga ke depannya. Ini karena tekanan inflasi domestik yang rendah, tekanan eksternal yang mereda, dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Dengan diturunkannya suku bunga tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia yang sedang merosot. Penurunan suku bunga BI diharapkan akan turut menurunkan suku bunga kredit.
Suku bunga kredit yang lebih rendah tentunya akan menarik bagi dunia usaha maupun rumah tangga untuk mengambil pinjaman, sehingga roda perekonomian kembali berputar. Rupiah pun mendapat tenaga untuk kembali menguat.
Tetapi sayangnya penguatan rupiah diredam oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam pidato tanggapan pemerintah atas kerangka makro APBN 2021 Kamis lalu, Sri Mulyani menyampaikan pihaknya tidak mau rupiah terlalu kuat. Indonesia masih butuh ekspor yang berdaya saing dengan nilai tukar yang terjaga.
"Namun perlu kita sadari bersama bahwa pada saat ini posisi nilai tukar yang terlalu kuat juga dapat memukul kinerja ekspor nasional dan berakibat buruk bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."
"Nilai tukar rupiah yang terlalu kuat dapat melumpuhkan daya saing produk kita dan menyebabkan penurunan ekspor serta peningkatan impor produk yang menjadi lebih murah. Untuk itu, Pemerintah bersama Bank Indonesia, akan terus mengelola nilai tukar secara berhati-hati untuk tetap menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi ke depan," tegas Sri Mulyani.
Dalam hal ini, Sri Mulyani menegaskan yang menjadi fokus perhatian bersama adalah bukan pada tingkat nilai tukar tertentu, tetapi menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar agar tidak menimbulkan gejolak pada aktivitas ekonomi dan sektor riil dalam negeri.
Nilai tukar rupiah sepanjang 2020 diproyeksikan berada di Rp 14.500 - 15.500/US$. Sementara di tahun 2021 di Rp 14.900 - 15.300/US$.
Pernyataan Sri Mulyani tersebut tentunya memberikan efek psikologis di pasar, yang membuat rupiah kesulitan melanjutkan penguatan melawan dolar AS.
Setelah mengalami gejolak di bulan Maret, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998, rupiah perlahan mulai menguat lagi sejak awal April. Hingga pada pekan lalu menyentuh level Rp 13.810/US$ yang merupakan level terkuat sejak 24 Februari.
Penguatan rupiah tersebut sejalan dengan survei 2 mingguan yang dilakukan oleh Reuters.
Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi jual (short) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (11/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,69, turun jauh dari rilis dua pekan sebelumnya -0,05. Hasil tersebut menjadi penurunan keenam beruntun.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Dengan survei terbaru yang menunjukkan angka minus, artinya pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah. Artinya rupiah semakin diminati pelaku pasar, dan ke depannya diprediksi akan terus menguat, sehingga mengambil posisi long.
Di bandingkan mata uang Asia lainnya, posisi long rupiah menjadi yang tertinggi. Itu artinya rupiah sangat menarik bagi pelaku pasar, dan menjadi mata uang terbaik untuk dijadikan investasi.
Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.
Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Dengan posisi long rupiah yang terus meningkat, ada peluang rupiah akan melanjutkan tren penguatan, tetapi saat ini berada dalam fase konsolidasi dulu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
