
BI Turunkan Bunga Acuan, Rupiah Menguat Lagi, Tapi...

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (18/6/2020). Bank Indonesia (BI) yang memangkas suku bunga acuan membuat rupiah mendapat tenaga ekstra untuk kembali menguat, tapi sayangnya di akhir perdagangan rupiah masih berada di atas level "keramat" alias psikologis Rp 14.000/US$.
Berdasarkan data Refinitiv, rupiah hari ini membuka perdagangan di level Rp 14.025/US$, sama dengan penutupan perdagangan kemarin. Setelahnya rupiah menguat 0,18%, menyentuh level "keramat" Rp 14.000/US$. Setelahnya rupiah mengendur dan berada di level Rp 14.020/US$ atau menguat tipis 0,04% hingga tengah hari.
Rupiah akhirnya mendapat momentum penguatan setelah Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengumumkan suku bunga diturunkan. Rupiah langsung melesat 0,36% ke Rp 13.975/US$.
Tetapi Rp 14.000/US$ sekali lagi terbukti sebagai level "keramat", di penutupan perdagangan rupiah berada di level Rp 14.010/US$ atau menguat 0,11%.
Dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, rupiah pada hari ini menjadi yang terbaik ke-empat, setidaknya hingga pukul 15:10 WIB. Rupiah kalah dari won Korea Selatan, ringgit Malaysia dan yuan China. Mengingat perdagangan mata uang lainnya belum berakhir, posisi rupiah tersebut bisa saja berubah.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hingga pukul 15:05 WIB.
Sekitar 40 menit sebelum perdagangan di Indonesia berakhir, Gubernur Perry mengumumkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 4,25% atau turun 25 basis poin (bps) dari sebelumnya.
Perry bersama dengan Dewan Gubernur lainnya memandang kebijakan untuk menurunkan bunga acuan 25 bps tersebut sejalan dan konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian di era Covid-19 ini.
"Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada era Covid-19," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam keterangan pers usai RDG BI edisi Juni 2020, Kamis (18/6/2020).
"Bank Indonesia akan terus mencermati dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia," kata Perry.
Tidak hanya itu, BI juga membuka peluang untuk kembali menurunkan suku bunga ke depannya. Ini karena tekanan inflasi domestik yang rendah, tekanan eksternal yang mereda, dan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Tahun ini, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya akan berada di kisaran 0,9-1,9%. Turun dari proyeksi sebelumnya yaitu 2,3%. Pada 2021, pertumbuhan ekonomi diperkirakan melonjak ke kisaran 5-6%.
Dengan diturunkannya suku bunga tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia yang sedang merosot. Penurunan suku bunga BI diharapkan akan turut menurunkan suku bunga kredit.
Suku bunga kredit yang lebih rendah tentunya akan menarik bagi dunia usaha maupun rumah tangga untuk mengambil pinjaman, sehingga roda perekonomian kembali berputar. Rupiah pun mendapat tenaga untuk kembali menguat.
Setelah mengalami gejolak di bulan Maret, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998, rupiah perlahan mulai menguat lagi sejak awal April. Hingga pada pekan lalu menyentuh level Rp 13.810/US$ yang merupakan level terkuat sejak 24 Februari.
Penguatan rupiah tersebut sejalan dengan survei 2 mingguan yang dilakukan oleh Reuters.
Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi jual (short) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (11/6/2020) kemarin menunjukkan angka -0,69, turun jauh dari rilis dua pekan sebelumnya -0,05. Hasil tersebut menjadi penurunan keenam beruntun.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Dengan survei terbaru yang menunjukkan angka minus, artinya pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah. Artinya rupiah semakin diminati pelaku pasar, dan ke depannya diprediksi akan terus menguat, sehingga mengambil posisi long.
Di bandingkan mata uang Asia lainnya, posisi long rupiah menjadi yang tertinggi. Itu artinya rupiah sangat menarik bagi pelaku pasar, dan menjadi mata uang Asia terbaik untuk dijadikan investasi.
Angka -0,69 tersebut juga merupakan yang terendah sejak rilis survei 23 Januari lalu.
Ketika itu rupiah menjadi juara dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Kini dengan angka minus yang semakin besar, rupiah berpeluang kembali merebut tahta juara dunia yang saat ini dipegang oleh franc Swiss yang mencatat penguatan 2% sejak awal tahun atau year-to-date (YTD). Selain franc, hanya ada 6 mata uang uang mampu menguat melawan dolar AS. Rupiah saat ini berada di urutan 11 klasemen dengan pelemahan 0,94% YTD.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menguat Lebih dari 1%, Rupiah Tembus Level 15.620/Dolar AS
