Bursa Saham RI Tak Sejalan dengan Wall Street, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa pekan terakhir gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berberapa kali berlawanan arah dengan kinerja bursa saham Amerika Serikat (AS) di Wall Street.
Pada Kamis pekan lalu (11/6/20), saat Dow Jones anjlok 6,9%, esoknya (12/6/20) IHSG malah berhasil naik tipis 0,53% akan tetapi ketika Dow Jones terbang 1,90% pada (12/6/20), hari bursa selanjutnya (15/6/20) IHSG malah ambles 1,31%.
Kejadian ini kembali berlanjut, kemarin Dow Jones loncat tinggi 2,04%, sedangkan pada perdagangan hari ini (17/6/20) IHSG malah terpantau turun 0,09%.
Gerak IHSG yang tak selaras dengan Dow Jones Index salah satunya disebabkan oleh buruknya fundamental perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengungkapkan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 kemungkinan terkontraksi (tumbuh negatif) -3,1%.
Kemudian Bank Indonesia (BI) mengumumkan penjualan ritel pada April terkontraksi 16,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Ini menjadi pencapaian terburuk sejak Desember 2008.Bahkan untuk bulan Mei, BI memperkirakan penjualan ritel anjlok lebih dalam yaitu 22,9%.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga merilis neraca dagang pada periode Mei yang kurang menggembirakan, kendati surplus. Nilai ekspor bulan lalu sebesar US$ 10,53 miliar, angka ini menunjukkan terjadinya kontraksi -28,95% secara YoY. Kontraksi ini merupakan yang paling dalam sejak Februari 2009.
Sementara nilai impor pada Mei tercatat US$ 8,44 miliar atau anjlok 42,2% secara YoY. Seperti halnya ekspor, kontraksi impor juga menjadi yang paling dalam sejak 2009.
Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Mei juga sangat buruk berada di angka 28,6.PMI menggunakan angka 50 sebagai titik start. Kalau di bawah 50, artinya industriawan tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi.
Sementara itu, Wall Street bisa terus menanjak karena lembaga finansial di AS mendapat suntikan likuiditas dari The Fed dalam jumlah yang fantastis dengan menggunakan kebijakan Quantitative Easing (QE).
Quantitative Easing sendiri adalah instrumen yang dimiliki oleh bank sentral untuk menginjeksikan likuiditas ke pasar untuk mendorong investasi dan pemberian pinjaman yang lesu dengan cara pembelian surat-surat berharga yang dimiliki perusahaan.
The Fed sendiri sudah menyuntikkan likuiditas sebesar US$ 1,4 triliun jumlah ini hampir 40 kali lebih besar dari stimulus likuiditas yang digelontorkan oleh Bank Indonesia (BI) yang dinilai sangat mini, 'hanya' sebesar Rp 503 triliun saja.
Ditambah QE ala BI hanya berani membeli obligasi pemerintah saja, sedangkan untuk QE ala The Fed, obligasi perusahaan apabila memiliki rating yang memadai akan diborong juga.
Sebenarnya dengan suntikan likuiditas The Fed, maka pasar modal negara berkembang dan emerging market pun diharapkan mendapat limpahan danalikuiditas berlebih.
Akan tetapi faktanya dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia masih kering kerontang, ngerinya selama seminggu terakhir investor asing sudah melakukan penjualan bersih sebesar Rp 2,95 triliun, bahkan apabila net sell asing ditotal dari awal tahun, dana yang sudah dilarikan investor asing jumlahnya sangat fantastis yaitu sebesar Rp 28,73 triliun.
Nampaknya investor asing tidak berani bertaruh pemulihan ekonomi Indonesia akan berlangsung dengan cepat karena menurut berbagai analis, Pemerintah Indonesia telat dalam menangani pandemi virus corona, bahkan sejak awal terkesan acuh tak acuh.
Hal ini ditunjukkan dengan data penambahan jumlah pasien positif corona yang terus meningkat, bahkan dalam berberapa minggu terakhir jumlah penambahan pasien yang positif corona sudah konsisten berada di atas 1.000 pasien per hari dan diprediksi akan terus bertambah.
Kenaikan ini sangat mengkhawatirkan apalagi sudah dibukanya pusat perbelanjaan alias mal pekan ini yang tentunya akan menarik kerumunan masyarakat.
Rilis data ini tentunya akan mendatangkan ketakutan bagi para pelaku pasar akan munculnya gelombang kedua virus Covid-19. Apalagi banyak yang berpendapat bahwa gelombang pertama virus corona saja belum berhasil dilewati.
Mungkin satu-satunya yang dapat menjadi juru selamat IHSG bukanlah Wall Street melainkan skenario apabila perusahaan farmasi AstraZeneca benar-benar bisa menepati janji untuk mendistribusikan vaksin darurat ke AS dan Inggris pada September atau Oktober, dengan kesiapan pengiriman secara stabil pada awal 2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Penampakan BEI Saat IHSG Drop 5% & Perdagangan Dihentikan
(trp/trp)