Sempat No 2 Asia, Rupiah Harus Legowo Finis di Zona Merah

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
11 June 2020 16:01
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen negatif yang sedang marak pada akhirnya membuat nilai tukar rupiah harus mengalami pelemahan di hadapan dolar pada penutupan perdagangan spot hari ini, Kamis (11/6/2020).

Pada 15.00 WIB US$ 1 dibanderol Rp 13.950. Mata uang Garuda terdepresiasi sebesar 0,22% di hadapan dolar greenback dibanding posisi penutupan kemarin. Kini dolar semakin mendekat ke Rp 14.000.

Rupiah mulai menguat hingga di bawah Rp 14.000/US$ sejak Jumat pekan lalu (5/6/2020). Namun memasuki pekan ini rupiah cenderung mengalami pelemahan. Maklum rupiah sudah terlalu perkasa. 

Sejak mencatatkan rekor terendah penutupan pada 23 Maret lalu di Rp 16.550/US$, hingga hari ini rupiah sudah menguat 15,7%. Meski belum sekuat di awal tahun, rupiah setidaknya masih di bawah Rp 14.000/US$.

Dalam setiap konferensi pers kepada media Gubernur Bank Indonesia (BI) selalu mengatakan rupiah masih kemurahan (undervalued) dan akan terus menguat.

Tingkat inflasi yang rendah dan terjaga di kisaran target, selisih suku bunga dan yield obligasi pemerintah, kecemasan global yang mereda tercermin dari menurunnya premi risiko credit default swap (CDS) serta membaiknya defisit transaksi berjalan menjadi alasan utama mengapa BI yakin rupiah masih tergolong diobral 'murah' di pasar.

Di sisi lain BI juga hadir di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar melalui strategi triple intervention di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNF) dan pembelian SBN di pasar sekunder.

Namun kabar kurang mengenakkan yang datang dari barat (Paman Sam) menjadi sentimen negatif yang juga turut mempengaruhi pasar keuangan Tanah Air. Rupiah pun harus melemah hari ini dan gagal menyabet gelar juara Asia walau sempat jadi runner up saat perdagangan siang tadi.

Hingga 15.13 WIB, jawara mata uang kawasan Benua Kuning disabet oleh baht yang menguat 0,51% di hadapan dolar AS dan di posisi kedua ada yen yang mengalami apresiasi sebesar 0,11% di hadapan dolar AS. 

Semalam bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) sesuai dengan perkiraan pelaku pasar menahan suku bunga acuan di kisaran 0 - 0,25%. Namun ada hal yang lebih ditunggu oleh para pelaku pasar yaitu proyeksi ekonomi Negeri Adidaya ke depan.

The Fed memperkirakan ekonomi AS akan mengalami kontraksi sebesar -6,5% di tahun ini. Pandemi corona yang membuat Negeri Paman Sam harus menutup sebagian besar wilayahnya telah membawa konsekuensi serius bagi perekonomian terbesar di dunia itu.

Lebih lanjut The Fed juga memperkirakan tingkat pengangguran di angka 9,3% naik dari perkiraan sebelumnya di 3,5%. Kemudian inflasi yang diukur dari Personal Consumption Expenditure (PCE) into berada di 1% sepanjang 2020. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 1,9%.

Melihat kondisi seperti ini The Fed akan menahan suku bunga mendekati nol persen hingga 2022 mendatang. Baru selepas itu dalam jangka panjang akan naik dan mengarah ke median 2,5%.

Tak hanya itu terkait dengan program pelonggaran kuantitatifnya (QE) The Fed juga akan membeli surat utang pemerintah (treasury) senilai US$ 80 miliar dan efek beragun aset properti sebesar US$ 40 miliar dalam sebulan.

Saat jumpa pers, Jerome Powell selaku ketua The Fed mengatakan bahwa proses untuk menyembuhkan ekonomi Paman Sam akan membutuhkan waktu yang lama. Outlook yang gloomy ini membuat mood pasar kembali murung. 

"Dua puluh empat juga orang. Bagaimana pun negara harus bisa membuat mereka kembali bekerja. Mereka tidak bersalah, ini adalah bencana.

"Jalan akan panjang, akan memakan waktu. Kami akan menggunakan berbagai instrumen yang ada untuk mendukung pasar tenaga kerja dan ekonomi secara keseluruhan sampai benar-benar pulih," papar Powell, sebagaimana dikutip dari Reuters.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular