Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah pun nyaman di jalur hijau di perdagangan pasar spot.
Pada Kamis (11/6/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.014. Rupiah menguat 0,49% dibandingkan posisi hari sebelumnya.
Sementara di 'arena' pasar spot, rupiah juga perkasa. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.850 di mana rupiah menguat 0,5%.
Kala pembukaan pasar, rupiah stagnan saja di Rp 13.920/US$. Namun itu tidak lama karena sejurus kemudian rupiah langsung masuk zona hijau, bahkan penguatannya kian tebal.
Apresiasi 0,5% sudah cukup untuk membuat rupiah jadi mata uang terbaik kedua di Asia. Rupiah hanya kalah dari baht Thailand.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:07 WIB:
Kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut bahwa apresiasi rupiah yang terjadi sejak awal kuartal II-2020 adalah hal positif. "Apresiasi rupiah bagus untuk perekonomian," ujarnya, seperti dikutip dari Reuters.
BI, lanjut Perry, juga memandang rupiah masih bisa terus menguat karena level yang sekarang masih terlalu murah (undervaled). Oleh karena itu, MH Thamrin akan terus melakukan stabilisasi jika dibutuhkan agar rupiah bergerak sesuai dengan fundamentalnya.
Aktifnya BI di pasar mampu menjaga rupiah tetap stabil di tengah maraknya sentimen negatif yang beredar di pasar. Dari dalam negeri, ada kekhawatiran soal penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang semakin luas.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah pasien positif corona per Rabu (10/6/2020) adalah 34.316 orang. Bertambah 1.241 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya, sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian sejak Indonesia mencatat pasien pertama pada awal Maret.
Rekor sebelumnya terjadi pada Selasa. Jadi dalam dua hari beruntun penambahan kasus baru selalu mencatatkan rekor tertinggi.
Jikalau kasus baru terus bertambah, apalagi terus-terusan menembus rekor, bukan tidak mungkin pemerintah akan kembali mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ketika ini terjadi, maka ekonomi Indonesia bisa mati suri.
Belum lagi risk appetite investor global sedang rendah usai pengumuman hasil rapat Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral AS (Federal Open Market Committee/FOMC). Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega menyampaikan proyeksi terbaru yang lebih suram.
Pada 2020, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS terkontraksi -6,5%. Jauh memburuk ketimbang proyeksi sebelumnya yang memperkirakan ada pertumbuhan 2%.
Kemudian tingkat pengangguran pada tahun ini diperkirakan 9,3%. Lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu 3,5%.
Lalu inflasi yang diukur dari Personal Consumption Expenditure (PCE) inti berada di 1% sepanjang 2020. Melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 1,9%.
Sedangkan median suku bunga acuan pada 2020 adalah 0,1% atau sama seperti sekarang. Jadi kemungkinan besar Federal Funds Rate tidak akan diutak-atik sampai akhir tahun.
Bahkan mungkin suku bunga acuan di AS tidak akan berubah sampai 2022. Baru selepas itu dalam jangka panjang akan naik dan mengarah ke median 2,5%.
Selain proyeksi baru yang jauh lebih pesimistis itu, pernyataan Powell dalam jumpa pers juga tidak kalah gloomy. Sosok pengganti Janet Yellen itu menyatakan bahwa butuh waktu lama untuk 'menyembuhkan' perekonomian Negeri Adidaya.
"Dua puluh empat juga orang. Bagaimana pun negara harus bisa membuat mereka kembali bekerja. Mereka tidak bersalah, ini adalah bencana.
"Jalan akan panjang, akan memakan waktu. Kami akan menggunakan berbagai instrumen yang ada untuk mendukung pasar tenaga kerja dan ekonomi secara keseluruhan sampai benar-benar pulih," papar Powell, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, lanjut Powell, kenaikan suku bunga acuan adalah opsi yang untuk sementara disimpan rapat-rapat di dalam lemari besi. "Kami bahkan tidak memikirkan soal kenaikan suku bunga," ujarnya.
Namun berbagai sentimen negatif itu tidak mempengaruhi rupiah. Sejauh ini, mata uang Ibu Pertiwi tetap nyaman menapaki jalur hijau berkat pengawalan BI.
TIM RISET CNBC INDONESIA