
Rupiah Masuk 'Klub Elite' Mata Uang Dunia, Selamat Ya!

Pertama adalah penyebaran virus corona. Kurva kasus corona di Tanah Air belum melandai, masih cenderung melengkung ke atas.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengungkapkan, jumlah pasien positif corona di Tanah Air per 9 Juni 2020 adalah 33.076 orang. Bertambah 1.043 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya sekaligus menjadi rekor tertinggi penambahan kasus harian.
Mengutip riset Nomura, Indonesia menjadi salah satu negara yang berisiko mengalami gelombang serangan kedua (second wave outbreak). Indonesia berada di kelompok yang sama dengan Brasil, India, sampai Singapura.
"Ada 17 negara yang belum menunjukkan risiko gelombang serangan kedua. Sementara 13 negara menunjukkan tanda peringatan tetapi masih tentatif dan 15 negara menjadi yang paling berisiko," sebut riset Nomura.
![]() |
Kebetulan Indonesia sedang melonggarkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Larangan perjalanan sudah tidak seketat dulu, dan sejumlah aktivitas masyarakat sudah diizinkan lagi meski protokol kesehatan tetap berlaku.
"Dalam skenario terburuk, pembukaan kembali aktivitas ekonomi kemudian dikaitkan dengan lonjakan kasus harian, bertambahnya rasa kekhawatiran di masyarakat, yang bisa membuat mobilitas kembali terbatas. Lebih ekstrem lagi, lockdown (karantina wilayah) bisa diberlakukan kembali," sebut riset Nomura.
Kalau sampai kemudian lonjakan kasus di Tanah Air membuat pemerintah berpikir ulang untuk menerapkan kehidupan normal baru (new normal) dan kembali menerapkan social distancing, maka prospek ekonomi Indonesia bakal suram. Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias stagnan 0% pada tahun ini. Apabila aktivitas publik kembali dibatasi, maka bukan tidak mungkin terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif).
Ini bisa membuat investor agak cemas. Kekhawatiran itu, jika semakin besar, akan diwujudkan dengan melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Ketika ini terjadi, maka rupiah bakal melemah.
Kedua adalah dinamika hubungan AS-China. Sejak Presiden AS Donald Trump mendesak China untuk bertanggung jawab atas penyebaran virus corona, relasi Washington-Beijing memburuk. Ditambah lagi rencana China yang akan menerapkan UU keamanan baru yang lebih represif di Hong Kong.
"Saat ini ancaman AS masih sebatas pepesan kosong, tetapi sangat mungkin terealisasi dalam beberapa waktu ke depan. Ketika itu terjadi, proses pemulihan mata uang negara-negara berkembang akan terganggu dan investor kembali memilih mata uang yang dipandang aman," tambah Francesca Beausang, Ekonom Continuum Economics, seperti diikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, rupiah tidak boleh lengah. Risiko yang ada masih sangat tinggi, dan bisa membuat nasib rupiah menjadi penuh tanda tanya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)