
Rupiah Perkasa, Deretan Emiten Ini Bakal Cuan, Siap Borong?

Jakarta, CNBC Indonesia - Menguatnya nilai tukar rupiah memberikan dampak positif pada beberapa emiten, terutama di sektor industri yang sangat mengandalkan bahan baku dan menggunakan komponen nilai tukar dalam valuta asing.
Di pasar spot, pada perdagangan menjelang tutup pekan ini, Jumat (5/6/2020), mata uang Garuda terapresiasi ke level di bawah Rp 14.000/US$. Penguatan ini, menurut para analis merespons mulai pulihnya kepercayaan pasar akan ekonomi Indonesia yang akan kembali pulih setelah membuka aktivitas perekonomian secara bertahap melalui tananan kenormalan baru.
Direktur Utama CSA Institute, Aria Samata Santoso mengungkapkan, ada beberapa emiten yang cukup diuntungkan dengan penguatan nilai tukar.
Beberapa emiten tersebut antara lain di sektor farmasi seperti PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF) dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Pasalnya, impor bahan baku farmasi masih cukup tinggi, di atas 80%.
Tidak hanya itu, emiten yang juga diuntungkan adalah manufaktur garmen seperti PT Pan Brothers Tbk (PBRX) karena biaya untuk mengimpor bahan baku lebih murah saat rupiah menguat.
"Dengan menguatnya rupiah maka keuntungan didapatkan oleh sektor yang impor bahan baku. Sehingga beban pembayaran bahan baku lebih murah. Misal di emiten farmasi, manufaktur garmen, alat berat, dan yang memiliki utang dalam US Dollar juga akan diuntungkan," kata Aria, kepada CNBC Indonesia, Jumat (5/6/2020).
Strategi Pendanaan Emiten
Dengan kondisi tersebut, emiten di sektor ini juga dapat menghimpun pendanaan melalui penerbitan obligasi korporasi dalam valuta asing atau global bond mengingat biaya (cost of fund) dana lebih rendah.
"Untuk kebutuhan likuiditas boleh saja melakukan pendanaan dengan menerbitkan global bond, selama bukan karena ingin melakukan ekspansi secara agresif," kata Aria menjelaskan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Samsul Hidayat mengatakan, di tengah situasi pandemi yang masih dipenuhi ketidakpastian, emiten akan cenderung menjaga arus kas perusahaan dalam beberapa waktu ke depan. Dengan demikian, risiko yang masih meningkat akan cenderung menurunkan minat perusahaan menerbitkan surat utang.
"Semua perusahaan rasa saya memakai istilah survive mode, bisa bertahan dulu dalam situasi sekarang, bisa bayar gaji pegawai, menyelesaikan kontrak dan mendapatkan barang yang dibutuhkan untuk produksi. Yang sifatnya ekspansi sepertinya masih belum dijalankan," kata Samsul, kepada CNBC Indonesia belum lama ini.
Meski demikian, AEI merespons positif langkah pemerintah menjalankan tatatan normal baru mulai hari ini, 5 Juni 2020 untuk memulihkan perekonomian.
Menurut Samsul, dengan adanya normal baru, sektor-sektor bisnis yang dihantam cukup parah akibat pandemi seperti perhotelan, restoran, maskapai penerbangan, properti dan otomotif, setidaknya memiliki pendapatan lagi meski aktivitas ekonomi belum sepenuhnya pulih.
"Harapan semua masyarakat, pengusaha, emiten, bahwa secara perlahan pandemi akan membaik dan perusahaan berjalan menuju ke arah reguler walau tidak sampai 100%, mungkin 75-80%," kata mantan Direktur Bursa Efek Indonesia itu.
(tas/tas) Next Article Emiten Siap-Siap Buyback Saham