Rupiah Belum Bisa ke Bawah 14.000/US$, "Ojo Kesusu"

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 June 2020 16:25
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Laju impresif rupiah dalam 2 hari terakhir akhirnya terhenti pada perdagangan Kamis (4/6/2020). Nilai tukar rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), akibat aksi ambil untung (profit taking) setelah menguat tajam di awal Juni.

Meski demikian, selama sentimen pelaku pasar tetap bagus peluang rupiah menguat jauh ke bawah Rp 14.000/US$ masih sangat terbuka. Tetapi "ojo kesusu" alias jangan terburu-buru mengingat ada beberapa risiko yang masih membayangi.

Rupiah pada hari ini melemah tipis 0,07% % ke Rp 14.060/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Rabu Kemarin rupiah melesat tajam 2,29%, sehari sebelumnya sebesar 1,34%. Sementara pada periode April-Mei Mata Uang Garuda juga tercatat menguat tercatat melesat lebih dari 10%.


Melihat kinerja tersebut, maka wajar jika rupiah diterpa aksi profit taking, yang membuatnya cukup kesulitan melewati level psikologis Rp 14.000/US$.



Penguatan tajam rupiah dalam 2 hari terakhir dipicu oleh capital inflow yang besar. Derasnya aliran modal ke dalam negeri terlihat dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) Selasa (2/6/2020) lalu yang penawarannya mencapai 105,27 triliun. Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi oversubscribed 5,2 kali.

Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.

Tingginya minat investor terhadap SBN juga terlihat di pasar sekunder, yield SBN tenor 10 tahun kemarin turun 22,1 basis poin (bps) menjadi 7,005%, yang menjadi level terendah sejak 12 Maret. Sementara pada hari ini, yield naik tipis 2,3 bps ke 7,028%.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Di pasar saham juga terjadi inflow yang cukup besar dalam 2 hari terakhir. Berdasarkan data RTI, Rabu kemarin kemarin investor asing net buy sebesar Rp 1,5 triliun, dan pada hari Selasa sebesar Rp 872,35 miliar di all market.

Sementara pada hari ini, investor asing sudah net buy Rp 1,08 triliun di pasar reguler. Jika memasukkan pasar non-reguler, net buy tercatat sebesar Rp 980,12 miliar.

Rupiah sebenarnya punya modal untuk kembali menguat, tetapi sekali lagi level "keramat" atau psikologis memang cukup sulit untuk ditembus.

Tetapi, seperti disebutkan sebelumnya jika sentimen pelaku pasar masih terus terjaga, apalagi setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta dilonggarkan dan aktivitas ekonomi kembali berputar, peluang penguatan rupiah ke bawah Rp 14.000/US$ masih terjaga. Tapi sekali lagi, "ojo kesusu" mengingat masih ada risiko yang dihadapi.



Risiko pertama tentunya dari kemungkinan terjadinya gelombang kedua penyebaran Covid-19, jika itu sampai terjadi maka kebijakan lockdown bisa kembali diterapkan, roda perekonomian bisa kembali terhenti dan aksi jual di pasar keuangan terjadi lagi.

Ketika lockdown kembali diterapkan, mood pelaku pasar akan memburuk, aliran modal akan keluar lagi dari Indonesia, dan rupiah berisiko mengalami "tragedi" ambrol seperti bulan Maret lalu.

Korea Selatan menjadi bukti adanya risiko penyebaran Covid-19 gelombang kedua. Korea Selatan di awal Mei berhasil menekan penyebaran Covid-19 hingga penambahan kasus per harinya hanya 1 digit, tetapi kini kembali konsisten bertambah 2 digit. Pada 27 Mei lalu terjadi penambahan kasus sebanyak 79 orang, menjadi yang tertinggi sejak 4 April.

Oleh karena itu, pelonggaran lockdown ataupun PSBB harus dilakukan dengan sangat hati-hati, dan bertahap agar tidak terjadi lonjakan kasus signifikan.

Kemudian risiko yang kedua, masih belum bisa ditebak sejauh apa performa ekonomi saat new normal. Ekspektasi yang tinggi bisa menimbulkan kekecewaan yang besar, dan sekali lagi, bisa memicu aksi jual.

Yang ketiga adalah konflik AS-China. Survei terbaru dari Reuters menunjukkan sebanyak 70% dari 57 analis menyatakan dalam enam bulan ke depan permintaan akan safe haven bisa kembali meningkat akibat risiko yang tinggi dari eskalasi konflik AS-China. Peningkatan permintaan safe haven artinya dolar AS akan kembali menguat.

Konflik kedua negara memang terlihat belum akan mereda dalam waktu dekat. Apalagi AS akan mengadakan pemilihan presiden pada November mendatang, sehingga ada kemungkinan China enggan bernegosiasi sampai pemilu tersebut selesai.


[Gambas:Video CNBC]




Secara teknikal, penguatan tajam rupiah pada hari Selasa membentuk pola Black Marubozu dilihat dari grafik candle stick harian.

Rupiah membuka perdagangan kemarin level Rp 14.480/US$ sekaligus menjadi level tertinggi hari ini, dan menutup perdagangan di level Rp 14.380/US$ sekaligus menjadi level terendah intraday. Sehingga secara teknikal rupiah disebut membentuk pola Black Marubozu.

Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan. Terbukti, rupiah langsung melesat Rabu kemarin.

Level psikologis Rp 14.000/US$ masih menjadi target penguatan rupiah selanjutnya. Jika mampu dilewati maka Mata Uang Garuda akan melaju lagi menuju Rp 13.565/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 100%.

Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv



Peluang rupiah ke Rp 13.565/US$ yang merupakan level terkuat dalam 2 tahun terakhir melawan dolar AS, masih tetap terjaga selama rupiah berada di bawah Rp 14.730/US$ (Fib. Retracement 61.8%), jadi sekali lagi "ojo kesusu".

Sementara itu, melihat indikator stochastic pada grafik harian masih berada di level jenuh jual (oversold) dalam waktu yang cukup lama, rupiah memang sangat rentan mengalami koreksi alias melemah.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang naik, yang artinya dolar AS berpeluang menguat setelah stochastic mencapai oversold.

Stochastic yang oversold dalam waktu lama dapat memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah. Resisten (tahanan atas) terdekat jika rupiah melemah berada di level US$ 14.250/US$.


TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular