
'Direstui' BI & Didukung Pasar, Rupiah Siap Juara Dunia Lagi!

Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.575/US$, menguat 0,68% di pasar spot, melansir data Refintiv. Rupiah kini berada di level terkuat sejak 12 Maret lalu, dan membukukan penguatan 3 pekan beruntun.
Jika melihat lebih ke belakangan, rupiah sudah menguat dalam 7 dari 8 pekan terakhir. Sejak awal April, rupiah sudah menguat lebih dari 10%. Namun, jika dilihat sejak akhir 2019 hingga hari ini atau secara year-to-date (YTD), rupiah masih melemah 5,01%, akibat kemerosotan tajam di bulan Maret lalu ketika menyentuh level Rp 16.620/US$
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini kemarin mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.
"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020).
"Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya" tegas Perry.
Pernyataan Perry tersebut berbeda dengan sebelumnya yang mengatakan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Rupiah kini disebut akan menguat ke nilai fundamentalnya, sehingga memberikan dampak psikologis ke pasar jika mata uang Garuda masih berpeluang menguat lebih jauh.
Jika rupiah kembali ke level Rp 13.600/US$, maka rupiah berpeluang kembali menjadi juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Gelar tersebut sempat diraih rupiah pada bulan Januari lalu, sementara saat ini juara dunia dipegang oleh pound Mesir dengan penguatan sebesar 1,3%.
Jika rupiah kembali ke level Rp 13.600/US$, artinya secara YTD akan mencatat penguatan 2,02%, yang dan tentunya bisa kembali menjadi juara dunia jika kinerja mata uang lainnya tidak sebagus rupiah.
Inflasi yang rendah memang bisa menjadi penopang penguatan rupiah, sebabnya riil return yang didapat pelaku pasar ketika berinvestasi di Indonesia.
Yield obligasi Indonesia saat ini relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara yang lainnya, kemudian dengan inflasi yang rendah tentunya cuan yang diperoleh investor akan lebih besar. Oleh karena itu, aliran modal berpeluang masuk deras ke pasar obligasi Indonesia yang akan jadi penopang penguatan rupiah.
Pada Kamis kemarin, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,675%, jauh lebih tinggi di bandingkan negara-negara G20 dan beberapa negara ASEAN.
Dari tabel di atas, hanya yield obligasi Afrika Selatan yang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi peringkat kreditnya masih di bawah Indonesia dan belum masuk investment grade.
Tabel di atas juga menunjukkan inflasi berdasarkan data yang dirilis terakhir. Inflasi Indonesia di bulan April sebesar 2,67% year-on-year (YoY), masih lebih rendah dibandingkan Afrika Selatan dan India, sehingga riil return yang dihasilkan tentunya jauh lebih tinggi.
Inflasi di bulan Mei bahkan diprediksi akan lebih rendah lagi oleh BI.
"Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) sampai minggu keempat, kami perkirakan pada Mei inflasi sangat rendah yaitu 0,09% month-to-month. Secara tahunan adalah 2,21%," kata Perry
Selain itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di kuartal I-2020 jauh membaik.
BI pada 20 Mei lalu melaporkan CAD di kuartal I-2020 setara dengan 1,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 2,8% PDB. Defisit tersebut merupakan yang terendah sejak kuartal II-2017.
Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial, komponen Neraca Pembayaran Indonesia lainnya, yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Akibat CAD yang besar, pergerakan rupiah menjadi sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa.
Ketika CAD menurun maka pasokan devisa di perekonomian nasional semakin membaik, dan amunisi BI untuk menstabilkan rupiah menjadi lebih besar. Hal itu bisa memberikan kepercayaan bagi pelaku pasar terhadap stabilitas nilai tukar rupiah, dan tentunya lebih merasa nyaman berinvestasi di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut membuat BI optimis aliran modal akan kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia ketika sentimen pelaku pasar semakin membaik, yang pada akhirnya akan membuat rupiah kembali perkasa.
Pada bulan Maret lalu, rupiah sempat mengalami aksi jual masif hingga ambrol ke Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Kala itu, terjadi kepanikan di pasar global akibat pandemi Covid-19, yang membuat arus modal keluar dari dalam negeri hingga ratusan triliun rupiah.
Tingkat kepanikan tersebut bisa dilihat dari global volatility index (VIX).
Ketika rupiah mengalami gejolak VIX berada di atas 80 yang menjadi level tertinggi sejak krisis finansial global tahun 2008. Saat ini volatility index sudah jauh menurun, berada di bawah level 30.
Pergerakan rupiah dan VIX terlihat beriringan jika melihat di bulan Januari dan Februari, ketika VIX bergerak di bawah angka 20. Rupiah saat itu sedang perkasa melawan dolar AS. Ketika VIX melesat ke atas 80, rupiah turut melemah, kemudian VIX turun ke bawah 30, rupiah juga terus menguat.
Hal tersebut menunjukkan betapa rentannya rupiah terhadap mood investor global. Maklum saja, seperti yang disebutkan sebelumnya, pergerakan rupiah sangat dipengaruhi hot money.
Meredanya kepanikan global juga sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Indonesia. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
Gubernur Perry kemarin mengatakan CDS telah menurun ketimbang bulan Maret lalu, dan diprediksi akan terus turun, yang dapat membantu rupiah menguat ke menuju nilai fundamentalnya.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.
Pada 23 Maret, CDS tenor 5 tahun sempat mencapai 281,26 basis poin (bps) dan tenor 10 tahun 351,79 bps, yang merupakan lalu level tertinggi sejak September 2015. Saat ini CDS kedua tenor tersebut sudah menurun jauh berada di 158,63 bps dan 223,59 bps, tetapi masih cukup jauh di bandingkan bulan Februari lalu ketika CDS tenor 5 tahun sempat di bawah 60 bps dan tenor 10 tahun di kisaran 122 bps.
Keyakinan BI rupiah akan terus menguat "diamini" oleh pelaku pasar, yang terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi jual (short) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.
Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (28/5/2020) kemarin menunjukkan angka -0,05, turun jauh dari rilis dua pekan lalu 0,21. Hasil tersebut menjadi penurunan kelima beruntun.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Dengan survei terbaru yang menunjukkan angka minus, artinya pelaku pasar kembali mengambil posisi beli (long) rupiah, sehingga membuka peluang berlanjutnya penguatan rupiah.
Angka minus tersebut juga merupakan yang pertama sejak rilis survei 20 Februari lalu.
Ketika itu rupiah masih membukukan penguatan secara year-to-date (YTD) melawan dolar AS.
Di bulan Januari, rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.
Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).
Jika ke depannya hasil survei menunjukkan peningkatan angka minus maka rupiah bisa saja kembali menjadi juara dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Penampakan Kontainer dan Kardus Berisi Uang Baru 10 M