
Potong Gaji Karyawan, Garuda Hemat Rp 685 M/pekan

Jakarta, CNBC Indonesia - Maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), berjibaku dengan sejumlah strategi demi mempertahankan kelangsungan usaha akibat dampak pandemi virus corona (Covid-19) yang menghantam bisnis penerbangan dalam negeri dan global.
Direktur Keuangan Garuda Indonesia Fuad Rizal menjelaskan perseroan telah menerapkan pemotongan gaji mulai dari 10% hingga 50% untuk seluruh karyawan maskapai penerbangan BUMN ini.
"Hingga saat ini, program pengurangan pengeluaran ini telah menghemat sekitar US$ 6 juta [setara Rp 89 miliar, kurs Rp 14.900/US$]," kata Fuad dalam surat keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Selasa (26/5/2020).
Dia mengatakan program pengurangan itu juga memungkinkan perseroan untuk mengurangi biaya tunai mingguan yang diperlukan untuk menjalankan operasi menjadi sekitar US$ 46 juta atau Rp 685 miliar.
Per 30 April, saldo kas GIAA menjadi sebesar US$ 150 juta atau Rp 2,24 triliun, yang sebagian besar dibatasi (margin deposit, dan lainnya) dan tidak dapat digunakan secara bebas.
"Perseroan telah mengambil langkah-langkah untuk menjamin kesejahteraan staf dan pelanggan perseroan sembari mengelola likuiditas secara proaktif saat dihadapkan pada ketidakpastian yang tengah dihadapi industri penerbangan saat ini," kata Fuad.
Pendapatan operasi Garuda juga turun sebesar 89% pada April 2020. Pandemi juga menyebabkan arus kas negatif karena peningkatan tunggakan utang dagang perseroan sebesar 47% atau sebesar US$ 236 juta selama kuartal I-2020 dibandingkan kuartal terakhir 2019.
Permintaan yang rendah di pasar memaksa perseroan untuk mengurangi ketersediaan kursi per kilometer (Available Seat Kilometers) sebesar 40% dari 1 Januari hingga 30 April 2020, dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019, dengan jumlah penumpang turun sebesar 45% dan faktor muat kursi (seat load factor) menurun 15% dalam periode tersebut.
Negosiasi sukuk
Di sisi lain, salah satu strategi lain bagi Garuda untuk bertahan ialah negosiasi utang. Perseroan sudah mengajukan permintaan untuk penundaan pembayaran sukuk global senilai US$ 500 juta atau setara Rp 7,5 triliun (kurs Rp 15.000/US$) yang akan jatuh tempo pada 3 Juni 2020. Upaya restrukturisasi ini dilakukan dengan memperpanjang tenor utang tersebut hingga 3 tahun ke depan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan perusahaan telah menyampaikan permohonan persetujuan (consent solicitation) tersebut kepada pemegang sukuk.
Selanjutnya proposal tersebut akan ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Sukuk yang akan dilaksanakan pada akhir masa grace period pada 10 Juni 2020 mendatang.
"Melalui permohonan persetujuan (consent solicitation) atas sukuk ini, Garuda Indonesia dapat memperkuat pengelolaan rasio likuiditas Perseroan di skala yang lebih favourable sehingga kami dapat mengoptimalkan upaya peningkatan kinerja Perseroan dengan lebih dinamis," kata Irfan dalam siaran pers, Selasa (19/5/2020).
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (19/5/2020), Fuad juga menjelaskan perseroan sudah menunjuk PJT Partners sebagai penasihat keuangan dan Allen & Overy sebagai penasihat hukum untuk membantu proses negosiasi kepada pemegang sukuk ini.
Melalui dua pihak tersebut, Garuda juga meminta pemegang sukuk menyusun dan membentuk suatu komite untuk memfasilitasi diskusi dengan para penasihatnya.
Fuad menjelaskan, bahwa Komite Ad-Hoc Pemegang Sukuk tersebut sudah dibentuk, yang secara keseluruhan memegang sekitar 28% sukuk dan dinasihati oleh Clifford Chance, firma hukum internasional yang berbasis di London.
"Setelah berdiskusi dengan komite tersebut, kami pada hari ini [Selasa] meluncurkan suatu permohonan persetujuan (concent solicitation exercise) sehubungan dengan proposal," kata Fuad.
Fuad mengatakan, komite telah mengindikasikan kepada perseroan bahwa (tunduk pada klien dan persetujuan lainnya) setiap anggota komite berniat untuk memberikan suara setuju terhadap proposal sehubungan dengan kepemilikan sukuk masing-masing.
"Rapat Pemegang Sukuk akan diadakan pada 10 Juni 2020 untuk memberikan suara terhadap proposal. Tanggal 10 Juni 2020 adalah tanggal terakhir, yang setelahnya sukuk akan ada dalam posisi cedera janji," tegas Fuad.
Dia mengatakan ketentuan-ketentuan utama dalam proposal, termasuk suatu perjanjian jatuh tempo 3 tahun dan covenanty holiday hingga operasi kembali pada tingkat serupa dengan situasi sebelum Covid-19.
"Walaupun struktur dan perincian dukungan pemerintah masih dalam tahar pembahasan, proposal mencantumkan fakta bahwa jika dukungan ini datang dalam bentuk utang, utang tersebut tidak akan jatuh tempo sebelum jatuh tempo sukuk yang jatuh Juni 2023," jelasnya.
"Dewan perseroan mengucapkan terima kasih kepada komite atas bantuan dan dukungan dan menganjurkan agar pemegang sukuk lain memberikan suara setuju dengan penerimaan awal."
Mengacu laporan keuangan 2019 mencatat, GIAA memang memiliki utang obligasi dari penerbitan Trust Certificates yang tidak dijamin sebesar US$ 500 juta.
Surat utang yang diterbitkan dengan nama Garuda Indonesia Global Sukuk Limited ini tercatat di Bursa Singapura, jatuh tempo pada 3 Juni 2020 dan dirilis pada 3 Juni 2015 atau 5 tahun lalu. Per 31 Desember 2019, saldo utang obligasi syariah ini mencapai US$ 498,99 juta.
(tas/hps) Next Article Saham GIAA Anjlok ke Harga Segini, Setelah 4 Hari Nanjak
