
Mau Menguat, Tapi Rupiah Masih "Malu-malu"
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 May 2020 10:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berayun antara penguatan dan pelemahan di awal perdagangan Senin (18/9/2020) dipengaruhi sentimen dari dalam dan luar negeri.
Saat pembukaan perdagangan, rupiah melemah 0,13%, depresiasi semakin besar hingga 0,2% di Rp 14.860/US$. Setelahnya rupiah berbalik menguat tipis, tetapi balik lagi ke zona merah, sebelum akhirnya berada di level Rp 14.810/US$ atau menguat 0,13% pada pukul 10.00 WIB di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Sementara itu kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR) hari ini berada di Rp 14.885/US$, menguat 0,13% dibandingkan Jumat (15/5/2020) pekan lalu.
Rupiah yang masih "malu-malu" menguat hari ini akibat penguatan tajam sejak bulan April. Sepanjang pekan lalu, rupiah mampu membukukan penguatan 0,4%, meski tidak besar tetapi menjadi yang terbaik di Asia.
Sementara pagi ini, rupiah masih berada di peringkat ketiga, kalah dari baht Thailand dan dolar Singapura, serta sama dengan won Korea Selatan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 10:00 WIB.
Rupiah sebenarnya mulai menguat sejak awal April, bahkan membukukan penguatan 4 pekan beruntun sebelum terhenti pada pekan lalu. Sehingga dalam 6 pekan terakhir hingga pekan ini, rupiah menguat sebanyak 5 kali. Sepanjang April, rupiah bahkan mencatat penguatan lebih dari 9%.
Penguatan tajam tersebut dan posisi rupiah yang cukup jauh dari level Rp 15.000/US$ tentunya rentan terhadap koreksi teknikal yang membuat rupiah melemah.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan selalu menekankan rupiah akan di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun ini. Padahal posisi rupiah sudah mendekati Rp 14.800/US$.
Pernyataan Perry tersebut tentunya memberikan dampak psikologis di pasar "rupiah tidak akan menguat lebih jauh", sehingga perlu tenaga ekstra atau momentum yang besar agar rupiah mampu menguat tajam lagi. Akibatnya rupiah pun jadi "malu-malu" untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rencana pemerintah memutar kembali perekonomian. Pemerintah saat ini tengah mengkampanyekan untuk hidup berdampingan dengan penyakit virus corona (Covid-19) selama vaksin belum ditemukan. Hidup berdampingan dengan virus corona dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan.
Tetapi menurut Jokowi, hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan berarti menyerah dan pesimistis, justru itu menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat atau yang disebut new normal.
Presiden Jokowi ingin agar masyarakat kembali produktif, artinya bisa bisa kembali beraktivitas tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Pemerintah sudah mengizinkan karyawan berusia di bawah 45 tahun di 11 sektor yang saat ini dikecualikan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk kembali bekerja.
Terbaru, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan sudah menghimbau BUMN untuk mulai bekerja pada 25 Mei 2020 mendatang, bagi karyawan yang berusia di bawah 45 tahun. Sedangkan usia di atas 45 tahun diperkenankan untuk tetap bekerja di rumah.
Berdasarkan Surat Menteri BUMN Nomor S-336/MBU/05/2020 tertanggal 15 Mei 2020, kebijakan ini dijalankan dengan tetap menerapkan protokol perlindungan karyawan dan pelanggan serta rantai lainnya.
Bersama dengan surat tersebut disampaikan simulasi tahapan pemulihan kegiatan #CovidSafe BUMN yang dilakukan dalam beberapa fase yang akan dimulai pekan depan.
Kembali diputarnya roda perekonomian tentunya memberikan sentimen positif ke pasar, meski harus berhati-hati agar tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19.
Sementara itu, memanasnya hubungan AS-China menjadi perhatian pelaku pasar. Penyebabnya konflik kedua negara yakni asal-usul virus corona yang dikatakan berasal dari laboratorium di China.
Dalam pernyataannya kepada media, Presiden AS Donald Trump tak segan menyebut kemungkinan memutus hubungan dengan China. Alasannya, karena China gagal menahan pandemi COVID-19.
"Mereka seharusnya tidak membiarkan ini terjadi," kata Trump dikutip Reuters.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa memutus seluruh hubungan (dengan China)," tegasnya.
Trump yang terus menyerang China memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi babak baru perang dagang, bahkan yang lebih parah kemungkinan perang dunia III.
Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.
Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.
Memanasnya hubungan kedua negara membuat cukup membebani sentimen pelaku pasar yang membuat rupiah berayun antara penguatan dan pelemahan di awal perdagangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Saat pembukaan perdagangan, rupiah melemah 0,13%, depresiasi semakin besar hingga 0,2% di Rp 14.860/US$. Setelahnya rupiah berbalik menguat tipis, tetapi balik lagi ke zona merah, sebelum akhirnya berada di level Rp 14.810/US$ atau menguat 0,13% pada pukul 10.00 WIB di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Sementara itu kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (JISDOR) hari ini berada di Rp 14.885/US$, menguat 0,13% dibandingkan Jumat (15/5/2020) pekan lalu.
Sementara pagi ini, rupiah masih berada di peringkat ketiga, kalah dari baht Thailand dan dolar Singapura, serta sama dengan won Korea Selatan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 10:00 WIB.
Rupiah sebenarnya mulai menguat sejak awal April, bahkan membukukan penguatan 4 pekan beruntun sebelum terhenti pada pekan lalu. Sehingga dalam 6 pekan terakhir hingga pekan ini, rupiah menguat sebanyak 5 kali. Sepanjang April, rupiah bahkan mencatat penguatan lebih dari 9%.
Penguatan tajam tersebut dan posisi rupiah yang cukup jauh dari level Rp 15.000/US$ tentunya rentan terhadap koreksi teknikal yang membuat rupiah melemah.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam beberapa kesempatan selalu menekankan rupiah akan di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun ini. Padahal posisi rupiah sudah mendekati Rp 14.800/US$.
Pernyataan Perry tersebut tentunya memberikan dampak psikologis di pasar "rupiah tidak akan menguat lebih jauh", sehingga perlu tenaga ekstra atau momentum yang besar agar rupiah mampu menguat tajam lagi. Akibatnya rupiah pun jadi "malu-malu" untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rencana pemerintah memutar kembali perekonomian. Pemerintah saat ini tengah mengkampanyekan untuk hidup berdampingan dengan penyakit virus corona (Covid-19) selama vaksin belum ditemukan. Hidup berdampingan dengan virus corona dinyatakan Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan.
Tetapi menurut Jokowi, hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan berarti menyerah dan pesimistis, justru itu menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat atau yang disebut new normal.
Presiden Jokowi ingin agar masyarakat kembali produktif, artinya bisa bisa kembali beraktivitas tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Pemerintah sudah mengizinkan karyawan berusia di bawah 45 tahun di 11 sektor yang saat ini dikecualikan dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk kembali bekerja.
Terbaru, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan sudah menghimbau BUMN untuk mulai bekerja pada 25 Mei 2020 mendatang, bagi karyawan yang berusia di bawah 45 tahun. Sedangkan usia di atas 45 tahun diperkenankan untuk tetap bekerja di rumah.
Berdasarkan Surat Menteri BUMN Nomor S-336/MBU/05/2020 tertanggal 15 Mei 2020, kebijakan ini dijalankan dengan tetap menerapkan protokol perlindungan karyawan dan pelanggan serta rantai lainnya.
Bersama dengan surat tersebut disampaikan simulasi tahapan pemulihan kegiatan #CovidSafe BUMN yang dilakukan dalam beberapa fase yang akan dimulai pekan depan.
Kembali diputarnya roda perekonomian tentunya memberikan sentimen positif ke pasar, meski harus berhati-hati agar tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19.
Sementara itu, memanasnya hubungan AS-China menjadi perhatian pelaku pasar. Penyebabnya konflik kedua negara yakni asal-usul virus corona yang dikatakan berasal dari laboratorium di China.
Dalam pernyataannya kepada media, Presiden AS Donald Trump tak segan menyebut kemungkinan memutus hubungan dengan China. Alasannya, karena China gagal menahan pandemi COVID-19.
"Mereka seharusnya tidak membiarkan ini terjadi," kata Trump dikutip Reuters.
"Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita bisa memutus seluruh hubungan (dengan China)," tegasnya.
Trump yang terus menyerang China memicu kecemasan akan kemungkinan terjadi babak baru perang dagang, bahkan yang lebih parah kemungkinan perang dunia III.
Reuters mengabarkan, China Institutes of Contemporary International Relations (CICIR) yang merupakan lembaga think tank dengan afiliasi ke Kementerian Pertahanan Negeri Tirai Bambu, membuat laporan bahwa Beijing berisiko diterpa sentimen kebencian dari berbagai negara. Skenario terburuknya, China harus bersiap dengan kemungkinan terjadinya konfrontasi bersenjata alias perang.
Sejauh ini pemerintah China belum memberikan konfirmasi mengenai laporan CICIR tersebut. "Saya tidak punya informasi yang relevan," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China kala dikonfirmasi oleh Reuters.
Memanasnya hubungan kedua negara membuat cukup membebani sentimen pelaku pasar yang membuat rupiah berayun antara penguatan dan pelemahan di awal perdagangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular