FYI, BI Sudah 'Cetak Uang' Rp 500 Triliun Lebih
13 May 2020 15:06

Di luar MMT, bank sentral di banyak negara, termasuk Bank Indonesia sebenarnya sudah "mencetak uang". Hingga saat ini BI sudah "mencetak uang" lebih dari Rp 500 triliun untuk menambah likuiditas di pasar yang sedang mengetat akibat roda perekonomian yang melambat bahkan nyaris berhenti berputar.
Istilah "mencetak uang" disini bukan benar-benar mencetak uang fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Patut diingat, penambahan suplai tersebut juga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk simpanan perbankan.
Sejak pandemi Covid-19 menghantam perekonomian Indonesia, BI sudah mengambil kebijakan yang termasuk kategori "mencetak uang". Hal tersebut dilakukan BI dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dua kali di tahun ini.
Mulai awal Mei, BI menurunkan GWM 200 basis poin (bps) untuk bank umum, dan 50 bps untuk bank syariah. Dengan penurunan tersebut, BI mengatakan ada penambahan likuiditas ke perekonomian sebesar Rp 117,8 triliun. Sebelumnya di awal tahun ini, BI juga sudah melonggarkan GWM yang menambah likuiditas sebesar 53 triliun.
Selain itu, BI juga melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai 166,2 trilun. Kemudian memberikan fasilitas repo perbankan senilai Rp 137,1 trilun, dengan fasilitas tersebut lembaga keuangan atau korporasi yang memiliki SBN bisa menggadaikannya di BI.
BI juga memberikan fasilitas swap valas sebesar 29,7 triliun. Sehingga jika di total, BI sudah "mencetak uang" senilai Rp 503,8 triliun.
Istilah "mencetak uang" ini mulai populer setelah krisis finansial 2008, saat itu The Fed dan beberapa bank sentral utama dunia lainnya menerapkan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE). Sejak saat itu, ketika bank sentral melakukan QE maka lazim disebut "printing money" atau "mencetak uang".
Bank sentral Jepang (BoJ) menjadi bank sentral pertama yang mengambil kebijakan "mencetak uang" di era milenium. BoJ pertama kali melakukannya pada Maret 2001, untuk memberikan stimulus ke perekonomian, dan menaikkan inflasi. BoJ kala itu melakukan QE dengan membeli obligasi pemerintah, obligasi perusahaan swasta hingga saham. Hal yang sama dilakukan BI dengan membeli SBN senilai Rp 166,2 triliun.
Pasca krisis finansial global 2008, The Fed, Swiss National Bank (SNB), Bank of England (BoE), hingga European Central Bank (ECB) juga melakukan hal yang sama guna memacu perekonomian masing-masing. Sehingga sejak saat itu istilah "mencetak uang" menjadi semakin populer.
Kini di tengah pandemi Covid-19, semakin banyak bank sentral yang menerapkan kebijakan "mencetak uang" termasuk juga Bank Indonesia, guna mencegah pengetatan likuiditas di perekonomian sekaligus merangsang agar roda perekonomian segera berputar ketika Covid-19 berhasil dikendalikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Istilah "mencetak uang" disini bukan benar-benar mencetak uang fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Patut diingat, penambahan suplai tersebut juga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk simpanan perbankan.
Sejak pandemi Covid-19 menghantam perekonomian Indonesia, BI sudah mengambil kebijakan yang termasuk kategori "mencetak uang". Hal tersebut dilakukan BI dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dua kali di tahun ini.
Mulai awal Mei, BI menurunkan GWM 200 basis poin (bps) untuk bank umum, dan 50 bps untuk bank syariah. Dengan penurunan tersebut, BI mengatakan ada penambahan likuiditas ke perekonomian sebesar Rp 117,8 triliun. Sebelumnya di awal tahun ini, BI juga sudah melonggarkan GWM yang menambah likuiditas sebesar 53 triliun.
Selain itu, BI juga melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai 166,2 trilun. Kemudian memberikan fasilitas repo perbankan senilai Rp 137,1 trilun, dengan fasilitas tersebut lembaga keuangan atau korporasi yang memiliki SBN bisa menggadaikannya di BI.
BI juga memberikan fasilitas swap valas sebesar 29,7 triliun. Sehingga jika di total, BI sudah "mencetak uang" senilai Rp 503,8 triliun.
Istilah "mencetak uang" ini mulai populer setelah krisis finansial 2008, saat itu The Fed dan beberapa bank sentral utama dunia lainnya menerapkan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE). Sejak saat itu, ketika bank sentral melakukan QE maka lazim disebut "printing money" atau "mencetak uang".
Bank sentral Jepang (BoJ) menjadi bank sentral pertama yang mengambil kebijakan "mencetak uang" di era milenium. BoJ pertama kali melakukannya pada Maret 2001, untuk memberikan stimulus ke perekonomian, dan menaikkan inflasi. BoJ kala itu melakukan QE dengan membeli obligasi pemerintah, obligasi perusahaan swasta hingga saham. Hal yang sama dilakukan BI dengan membeli SBN senilai Rp 166,2 triliun.
Pasca krisis finansial global 2008, The Fed, Swiss National Bank (SNB), Bank of England (BoE), hingga European Central Bank (ECB) juga melakukan hal yang sama guna memacu perekonomian masing-masing. Sehingga sejak saat itu istilah "mencetak uang" menjadi semakin populer.
Kini di tengah pandemi Covid-19, semakin banyak bank sentral yang menerapkan kebijakan "mencetak uang" termasuk juga Bank Indonesia, guna mencegah pengetatan likuiditas di perekonomian sekaligus merangsang agar roda perekonomian segera berputar ketika Covid-19 berhasil dikendalikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Artikel Selanjutnya