
Harga Batu Bara Rally, BUMI: Masih Terlalu Murah
Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
08 May 2020 14:45

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga batu bara Newcastle untuk kontrak yang ramai diperdagangkan ditutup menguat tipis kemarin dan mencatatkan reli tiga hari beruntun. Pada Kamis (7/5/2020), harga batu bara kontrak berjangka Newcastle ditutup naik 0,28% ke US$ 52,9/ton. Dalam sepekan ini harga batu bara cenderung naik 2,8%.
Meski ada potensi kenaikan harga batu bara terus terjadi, perusahaan batu bara terbesar di Indonesia PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menyatakan masih harus melihat tren kenaikan ini hingga beberapa waktu ke depan.
"Harga batu bara masih sangat rendah sekarang, tetapi hal ini bisa dilihat sebagai sinyal bahwa pasar mungkin akan berubah. Meski demikian situasi ini perlu dicermati lebih lanjut sebelum mengambil tindakan," kata Direktur dan Sekretaris Perusahaan Dileep Srivastava, Jumat (08/05/2020).
Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia hingga April 2020 impor batu bara China sudah mencapai 126,73 juta ton. Artinya dalam periode empat bulan pertama tahun 2020, telah terjadi kenaikan impor batu bara sebesar 26,9% (yoy) dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Dileep mengatakan pulihnya permintaan China sebagai importir batu bara terbesar di dunia merupakan petanda baik. Namun bagi perusahaan masih ada satu negara lagi yang harus diperhitungkan yakni India, yang menunjukan penurunan karena kebijakan lockdown.
"China memang kelihatannya sudah mulai membaik, tapi India masih belum menunjukan perbaikan karena kebijakan lockdown. Kami masih terus memantau perkembangan di kedua negara ini," kata Dileep.
Situasi yang tidak menentu ini menurutnya membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Dileep mengatakan perusahaan secara berkala melakukan peninjauan dari aspek pasar dan sektor batu batu bara sebelum mengambil keputusan.
"Kami sedang meninjau situasi pasar dan sektor secara berkala, sehingga bisa melakukan penyesuaian yang tepat dengan kondisi saat ini," ujarnya.
Saat ini BUMI pun tengah menunggu perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK untuk tambang Arutmin, yang kontraknya habis pada November 2020. Perusahaan optimistis tambang Arutmin akan mendapatkan segera setelah omnibus law selesai di bahas.
Dileep mengatakan produsen batu bara terbesar ini memperkirakan omnibus law bisa selesai dibahas sebelum lebaran tiba.
"Kami optimistis status PKP2B tidak lama lagi akan berubah statusnya menjadi IUPK," katanya belum lama ini.
Menurutnya perusahaan berusaha untuk mendorong adanya kejelasan untuk meningkatkan kuota produksi pada 2020, terutama dengan sistem pemerintah yang bergerak lebih lambat karena adanya pandemi COVID-19. Perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK dibutuhkan oleh salah satu anak usahanya PT Arutmin Indonesia, yang izinnya habis pada November 2020.
Tahun ini produksi batu bara di Arutmin diproyeksikan mencapai 28-30 juta ton, sementara anak usaha lainnya Kaltim Prima Coal (KPC) diproyeksi mencapai 60-65 juta ton. Keduanya masih tunduk pada pembatasan produksi yang diberlakukan oleh pemerintah saat ini, yakni 52,6 juta ton di KPC dan 22,9 juta ton di Arutmin.
"Kami berharap dapat mendengar beberapa berita positif di bulan Mei," kataDileep.
Meski ada potensi kenaikan harga batu bara terus terjadi, perusahaan batu bara terbesar di Indonesia PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menyatakan masih harus melihat tren kenaikan ini hingga beberapa waktu ke depan.
"Harga batu bara masih sangat rendah sekarang, tetapi hal ini bisa dilihat sebagai sinyal bahwa pasar mungkin akan berubah. Meski demikian situasi ini perlu dicermati lebih lanjut sebelum mengambil tindakan," kata Direktur dan Sekretaris Perusahaan Dileep Srivastava, Jumat (08/05/2020).
Dileep mengatakan pulihnya permintaan China sebagai importir batu bara terbesar di dunia merupakan petanda baik. Namun bagi perusahaan masih ada satu negara lagi yang harus diperhitungkan yakni India, yang menunjukan penurunan karena kebijakan lockdown.
"China memang kelihatannya sudah mulai membaik, tapi India masih belum menunjukan perbaikan karena kebijakan lockdown. Kami masih terus memantau perkembangan di kedua negara ini," kata Dileep.
Situasi yang tidak menentu ini menurutnya membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Dileep mengatakan perusahaan secara berkala melakukan peninjauan dari aspek pasar dan sektor batu batu bara sebelum mengambil keputusan.
"Kami sedang meninjau situasi pasar dan sektor secara berkala, sehingga bisa melakukan penyesuaian yang tepat dengan kondisi saat ini," ujarnya.
Saat ini BUMI pun tengah menunggu perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK untuk tambang Arutmin, yang kontraknya habis pada November 2020. Perusahaan optimistis tambang Arutmin akan mendapatkan segera setelah omnibus law selesai di bahas.
Dileep mengatakan produsen batu bara terbesar ini memperkirakan omnibus law bisa selesai dibahas sebelum lebaran tiba.
"Kami optimistis status PKP2B tidak lama lagi akan berubah statusnya menjadi IUPK," katanya belum lama ini.
Menurutnya perusahaan berusaha untuk mendorong adanya kejelasan untuk meningkatkan kuota produksi pada 2020, terutama dengan sistem pemerintah yang bergerak lebih lambat karena adanya pandemi COVID-19. Perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK dibutuhkan oleh salah satu anak usahanya PT Arutmin Indonesia, yang izinnya habis pada November 2020.
Tahun ini produksi batu bara di Arutmin diproyeksikan mencapai 28-30 juta ton, sementara anak usaha lainnya Kaltim Prima Coal (KPC) diproyeksi mencapai 60-65 juta ton. Keduanya masih tunduk pada pembatasan produksi yang diberlakukan oleh pemerintah saat ini, yakni 52,6 juta ton di KPC dan 22,9 juta ton di Arutmin.
"Kami berharap dapat mendengar beberapa berita positif di bulan Mei," kataDileep.
(dob/dob) Next Article Penjualan Batu Bara BUMI Capai 78,7 Juta Ton di 2023
Most Popular