
Waspada Default! Utang Korporasi di 3 Negara Asia Ini Bengkak

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank asal Australia, ANZ, melaporkan nilai utang perusahaan-perusahaan membengkak dengan cepat dan jumlahnya kian membubung tinggi terutama di tiga negara Asia yakni China, Korea Selatan (Korsel), dan Singapura saat ekonomi dunia suram akibat dampak pandemi virus corona (Covid-19).
Dalam laporannya, ANZ Research, menyebutkan perusahaan-perusahaan di tiga negara Asia itu dengan cepat menaikkan nilai utang dalam beberapa tahun terakhir.
Tetapi hadirnya coronavirus menekan pendapatan perusahaan dan pada gilirannya, mempengaruhi kemampuan korporasi dalam melunasi utang mereka sehingga ada potensi peringkat utang turun, bahkan menuju gagal bayar alias default.
"Besarnya dan kecepatan akumulasi nilai utang yang tertinggi terjadi di China, Singapura, dan Korea Selatan," kata laporan itu, dilansir CNBC International, Rabu (6/5/2020).
"Karena intensitas pandemi Covid-19 serta berbagai langkah pemerintah menekan virus ini [termasuk lockdown], pendapatan perusahaan di beberapa sektor akhirnya terdampak ... Jika situasi ini terus berlanjut, ini dapat mengakibatkan penurunan peringkat kredit dan [berpotensi] default [gagal bayar] serta pertumbuhan ekonomi lebih rendah."
Perusahaan-perusahaan di sektor energi sangat terpukul di Singapura dan Korea Selatan, sementara di China, sektor yang cukup terimbas ialah perusahaan real estate.
Sektor energi di Singapura, yang menyumbang seperlima Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Merlion itu pada 2019, mengalami pendapatan negatif. Dengan kata lain, sektor ini mulai merugi, dan menjadi masalah karena sektor energi adalah sektor dengan kebutuhan bujet besar.
"Meskipun ini merupakan karakteristik industri energi secara global, ada risiko tambahan likuiditas yang terbatas di Singapura, yang membuat sektor ini jadi memprihatinkan," tulis ANZ. "Perusahaan-perusahaan sektor energi di Singapura menyumbang 15,7% dari total pembayaran utang tahun ini di Singapura," kata ANZ.
Perusahaan-perusahaan energi di Korea Selatan juga "terlalu banyak menggunakan kas, dan kini mulai kekurangan kas mereka," tulis laporan itu.
Secara keseluruhan, sektor usaha kecil dan menengah (UKM) di negara Korsel juga menjadi perhatian, karena sektor ini mengambil kredit perbankan lebih banyak dalam 2 tahun terakhir.
"Bisnis kecil [UMKM] cenderung mengalami krisis uang lebih cepat daripada sektor-sektor bisnis lain yang lebih besar, yang menimbulkan risiko ekonomi makro karena pentingnya UKM ini dalam perekonomian Korea Selatan," sebut ANZ.
Sementara itu, di China, sektor real estat "terlalu mengalami dampak panjang karena sebelumnya sudah jor-joran ekspansi selama beberapa tahun terakhir," kata ANZ. Jadi jika perusahaan-perusahaan di Singapura 'lebih rentan', paling tidak China juga.
Di Singapura, perusahaan-perusahaan dinilai "lebih rentan," karena korporasi di sana menghadapi arus kas dan risiko nilai tukar yang terdepresiasi.
"Enam dari 10 sektor korporasi sangat tinggi leveraged [utang numpuk] dan kas yang terbatas," kata ANZ.
Perusahaan-perusahaan Singapura lebih rentan terhadap risiko nilai tukar mata uang dibandingkan dengan dua negara lainnya. Hal ini juga karena 60,9% dari obligasi korporasi yang beredar di sana adalah dalam mata uang dolar AS, dan hanya sepertiga dalam mata uang lokal. Kondisi ini berbeda dengan Korea Selatan, yang hanya memiliki seperlima dari obligasi yang beredar dalam mata uang asing.
Tapi, kata ANZ, perusahaan di Korsel memiliki risiko lain, yakni sangat kekurangan kas.
"Meskipun tingkat risiko valuta asing yang lebih rendah [dibanding korporasi Singapura], perusahaan di Korsel memiliki utang 'berisiko tinggi' yang tidak berkelanjutan dan 80% sektor perusahaan yang punya leverage [tingkat utang] tinggi memiliki buffer [bantalan] kas yang terbatas," kata ANZ.
Perusahaan-perusahaan China masih berada pada posisi lebih baik, karena hanya tiga dari 10 sektor yang terkena dampak panjang. Selain itu, sebagian besar utang korporasi China adalah milik negara, jadi ada "jaminan implisit jika ada potensi gagal bayar," kata laporan ANZ.
(tas/tas) Next Article Dubes Korsel: Segera Selesaikan Persoalan Jiwasraya!
