Dolar Sudah di Atas Rp 15.000, Rupiah Terlemah di Asia!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 May 2020 10:15
Dollar-Rupiah
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga tidak berdaya di perdagangan pasar spot, dengan depresiasi lebih dari 1%.

Pada Senin (4/5/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 15.073. Rupiah melemah 0,55% dibandingkan posisi sebelum libur Hari Buruh.

Di perdagangan pasar spot, rupiah juga merah. Pada pukul 10:04 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 15.060 di mana rupiah melemah 1,59%.

Kala pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah 0,74%. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah dan dolar AS sudah menembus level Rp 15.000.


Sayang sekali, karena sebenarnya mayoritas mata uang utama Asia berhasil melemah di hadapan dolar AS. Alhasil, depresiasi lebih dari 1% membuat rupiah terbenam di dasar 'klasemen' mata uang Asia.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning di perdagangan pasar spot pada pukul 10:04 WIB:




Sepertinya faktor domestik berperan besar dalam pelemahan rupiah hari ini. Pertama, penguatan rupiah memang sudah 'ugal-ugalan'. Walau hari ini melemah lebih dari 1%, rupiah masih terapresiasi 8,46% di hadapan greenback dalam sebulan terakhir.

Ini membuat rupiah rentan terserang ambil untung (profit taking). Investor tentu ada yang merasa keuntungan yang didapat dari rupiah sudah banyak sehingga menggoda untuk segera dicairkan. Ketika ini terjadi, rupiah akan terpapar tekanan jual sehingga nilai tukarnya melemah.

Kedua, IHS Markit hari in merilis data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia. Hasilnya sama sekali tidak menyenangkan.

Pada April 2020, PMI manufaktur Indonesia berada di angka 27,5. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI pada April 2011.


Keterangan tertulis IHS Markit menyebutkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di Indonesia dalam rangka memerangi penyebaran virus corona membuat produksi manufaktur anjlok karena pabrik-pabrik tutup sementara. Akibatnya, output manufaktur berada di titik terlemah sepanjang sejarah pencatatan PMI.

Tidak hanya produksi, permintaan juga lesu terutama untuk keperluan ekspor. Maklum, pembatasan sosial (social distancing) tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Kala masyarakat dunia #dirumahaja, maka permintaan sudah pasti turun drastis.

Produksi dan permintaan yang lemas membuat penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas. PMI mencatat sudah banyak perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).


Pabrik juga lebih memilih untuk menjual stok yang sudah ada ketimbang membuat yang baru. Hasilnya, pembelian bahan baku (input) untuk proses produksi pun berkurang drastis.

PMI adalah indikator permulaan (leading indicator) yang menggambarkan arah perekonomian ke depan. Kelesuan PMI, yang menggambarkan lemahnya dunia usaha, membuat prospek perekonomian nasional suram.

Ketiga, investor juga menantikan rilis data inflasi pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulan lalu akan berada di 0,2% secara bulanan (month-on-month/MoM). Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 2,78% dan inflasi inti di 2,91% YoY.


Secara bulanan, laju inflasi sedikit terakselerasi dibandingkan Maret. Namun kalau melihat tahunan, ada perlambatan di mana inflasi kian menjauhi level 3%.

Sebenarnya laju inflasi yang 'jinak' bisa menjadi sentimen positif buat rupiah. Investor akan mendapatkan keuntungan maksimal, karena nilai tukar yang 'termakan' oleh inflasi tidak terlalu banyak.

Namun sentimen positif dari inflasi tidak mampu menutup dua kabar buruk sebelumnya. Akibatnya, rupiah depresiasi rupiah semakin dalam.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular