Rating Industri Sawit Jadi Negatif, Apa Strategi Emiten CPO?

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
24 April 2020 14:23
FILE PHOTO: A worker shows palm oil fruits at a plantation in Chisec, Guatemala December 19, 2018. REUTERS/Luis Echeverria/File Photo
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (REUTERS/Luis Echeverria)

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten di sektor perkebunan kelapa sawit diyakini memiliki risiko lebih tinggi karena meningkatnya profil utang selama masa pandemi virus Corona (Covid-19).

Riset yang dipublikasikan Fitch Ratings bertajuk Indonesian Palm Oil, Homebuilders More Exposed to Coronavirus, menyebutkan, sektor komoditas seperti minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) cukup tertekan, pasalnya permintaan domestik menurun karena melemahnya daya beli akibat pandemi ini.

Tidak hanya itu, Fitch juga mencermati, harga CPO mengalami pelemahan pada Februari 2020, melanjutkan tekanan yang terjadi sejak 2019 lalu.

"Hal ini mendorong Fitch merevisi kembali prospek sektor CPO dari sebelumnya stabil menjadi negatif," tulis Fitch Ratings, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (23/4/2020).

Kondisi ini tentu akan menjadi tantangan bagi emiten sawit, terutama yang memiliki utang dalam denominasi dollar, di tengah kondisi kurs rupiah yang masih melemah, beban bunga utang bisa meningkat.


Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), Santosa mengatakan, perseroan mengantisipasi dampak kerugian kurs lebih dalam dengan melakukan lindung nilai (hedging).

"Kebijakan pengelolaan neraca kami selalu konsisten prudent sejak awal, sehingga seluruh utang mata uang asing sudah lindung nilai, sehingga praktis tidak lagi terkena fluktuasi nilai tukar," kata Santosa, kepada CNBC Indonesia, Rabu (22/4/2020).

Selain itu, untuk memastikan terjaganya kondisi likuiditas selama pandemi, emiten sawit Grup Astra ini juga telah mengantisipasi melalui fasilitas pinjaman dalam bentuk commited facility dalam dalam kurs dolar dan rupiah yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk memenuhi belanja modal perseroan.

"Kami menyiapkan fasilitas pinjaman dalam bentuk committed facility, sehingga fasilitas pinjaman yang masih belum digunakan sebesar US$ 50 juta dan Rp 2 triliun, sewaktu-waktu bisa ditarik untuk mendukung likuiditas baik untuk modal kerja maupun investasi," katanya.

Sebagai informasi, emiten bersandi AALI di Bursa Efek Indonesia ini, pada 2019 mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 85% menjadi Rp 211,11 miliar dari tahun 2018 sebesar Rp 1,43 triliun. Penjualan dan pendapatan usaha Rp 17,45 triliun pada tahun 2019, turun 8,55% dari tahun sebelumnya Rp 19,08 triliun.

Jumlah aset perseroan hingga 31 Desember 2019 tercatat Rp 26,97 triliun dengan jumlah liabilitas Rp 7,99 triliun dan ekuitas Rp 18,97 triliun.

Pada Jumat ini (24/4/2020), harga CPO k
embali turun setelah dua hari reli mengekor harga minyak mentah yang juga melesat. Kekhawatiran akan kenaikan produksi di tengah suramnya permintaan akibat pandemi virus corona membuat harga komoditas unggulan Indonesia dan Negeri Jiran ini rawan terkoreksi.

Harga CPO kontrak pengiriman Juli 2020 dibanderol RM 2.099 per ton pada 11.21 WIB. Harga turun 20 ringgit atau melemah 0,94%. Dalam dua hari terakhir harga minyak mentah acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate reli 40% lebih, mengacu data Refinitiv.


[Gambas:Video CNBC]






(tas/tas) Next Article Tukang Becak Mendadak Jadi OKB, Menang Undian Rp 100 M

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular