Cuek dengan Kejatuhan Minyak Dunia, IHSG Melesat 1,5%

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 April 2020 16:36
Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat nyaris 1,5% pada perdagangan Rabu (22/4/2020), mengabaikan ambrolnya harga minyak mentah. Apalagi, Gubernur Bank Indonesia (BI menyebut turunnya harga minyak mentah menguntungkan bagi Indonesia.

IHSG sebenarnya membuka perdagangan di zona merah, melemah hingga 1,35% ke 4.441,090 yang menjadi level terendah intraday di sesi I. Setelahnya IHSG perlahan bangkit hingga mengakhiri sesi I di level 5.526,669, menguat 0,55%.

Berdasarkan data BEI, nilai transaksi sepanjang sesi I sebesar Rp 4,39 triliun dengan investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 154,81 miliar di pasar reguler dan non-reguler.


Memasuki perdagangan sesi II, penguatan IHSG semakin terakselerasi hingga 1,75% ke 4580,68 yang menjadi level tertinggi intraday. Di penutupan perdagangan, IHSG memangkas penguatan, berada di level 4.567,562 menguat 1,46%.

Nilai transaksi sepanjang perdagangan hari ini sebesar Rp 7,91 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 334,95 di pasar reguler dan non-reguler.



Sentimen pelaku pasar memang sedang kurang bagus sejak kemarin akibat harga minyak mentah dunia yang kembali ambrol. Tetapi IHSG masih mampu menguat sejak sesi I hari ini.

Jagat finansial dibuat heboh kemarin setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan. Sontak hal tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk.

Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa kemarin, dan kontrak yang paling aktif diperdagangkan saat ini adalah bulan Juni. Di akhir perdagangan Senin, minyak WTI kontrak Juni berada di level US$ 20,43/barel dan lebih tepat menggambarkan pasar minyak mentah yang sebenarnya.

Namun, Selasa kemarin minyak WTI kontrak Juni tersebut akhirnya ambles juga, sempat menyentuh level terendah intraday US$ 6,5/barel sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 11,57/barel. Harga minyak Brent juga ikut ambles ke bawah US$ 20/barel dan mencapai level terendah sejak 2001.



Ambrolnya harga minyak mentah masih berlanjut, hingga siang ini WTI ambles lebih dari 7% berada di kisaran US$ 10/barel, sementara Brent lebih parah, ambrol 15% lebih dan diperdagangkan di kisaran US$ 16/barel.

Harga minyak mentah biasanya dijadikan acuan tingkat aktivitas ekonomi global, sebab ketika roda perekonomian berputar dengan cepat, permintaan minyak mentah untuk industri akan menjadi tinggi, dan harga minyak mentah akan naik.

Sebaliknya, ketika harga minyak mentah terus menurun, itu artinya permintaan rendah dan roda perekonomian melambat, atau bahkan terhenti sehingga tidak ada permintaan minyak mentah yang membuat harganya menjadi negatif.

"Dalang" dari semua ini sudah jelas, virus corona yang membuat banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) sehingga aktivitas ekonomi terhenti.

Di tengah kabar buruk tersebut, terselip beberapa kabar positif. Negara-negara Eropa mulai membuka karantina wilayah (lockdown) setelah penyebaran COVID-19 melambat. Italia berencana membuka lockdown secara bertahap pada 4 Mei nanti. Italia dan Spanyol sudah mengijinkan warganya mulai beraktivitas sejak pekan lalu.

Kemudian Jerman juga mulai mengizinkan warganya beraktivitas, toko-toko kecil sudah diizinkan buka kembali sejak Senin, dan sekolah mulai aktif lagi per 4 Mei.

Belanda juga berencana membuka lockdown secara bertahap mulai 11 Mei.

Roda binis di Eropa yang mulai berputar kembali tentunya menjadi kabar bagus, perekonomian global bisa perlahan bangkit dari keterpurukan.
Selain itu, dari AS, Senat AS telah menyetujui paket stimulus terbaru senilai US$ 484 miliar, dan akan diserahkan ke House of Representative (DPR) AS untuk di-voting.

Dari total paket tersebut, US$ 310 miliar ditujukan ditujukan untuk memberi bantuan kepada UMKM, sisanya akan diberikan ke rumah sakit serta untuk memperluas tes COVID-19.

Paket stimulus ini merupakan tambahan dari stimulus jumbo US$ 2 triliun yang sudah digelontorkan beberapa pekan lalu.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam video conferece hari ini kembali menebar optimisme di pasar keuangan Indonesia. Perry juga melihat pergerakan IHSG hingga siang tadi yang menguat sementara busa saham Asia lainnya berada di zona merah, begitu juga dengan bursa saham AS (Wall Street) pada perdagangan Selasa.

"Kelihatan di pasar saham, harga indeks saham tidak selalu mengikuti dengan perkembangan harga saham di luar negeri. Misalnya indeks di AS turun, tapi di Indonesia naik. Bahkan meningkat, levelnya 4.570, berarti naik 68 poin. Menunjukkan investor melihat perkembangan domestik," kata Perry.



Selain itu menurut Perry, ambrolnya harga minyak mentah bisa menguntungkan bagi ekonomi dalam negeri.

"Bagi ekonomi, secara netto positif dari sisi ekonomi dan sisi moneter. Kalau moneter, ingat kita kan net importir dari minyak, dan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak. Secara defisit transaksi berjalan dan perdagangan akan memperbaiki [ekonomi] Indonesia," imbuh Perry.

Menurut Perry, jika harga minyak turun nantinya subsidi juga turun dan itu secara keseluruhan membuat neraca pembayaran akan positif.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diperkirakan akan tinggi pada tahun depan, setelah pandemi COVID-19 berakhir.

"Tahun depan kalau ekonomi sudah mulai pulih, reformasi ekonomi Indonesia seperti Omnibus Law itu akan membuat meningkat. Tahun ini kami perkirakan pertumbuhan ekonomi adalah 2,3%, tahun depan seperti apa? Pertumbuhannya akan lebih tinggi, perkiraan kami bisa mencapai 6%," papar Perry.



Perry menyebutkan ada dua faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa tinggi. Pertama adalah perkiraan ekonomi sudah pulih setelah serangan pandemi virus corona. Langkah mitigasi dari pemerintah dan bank sentral akan membuat ekonomi Indonesia bisa melaju kencang.

Faktor kedua adalah pertumbuhan ekonomi tahun ini relatif rendah. Sehingga kalau tahun depan ekonomi membaik sedikit saja, pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi.

"Semula kami perkirakan pertumbuhan ekonomi 2021 adalah 5,2%, tetapi bisa lebih tinggi karena pengaruh tahun dasar. Jadi ada dua faktor yaitu pemulihan dan base effect secara statistik," kata Perry.



TIM RISET CNBC INDOESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular