
Gegara Covid-19, Pendapatan Garuda Bisa Tertekan 33% di Q1

Jakarta, CNBC Indonesia - Maskapai penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) memproyeksikan pendapatan perusahaan pada kuartal I-2020 akan tertekan, sebagai akibat dari penyebaran Covid-19.
Pendapatan operasional di 3 bulan pertama tahun ini diprediksi merosot 33% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen Garuda Indonesia menyebutkan turunnya pendapatan ini disebabkan karena terkoreksinya pendapatan penumpang.
Ada dua faktor penyebab penurunan ini yakni jumlah penumpang yang anjlok dan harga jual tiket yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Padahal pendapatan penumpang ini menyumbang 80% dari total pemasukan perusahaan.
"Kondisi market penumpang ini tentunya menekan perseroan untuk memangkas kapasitas produksi yang dimiliki, tercermin dari frekuensi penerbangan dan ASK [available seat kilometer] yang menurun," tulis manajemen GIAA, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (22/4/2020).
Jumlah penumpang ini turun drastis karena pemberlakuan larangan bepergian hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa daerah terutama Ibu Kota mengakibatkan masyarakat memilih untuk mengikuti peraturan pemerintah tersebut dengan membatasi aktivitas.
Turunnya daya beli masyarakat juga menjadi faktor lainnya sebagai dampak lesunya perekonomian dalam negeri, sehingga masyarakat memilih untuk mengurangi pengeluaran biaya untuk travelling.
Sebagai perbandingan, mengacu laporan keuangan kuartal I-2019, total pendapatan Garuda mencapai US$ 1,099 miliar atau setara dengan Rp 16,49 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$), dari periode yang sama tahun 2018 yakni US$ 983 juta atau Rp 14,75 triliun.
Adapun laba bersih US$ 20,48 juta atau Rp 307 miliar, dari sebelumnya rugi bersih US$ 65,34 juta. Jika terjadi penurunan 33% pendapatan, maka estimasi pendapatan GIAA pada 3 bulan pertama tahun ini bisa sekitar US$ 736 juta atau setara Rp 11 triliun.
Mengacu laporan keuangan 2019, Garuda akhirnya mencatatkan laba bersih sebesar US$ 6,99 juta atau setara dengan Rp 112 miliar (asumsi kurs Rp 16.000/US$), membalikkan rugi bersih tahun 2018 sebesar US$ 231,16 juta (Rp 3,6 triliun), kerugian yang dibukukan setelah pelaporan ulang atau restatement.
Laba per saham (earnings per share) induk usaha maskapai Garuda dan Citilink ini tercatat menjadi US$ 0,0003 dari sebelumnya yang rugi per saham US$ 0,0089.
Pemulihan kinerja dengan mencetak laba bersih itu sejalan dengan total pendapatan Garuda yang naik 5,5% menjadi US$ 4,57 miliar dari sebelumnya US$ 4,33 miliar. Nilai total pendapatan tersebut setara dengan Rp 73,16 triliun.
Pendapatan terbesar berasal dari bisnis penerbangan berjadwal sebesar US$ 3,77 miliar, naik dari sebelumnya US$ 3,53 miliar.
Sementara itu, pendapatan penerbangan tidak berjadwal atau charter turun menjadi US$ 249,91 juta dari sebelumnya US$ 266,87 juta, dan sisanya pendapatan lain-lain yang cukup besar yakni US$ 549,33 juta, naik dari sebelumnya US$ 534,25 juta.
(tas/tas) Next Article Singapore Airlines Masuk Garuda Indonesia, Bakal Bikin Ini
