Sederet Alasan yang Buat Impian Rupiah ke Rp 15.000/US$ Sirna

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 April 2020 17:43
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan perkembangan ekonomi terkini (Youtube Bank Indonesia)
Foto: Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan perkembangan ekonomi terkini (Youtube Bank Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonsia - Nilai tukar rupiah sedang perkasa di April, meski berakhir melemah pada perdagangan hari ini, Selasa (21/4/2020). 

Mata Uang Garuda tercatat melemah 0,16% di Rp 15.400/US$, tetapi jika dilihat sepanjang bulan April membukukan penguatan, 5,52%. Penguatan tersebut terbilang cukup impresif, mengingat di bulan Maret rupiah ambles 13,67%.

Pada pekan kedua dan ketiga Maret rupiah bahkan mengalami tekanan hebat, dalam sehari rupiah sempat ambles lebih dari 4% hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 23 Maret lalu. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak krisis moneter 1998 kala rupiah menyentuh rekor terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$.



Bank Indonesia pun bertindak dengan mengambil berbagai kebijakan hingga rupiah kembali stabil dan menguat belakangan ini. Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, berulang kali menegaskan nilai tukar rupiah akan kembali ke Rp 15.000/US$ di akhir tahun, dan nilai saat ini masih undervalue.

"Bahwa kami memandang rupiah yang sekarang undervalue, memadai karena memang risiko global lagi tinggi dan ke depannya akan cenderung stabil bahkan menguat karena akan ada portfolio inflow yang lebih besar," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, Kamis (2/4/2020).

"Dengan langkah bersama kami yakin nilai tukar rupiah tidak hanya stabil tapi bahkan menguat di Rp 15.000 di akhir tahun ini," kata dia.



Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi. Dampaknya rupiah pun bergejolak.

Sementara sejak akhir Maret hingga 7 April, sempat terjadi capital inflow sekitar Rp 920 miliar, yang membuat rupiah perlahan mulai bangkit.

Tapi, sekali lagi perlu ditekankan pergerakan rupiah sangat rentang terhadap hot money, dan outflow atau inflow sangat dipengaruhi oleh sentimen pelaku pasar. Hal itu membuat impian Gubernur Perry rupiah akan ke Rp 15.000/US$ mendapat tantangan yang cukup berat.

Berikut beberapa hal yang dapat membuat rupiah gagal ke Rp 15.000/US$.

Penyebaran COVID-19

"Dalang" dari merosotnya kurs rupiah sudah pasti virus corona. Penyebaran penyakit yang disebabkan virus corona (COVID-19) membuat aktivitas ekonomi secara global lumpuh akibat banyak negara yang menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Resesi global pun hampir dipastikan akan terjadi.

Penyebaran COVID-19 secara global sudah menunjukkan tanda-tanda pelambatan, tetapi di Indonesia masih dalam tren naik. Hingga hari ini jumlah kasus dilaporkan sebanyak 7.135 orang, dengan 616 meninggal dunia dan 842 orang dinyatakan sembuh.

Kemampuan pemerintah dalam menanggulangi COVID-19 akan menjadi penentu apakah rupiah mampu mencapai Rp 15.000/US$ di akhir tahun atau kembali babak belur. Rata-rata penyebaran COVID-19 mulai melambat dalam 2 sampai tiga bulan setelah kasus pertama muncul.

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan pada awal Maret lalu, seandainya setelah tiga bulan (hingga akhir Mei) tren penambahan kasus masih belum melambat, tingkat kepercayaan investor terhadap kemampuan pemerintah menanggulangi COVID-19 tentunya bisa kembali menurun, risiko terjadinya capital outflow semakin besar dan rupiah akan kembali  "dihukum".

Yang patut diwaspadai adalah fenomena mudik yang biasa terjadi di bulan Ramadhan, yang dapat memicu lonjakan kasus COVID-19. Singapura bisa menjadi contoh nyata.



Singapura merupakan salah satu negara yang terpapar COVID-19 sejak awal kemunculannya, bahkan sempat menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak kedua setelah China. Tetapi, Singapura mampu meredam penyebarannya, hingga pertengahan Maret total jumlah kasus sekitar 200-an orang.

Tetapi setelahnya, Negeri Merlion menghadapi "serangan" virus corona gelombang kedua. Sebabnya, warga negara Singapura yang tinggal di Eropa maupun Amerika Serikat (AS) "mudik" setelah Eropa kemudian AS menjadi episentrum penyebaran COVID-19.

Dampaknya, Singapura mengalami lonjakan kasus, hingga hari ini jumlah kasus tercatat sebanyak 9.125 kasus, meroket dibandingkan pertengahan Maret lalu yang hanya 200-an.


[Gambas:Video CNBC]



Risiko Downgrade Peringkat Utang RI

Lembaga pemeringkat S&P pada hari Jumat (17/4/2020) lalu menurunkan prospek utang jangka panjang Indonesia dari BBB "stabil" ke BBB "negatif". Memang sejauh ini penurunan prospek tersebut belum terlalu berdampak di pasar obligasi, yang terlihat dari yield Surat Utang Negara (SUN) yang terus menurun sejak Senin kemarin.

Dibandingkan Jumat lalu, yield SUN tenor 10 tahun turun sebesar 15 basis poin (bps) ke 7,777% hari ini.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Ketika harga sedang naik, artinya ada aksi beli di pasar obligasi.

Meski demikian kedepannya lembaga pemeringkat lainnya berpotensi menurunkan peringkat utang Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Ekonom INDEF Bhima Yudhistira kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/4/2020).

Menurut Bhima, puncak resesi masih belum terjadi, dan tekanan bagi pasar keuangan Indonesia masih cukup besar ke depannya.

"Tidak menutup kemungkinan outlook negatif lembaga pemeringkat utang S&P akan di ikuti oleh downgrade rating utang oleh lembaga pemeringkat," jelasnya.

Jika peringkat utang Indonesia diturunkan, risiko aksi jual di pasar obligasi bisa kembali terjadi, rupiah layak berhati-hati.


Harga Minyak Mentah Minus

Jagat finansial dibuat heboh dengan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus, pertama kali dalam sejarah.

Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% kemarin.

Tetapi patut diingat, harga minyak mentah yang minus terjadi pada kontrak minyak bulan Mei dimana masa aktif perdaganganya hingga hari ini (waktu AS). Sehingga volume transaksinya menjadi rendah, dan kurang tepat untuk menggambarkan kondisi pasar minyak saat ini.

Kontrak minyak WTI yang paling aktif diperdagangkan saat ini adalah kontrak bulan Juni, sehingga lebih tepat untuk menggambarkan kondisi pasar. Pada pukul 16:30 WIB harganya di kisaran US$ 16/barel, turun lebih dari 21%, melansir data Refinitiv.



Harga minyak jenis Brent tidak mengalami kemerosotan tajam Senin kemarin, tetapi pada hari ini ambles lebih dari 22% ke kisaran US$ 19/barel. Harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price) biasanya mengikuti pergerakan harga minyak Brent.



Meski demikian, kemerosotan harga WTI dan Brent tersebut menggambarkan outlook pasar minyak yang suram. Banyak yang memprediksi harga minyak mentah masih bisa lebih rendah lagi, jika itu terjadi, pendapatan ekspor Indonesia tentunya bisa tergerus.

Indonesia memang bukan eksportir minyak mentah, tetapi komoditas ekspor andalan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga batu bara, harganya juga dipengaruhi oleh pergerakan minyak mentah dunia.

Dengan demikian, penerimaan devisa dari ekspor berisiko seret, dan "amunisi" BI untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil akan semakin menipis.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.

Dengan prediksi tersebut, dunia tidak hanya mengalami resesi tetapi kontraksi ekonomi terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) di tahun 1930an.
Indonesia juga tidak lepas dari “hantu” resesi, meski IMF memprediksi ekonomi Indonesia masih tumbuh 0,5% di tahun ini.

Kemungkinan terjadinya resesi tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.



"Kalau kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB [produk domestik bruto] bisa negatif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (15/4/2020).

Sebelumnya Sri Mulyani juga memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat.

"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).

Sri Mulyani juga mengatakan, dalam skenario berat rupiah bisa berada di kisaran Rp 17.500/US$, sementara dalam skenario sangat berat rupiah berada di level Rp 20.000/US$


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular