
Sederet Alasan yang Buat Impian Rupiah ke Rp 15.000/US$ Sirna
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 April 2020 17:43

Risiko Downgrade Peringkat Utang RI
Lembaga pemeringkat S&P pada hari Jumat (17/4/2020) lalu menurunkan prospek utang jangka panjang Indonesia dari BBB "stabil" ke BBB "negatif". Memang sejauh ini penurunan prospek tersebut belum terlalu berdampak di pasar obligasi, yang terlihat dari yield Surat Utang Negara (SUN) yang terus menurun sejak Senin kemarin.
Dibandingkan Jumat lalu, yield SUN tenor 10 tahun turun sebesar 15 basis poin (bps) ke 7,777% hari ini.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Ketika harga sedang naik, artinya ada aksi beli di pasar obligasi.
Meski demikian kedepannya lembaga pemeringkat lainnya berpotensi menurunkan peringkat utang Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Ekonom INDEF Bhima Yudhistira kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/4/2020).
Menurut Bhima, puncak resesi masih belum terjadi, dan tekanan bagi pasar keuangan Indonesia masih cukup besar ke depannya.
"Tidak menutup kemungkinan outlook negatif lembaga pemeringkat utang S&P akan di ikuti oleh downgrade rating utang oleh lembaga pemeringkat," jelasnya.
Jika peringkat utang Indonesia diturunkan, risiko aksi jual di pasar obligasi bisa kembali terjadi, rupiah layak berhati-hati.
Harga Minyak Mentah Minus
Jagat finansial dibuat heboh dengan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus, pertama kali dalam sejarah.
Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% kemarin.
Tetapi patut diingat, harga minyak mentah yang minus terjadi pada kontrak minyak bulan Mei dimana masa aktif perdaganganya hingga hari ini (waktu AS). Sehingga volume transaksinya menjadi rendah, dan kurang tepat untuk menggambarkan kondisi pasar minyak saat ini.
Kontrak minyak WTI yang paling aktif diperdagangkan saat ini adalah kontrak bulan Juni, sehingga lebih tepat untuk menggambarkan kondisi pasar. Pada pukul 16:30 WIB harganya di kisaran US$ 16/barel, turun lebih dari 21%, melansir data Refinitiv.
Harga minyak jenis Brent tidak mengalami kemerosotan tajam Senin kemarin, tetapi pada hari ini ambles lebih dari 22% ke kisaran US$ 19/barel. Harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price) biasanya mengikuti pergerakan harga minyak Brent.
Meski demikian, kemerosotan harga WTI dan Brent tersebut menggambarkan outlook pasar minyak yang suram. Banyak yang memprediksi harga minyak mentah masih bisa lebih rendah lagi, jika itu terjadi, pendapatan ekspor Indonesia tentunya bisa tergerus.
Indonesia memang bukan eksportir minyak mentah, tetapi komoditas ekspor andalan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga batu bara, harganya juga dipengaruhi oleh pergerakan minyak mentah dunia.
Dengan demikian, penerimaan devisa dari ekspor berisiko seret, dan "amunisi" BI untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil akan semakin menipis.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.
Dengan prediksi tersebut, dunia tidak hanya mengalami resesi tetapi kontraksi ekonomi terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) di tahun 1930an.
Indonesia juga tidak lepas dari “hantu” resesi, meski IMF memprediksi ekonomi Indonesia masih tumbuh 0,5% di tahun ini.
Kemungkinan terjadinya resesi tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Kalau kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB [produk domestik bruto] bisa negatif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (15/4/2020).
Sebelumnya Sri Mulyani juga memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat.
"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).
Sri Mulyani juga mengatakan, dalam skenario berat rupiah bisa berada di kisaran Rp 17.500/US$, sementara dalam skenario sangat berat rupiah berada di level Rp 20.000/US$
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Lembaga pemeringkat S&P pada hari Jumat (17/4/2020) lalu menurunkan prospek utang jangka panjang Indonesia dari BBB "stabil" ke BBB "negatif". Memang sejauh ini penurunan prospek tersebut belum terlalu berdampak di pasar obligasi, yang terlihat dari yield Surat Utang Negara (SUN) yang terus menurun sejak Senin kemarin.
Dibandingkan Jumat lalu, yield SUN tenor 10 tahun turun sebesar 15 basis poin (bps) ke 7,777% hari ini.
Meski demikian kedepannya lembaga pemeringkat lainnya berpotensi menurunkan peringkat utang Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Ekonom INDEF Bhima Yudhistira kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/4/2020).
Menurut Bhima, puncak resesi masih belum terjadi, dan tekanan bagi pasar keuangan Indonesia masih cukup besar ke depannya.
"Tidak menutup kemungkinan outlook negatif lembaga pemeringkat utang S&P akan di ikuti oleh downgrade rating utang oleh lembaga pemeringkat," jelasnya.
Jika peringkat utang Indonesia diturunkan, risiko aksi jual di pasar obligasi bisa kembali terjadi, rupiah layak berhati-hati.
Harga Minyak Mentah Minus
Jagat finansial dibuat heboh dengan harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus, pertama kali dalam sejarah.
Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% kemarin.
Tetapi patut diingat, harga minyak mentah yang minus terjadi pada kontrak minyak bulan Mei dimana masa aktif perdaganganya hingga hari ini (waktu AS). Sehingga volume transaksinya menjadi rendah, dan kurang tepat untuk menggambarkan kondisi pasar minyak saat ini.
Kontrak minyak WTI yang paling aktif diperdagangkan saat ini adalah kontrak bulan Juni, sehingga lebih tepat untuk menggambarkan kondisi pasar. Pada pukul 16:30 WIB harganya di kisaran US$ 16/barel, turun lebih dari 21%, melansir data Refinitiv.
Harga minyak jenis Brent tidak mengalami kemerosotan tajam Senin kemarin, tetapi pada hari ini ambles lebih dari 22% ke kisaran US$ 19/barel. Harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price) biasanya mengikuti pergerakan harga minyak Brent.
Meski demikian, kemerosotan harga WTI dan Brent tersebut menggambarkan outlook pasar minyak yang suram. Banyak yang memprediksi harga minyak mentah masih bisa lebih rendah lagi, jika itu terjadi, pendapatan ekspor Indonesia tentunya bisa tergerus.
Indonesia memang bukan eksportir minyak mentah, tetapi komoditas ekspor andalan seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga batu bara, harganya juga dipengaruhi oleh pergerakan minyak mentah dunia.
Dengan demikian, penerimaan devisa dari ekspor berisiko seret, dan "amunisi" BI untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil akan semakin menipis.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.
Dengan prediksi tersebut, dunia tidak hanya mengalami resesi tetapi kontraksi ekonomi terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) di tahun 1930an.
Indonesia juga tidak lepas dari “hantu” resesi, meski IMF memprediksi ekonomi Indonesia masih tumbuh 0,5% di tahun ini.
Kemungkinan terjadinya resesi tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Kalau kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB [produk domestik bruto] bisa negatif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (15/4/2020).
Sebelumnya Sri Mulyani juga memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat.
"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/3/2020).
Sri Mulyani juga mengatakan, dalam skenario berat rupiah bisa berada di kisaran Rp 17.500/US$, sementara dalam skenario sangat berat rupiah berada di level Rp 20.000/US$
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pages
Most Popular