Harga Minyak Anjlok Seanjlok-anjloknya, Rupiah Ikut Menderita

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 April 2020 09:10
penukaran uang, rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Volatilitas pasar meninggi seiring harga minyak yang anjlok seanjlok-anjloknya.

Pada Selasa (21/4/2020), US$ 1 setara dengan Rp 15.450 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,49% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Kemarin, rupiah yang dibuka melemah berhasil menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,16%. Di tengah pelemahan mata uang lainnya, rupiah berhasil menjadi yang terbaik di Asia.


April boleh dikata menjadi milik rupiah. Sejak awal bulan ini, mata uang Tanah Air sudah menguat 5,67% di hadapan dolar AS. Luar biasa...



Namun, penguatan yang sudah tajam ini bisa menjadi bumerang. Akan tiba saatnya investor bakal tergoda untuk mencairkan keuntungan yang sudah tinggi itu. Rupiah jadi rentan terserang ambil untung (profit taking) sehingga bisa melemah kapan saja.



Apalagi ketika sentimen eksternal sedang memburuk, rupiah akan menjadi salah satu aset pertama yang menjadi korban aksi jual. Hari ini, sentimen negatif itu berwujud harga minyak.

Pada pukul 08:28 WIB, harga minyak jenis light sweet terpantau berada di US$ 1,1/barel. Ambrol 102,92% dibandingkan hari sebelumnya.

Bahkan pada penutupan 20 April, harga minyak jenis ini ada di -US$ 38,7/barel. Kali pertama dalam sejarah harga si emas hitam bisa sampai minus.


Sebenarnya ini lebih karena posisi kontrak. Harga yang rendah itu adalah posisi kontrak pengiriman Mei yang berakhir 21 April waktu Amerika Serikat (AS). Saat ini harga acuan masih mengacu ke kontrak tersebut.

Padahal seiring waktu yang sudah hampir berakhir, tidak ada yang mau membeli minyak di kontrak tersebut. Saat ini pembeli sudah terkonsentrasi di kontrak pengiriman Juni yang berakhir 19 Mei. Harga minyak light sweet untuk kontrak itu masih normal, berada di atas US$ 20/barel.



"Semua orang mau menjual (light sweet di kontrak April), tetapi tidak ada yang membeli. Harga sudah serendah mungkin, tetapi tetap tidak ada yang mau beli," kata Phil Flynn, Senior Market Analyst di Price Futures Group, seperti dikutip dari Reuters.



Namun ini tidak menutup fakta bahwa biasanya peralihan masa kontrak berlangsung mulus tanpa gejolak. Sekarang ada kekhawatiran prospek harga minyak bakal suram seiring lemahnya permintaan.

Penyebabnya apa lagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid-19). Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, per 20 April ada 2.314.621 pasien positif corona di seluruh dunia. Bertambah 72.846 orang dari hari sebelumnya.

Sementara jumlah pasien meninggal dunia tercatat 157.847 orang. Bertambah 5.296 orang.


Begitu cepat dan masifnya penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini membuat pemerintah di berbagai negara terpaksa membatasi kegiatan masyarakat. Maklum, virus bakal menyebar ketika semakin banyak orang membuat interaksi dan kontak dalam jarak dekat.

Kini, manusia tidak lagi berlaku seperti makhluk sosial. Pembatasan sosial alias social distancing menjadi norma baru, kedekatan menjadi hal yang tabu.

Akibatnya, segala bentuk aktivitas yang membuat orang berada dalam jarak dekat (apalagi dalam kerumuman) tidak dianjurkan, bahkan dilarang. Sekolah diliburkan, kantor dan pabrik ditutup, restoran tidak boleh melayani makan-minum di tempat, rumah ibadah tidak bisa menampung jamaah, dan sebagainya.

Ini membuat aktivitas publik seakan berhenti, pemandangan kota bak video game Silent Hill terjadi di mana-mana. Roda ekonomi yang nyaris berhenti berputar membuat resesi menjadi sebuah keniscayaan.

Dampak lainnya adalah harga minyak menjadi anjlok, karena memang permintaan turun tajam. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) berkurang karena mobil, sepeda motor, sampai pesawat terbang tidak beroperasi akibat social distancing.


Rystad Energy, lembaga riset yang berkantor pusat di Oslo (Norwegia), memperkirakan permintaan minyak dunia tahun ini turun 27,5 juta barel/hari. Permintaan BBM pesawat terbang alias jet fuel pada 2020 diperkirakan hanya 2,3 juta barel/hari, jauh dibandingkan proyeksi sebelum virus corona merebak yaitu 7,3 juta barel/hari.

"Konsumsi turun 30%, sementara pasokan dari OPEC hanya berkurang 10%. Ada jarak yang begitu lebar," ujar Elwin de Groot, Head of Macro Strategy Rabobank, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Jadi tidak heran masa depan harga minyak terlihat sangat suram. Kelebihan pasokan (oversupply) menjadi beban berat bagi harga minyak untuk bisa terangkat.

Ini yang membuat harga minyak sangat rentan, dan sejak awal tahun sudah turun lebih dari 60%. Volatilitas harga yang edan-edanan hari ini membuat seluruh pasar keuangan terguncang, termasuk pasar valas.

"Apa yang terjadi di pasar komoditas, terutama minyak, adalah puncak manifestasi dari roda ekonomi yang tidak berputar. Ini menjadi sentimen negatif terbesar yang menghantui pasar," tegas Juan Perez, Senior Currency Trader di Tempus Inc, dikutip dari Reuters.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular