
Kece Badai! Lawan Dolar AS, Rupiah yang Terbaik di Asia

Kendati Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia akan mengalami resesi pada tahun ini, dengan kontraksi (pertumbuhan negatif) -3%. Namun, sepertinya Indonesia masih aman dari ancaman tersebut.
Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diupayakan mengarah ke 2,3%. Ini adalah proyeksi bersama dari Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).
"Kami mencurahkan koordinasi supaya stimulus fiskal lebih cepat dan 2,3% bisa dicapai. Kami akan terus monitor, dinamikanya sangat tinggi. Pada waktunya dinamika-dinamika ini akan bertemu dan kami akan melakukan asesmen kembali," kata Perry dalam konferensi pers Perkembangan Ekonomi Terkini, Jumat (17/4/2020).
Angka 2,3% itu, lanjut Perry, didapat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi 4,7% pada kuartal I, 1,1% pada kuartal II, 1,3% pada kuartal III, dan 2,4% pada kuartal IV. Jika ini terjadi, maka Indonesia aman dari resesi. Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun pada tahun yang sama.
"Kami melihat langkah-langkah stimulus fiskal di berbagai negara dan bagaimana pencegahan Covid. AS akan mulai dan membuka ekonominya, Jerman akan membolehkan toko-toko untuk buka. Ini terus berkembang dan akan menakar untuk menempuh langkah-langkah lanjutan," jelas Perry.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunganya di level 4,5%. Namun, bank sentral memastikan kebijakan yang dianggap sebagai 'jamu' oleh Gubernur BI Perry Warjiyo adalah longgar, atau kebijakan moneter longgar.
"Semua jamunya BI itu longgar. Diwujudkan dalam quantitative easing (QE) yang lebih besar dan pelonggaran makroprudensial dan akselerasi sistem pembayaran," kata Perry, Jumat (17/4/2020).
Quantitative Easing (QE) adalah salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral guna meningkatkan jumlah uang beredar.
Dimana dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bank Indonesia hari Selasa lalu (14/4/2020) melakukan berbagai kebijakan guna menjaga stabilitas eksternal termasuk nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi
Kebijakan itu, di antaranya:
- Pertama adalah dengan meningkatkan intensitas intervensi di tiga pasar yaitu spot, Domestic Non-Delivarable Forwards (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
- Kedua, BI akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas alias quantative easing. Selama ini, BI sudah melakukan quantitative easing hampir Rp 300 triliun dan ke depan akan bertambah lagi.
- Ketiga, BI akan meningkatkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk bank konvensional dan 50 bps untuk bank syariah, berlaku mulai 1 Mei. Kenaikan PLM tersebut wajib dipenuhi melalui pembelian SBN di pasar perdana.
Bank Sentral telah menurunkan GWM per 1 Mei sebesar 200 bps, serta menambah likuiditas Rp 102 triliun.
"Sehingga total quantitative easing BI sudah hampir Rp 420 triliun," terangnya.
Perry mengungkapkan lebih jauh, perbankan sudah diwajibkan untuk memegang SBN atau Surat Berharga Negara yang diterbitkan pemerintah melalui rasio Penyangga Likuiditas Makro (PLM).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(har/har)