
Kinerja 2019 Babak Belur, Ada Apa Antam & PT Timah?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 April 2020 16:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua emiten pelat merah sektor pertambangan dalam negeri yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Timah Tbk (TINS) mencatatkan kinerja yang terbilang buruk di sepanjang tahun 2019. Padahal pada 2019, harga komoditas tambang boleh dibilang sedang mendapatkan angin segar dibandingkan 2018.
Pada 2019 ANTM membukukan penjualan sebesar Rp 32,72 triliun (+29,5% yoy). Kenaikan ini ditopang oleh kenaikan penjualan emas (+34,5% yoy), Feronikel (+3,8% yoy) dan bijih nikel (+26,6% yoy) yang berkontribusi sebesar 95% dari total penjualan.
Kenaikan harga emas dan juga harga nikel menjadi penyebab utama melesatnya top line perseroan. Sepanjang tahun lalu harga emas naik 18,3% sementara untuk harga nikel menggunakan acuan London Metal Exchange (LME) naik sebesar 34%. Bahkan harga nikel sempat melesat hingga 69% pada periode September tahun lalu.
ANTM juga mencatatkan kenaikan pada biaya produksi sebesar 37,2% (yoy). Kenaikan harga pokok penjualan (HPP) ini disebabkan oleh naiknya biaya pembelian logam mulia (+37% yoy), bahan bakar (+5% yoy) dan pemakaian bahan perseroan (+54% yoy).
Kenaikan beban biaya ketiganya jelas membuat ongkos produksi membengkak. Pasalnya ketiga pos tersebut menyumbang 85% dari total HPP perseroan. Hal ini membuat laba kotor perseroan tergerus (-4,5% yoy). Margin laba kotor juga anjlok dari 18,4% pada 2018 menjadi 13,6% pada 2019.
Beban lain yang juga mengalami kenaikan adalah pos beban umum dan administrasi (+14,5% yoy) dan beban penjualan dan pemasaran (+9,1% yoy).
Pada 2019, ANTM juga mencatatkan kerugian selisih kurs. Sementara pada 2018 pos ini mencatatkan untung. ANTM juga memperoleh keuntungan yang dari akuisisi PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) pada 2018 sebesar hampir Rp 2,3 T.
Kenaikan beban yang harus ditanggung oleh ANTM sepanjang 2019 yang besar membuat laba yang dapat diatribusikan untuk entitas induk perseroan ambles 88,3% (yoy) menjadi Rp 193,8 miliar dari sebelumnya Rp 1,64 triliun.
Pada 2019 ANTM membukukan penjualan sebesar Rp 32,72 triliun (+29,5% yoy). Kenaikan ini ditopang oleh kenaikan penjualan emas (+34,5% yoy), Feronikel (+3,8% yoy) dan bijih nikel (+26,6% yoy) yang berkontribusi sebesar 95% dari total penjualan.
Kenaikan harga emas dan juga harga nikel menjadi penyebab utama melesatnya top line perseroan. Sepanjang tahun lalu harga emas naik 18,3% sementara untuk harga nikel menggunakan acuan London Metal Exchange (LME) naik sebesar 34%. Bahkan harga nikel sempat melesat hingga 69% pada periode September tahun lalu.
ANTM juga mencatatkan kenaikan pada biaya produksi sebesar 37,2% (yoy). Kenaikan harga pokok penjualan (HPP) ini disebabkan oleh naiknya biaya pembelian logam mulia (+37% yoy), bahan bakar (+5% yoy) dan pemakaian bahan perseroan (+54% yoy).
Kenaikan beban biaya ketiganya jelas membuat ongkos produksi membengkak. Pasalnya ketiga pos tersebut menyumbang 85% dari total HPP perseroan. Hal ini membuat laba kotor perseroan tergerus (-4,5% yoy). Margin laba kotor juga anjlok dari 18,4% pada 2018 menjadi 13,6% pada 2019.
Beban lain yang juga mengalami kenaikan adalah pos beban umum dan administrasi (+14,5% yoy) dan beban penjualan dan pemasaran (+9,1% yoy).
Pada 2019, ANTM juga mencatatkan kerugian selisih kurs. Sementara pada 2018 pos ini mencatatkan untung. ANTM juga memperoleh keuntungan yang dari akuisisi PT Indonesia Chemical Alumina (ICA) pada 2018 sebesar hampir Rp 2,3 T.
Kenaikan beban yang harus ditanggung oleh ANTM sepanjang 2019 yang besar membuat laba yang dapat diatribusikan untuk entitas induk perseroan ambles 88,3% (yoy) menjadi Rp 193,8 miliar dari sebelumnya Rp 1,64 triliun.
Next Page
TINS Harus Tekor Karena Merugi
Pages
Most Popular