Sudah Boleh Masuk Pasar Nih? Atau Mending Wait and See Dulu?

Haryanto, CNBC Indonesia
13 April 2020 12:30
Sudah Boleh Masuk Pasar Nih? Atau Mending Wait and See Dulu?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks volatilitas Chicago Board Options Exchange (CBOE) VIX, yang dikenal dengan nama 'indeks rasa takut' (fear index) pada perdagangan sepekan kemarin mulai mereda. VIX yang menunjukkan nilai volatilitas pasar turun 12,31% menjadi 41,67.

Hal ini menunjukkan kondisi risiko pasar keuangan global berangsur-angsur membaik meskipun masih relatif tinggi. Salah satu indikatornya yaitu indeks volatilitas pasar keuangan AS (Volatility Index/VIX).

Sebagai informasi, VIX berada pada level 18,8 sebelum adanya pandemi virus corona (Covid-19) dan saat terjadi kepanikan di pasar keuangan global sekitar minggu kedua-ketiga Maret 2020 VIX berada pada level tertinggi yaitu 82.
 


Menurunnya tingkat volatilitas tersebut karena upaya-upaya yang dilakukan oleh sejumlah pemerintah dan bank sentral dunia dalam memerangi dampak penyebaran pandemi Covid-19 terhadap roda perekonomian.

Hal ini tercermin dari nilai tukar rupiah yang akhirnya menjauhi level Rp 16.000/US$ seiring mekanisme pasar yang berjalan semakin baik. Pada perdagangan spot, Kamis (9/4) sore, rupiah bergerak menguat 2,88% ke level Rp 15.880 per dolar AS.

Menanggapi hal ini, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, ada beberapa faktor yang mendukung penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pertama, nilai tukar rupiah saat ini masih undervalued sehingga masih cenderung mengalami penguatan.

"Pada saat ini level (rupiah) kalau diukur secara fundamental artinya kalau diukur dengan tingkat inflasi, defisit transaksi berjalan, dan perbedaan suku bunga dalam negeri dan luar negeri, itu menunjukkan nilai tukar rupiah masih undervalued artinya masih kecenderungannya menguat," ungkapnya di Jakarta, Kamis (9/4/2020).

Kedua, keyakinan pasar terhadap langkah-langkah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam penanganan Covid-19 dan dampaknya, baik dari sisi fiskal, moneter, maupun kredit.

Terakhir, lanjut Perry, pasar melihat tingkat kenaikan kasus Covid-19 berangsur-angsur menurun didukung oleh langkah-langkah berbagai negara untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia.

Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan diimplementasikan di DKI Jakarta mulai tanggal 10 April 2020 diprakirakan akan dapat menekan penyebaran pandemi Covid-19.

"Penerapan PSBB yang sudah ditetapkan Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) diperkirakan membantu penanganan Covid-19, termasuk juga PSBB yang diumumkan Pak Anies Baswedan bahwa akan diterapkan besok, ini juga akan mengurangi kecepatan kenaikan Covid-19. Berbagai kondisi ini membawa confidence di pasar," papar Perry.

Sementara dari Negeri Adidaya, bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed AS) juga mengumumkan sejumlah program, termasuk pinjaman yang diarahkan untuk usaha kecil dan menengah (UKM), yang akan berjumlah hingga US$ 2,3 triliun guna memerangi pandemi.

Bank sentral juga memberikan rincian lebih lanjut tentang rencananya untuk membeli surat berharga peringkat 'investment grade' hingga obligasi 'junk'. Melansir CNBC Internasional.

"Stimulus The Fed ini adalah yang paling agresif. Mereka tidak ingin dianggap sebagai alasan The Fed mengalami depresi, "kata Jim Cramer di" Squawk Box " CNBC Internasional pada hari Kamis.

"Saya sangat terkesan. The Fed sedang dalam permainannya dan inilah yang diperlukan karena kita harus melawan depresi, kita harus membuat Amerika terbuka untuk bisnis. "

Penurunan dalam angka VIX juga tercermin dari bursa saham Wall Street yang merupakan acuan atau barometer dari bursa saham global pada penutupan perdagangan akhir pekan mengalami lonjakan di tengah optimisme investor yang tumbuh setelah The Fed AS kembali meluncurkan program mega stimulus senilai US$ 2,3 triliun guna mendukung perekonomian akibat pandemi Covid-19.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melonjak 285,80 poin atau 1,2% menjadi 23.719,37, Nasdaq naik 0,8% pada 8.153,58 dan S&P 500 menguat 1,5% menjadi 2.789,82.

Sepanjang sepekan kemarin, S&P 500 melonjak 12,1%. Itu adalah kenaikan satu minggu terbesar sejak 1974, ketika reli lebih dari 14%. Nasdaq memiliki minggu terbaik sejak 2009, melonjak 10,6%. Dow Jones melonjak lebih dari 12% untuk salah satu keuntungan mingguan terbesarnya yang pernah tercatat. Mengutip dari CNBC Internasional.

Kendati demikian, turunnya angka VIX tidak serta merta membuat kondisi ekonomi dari pandemi corona menjadi terkendali dang berangsur pulih. Pada perdagangan awal pekan ini, Senin (13/4/2020) bursa saham Wall Street kontrak berjangka (futures) masih menunjukkan pelemahan seiring mencuatnya peningkatan jumlah kasus terpapar virus corona di AS bahkan China.

Di Amerika Serikat (AS) jumlah kasus per tanggal 13 April 2020 mencapai 555.313 kasus terinfeksi dengan korban jiwa 22.108 orang, sedangkan China yang sempat melambat bahkan tidak ada penambahan kasus baru, hari ini kembali bertambah 108 kasus baru menjadi 82.160 terpapar Covid-19.

Sementara di Asia, terutama Asia Tenggara, situasinya masih agak mengkhawatirkan. Pada 12 April, kasus corona baru di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) berjumlah 16.041. Naik 13,28% dibandingkan sehari sebelumnya.Di Indonesia per hari ini, sudah mencapai 4.241 kasus dengan angka kematian sebanyak 373 jiwa.

Masih relatif tingginya volatilitas pasar mengakibatkan investor enggan untuk masuk kembali ke pasar aset berisiko maupun aset dengan imbal hasil.

Hal ini tercermin dengan koreksi pada bursa saham Wall Street kontrak berjangka (futures), pada catatan pukul 11:55 WIB indeks Dow Jones turun 1,3% pada 23.306, S&P 500 ambles 1,4% menjadi 2.741, sedangkan Nasdaq 100 turun 1,4% pada 8.112.

Di pasar keuangan Tanah Air, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sesi I turun 0,68% ke level 4.617,48. Sementara untuk pasar SBN juga menujukkan tanda-tanda sepi minat.

Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun naik 0.78% atau 63 basis poin (bps) dalam sepekan, besaran 100 bps setara dengan 1%. Kenaikan yield menunjukkan harga instrumen ini sedang turun.

Fokus utama investor tetap pada perkembangan dari pandemi virus corona itu sendiri. Situasi ini bisa mempengaruhi psikologis investor. Arus modal asing enggan masuk ke Indonesia sepanjang data dan persepsi belum membaik.

"Kami memperkirakan ke depan masih akan ada pelemahan (nilai tukar rupiah) seiring meluasnya infeksi dan keengganan pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat untuk meredam penyebaran virus," sebut riset ING, seperti dikutip dari Reuters.

Sementara itu, “Pasar saham berada pada titik yang sangat tidak pasti sekarang. Dampak dari virus corona terhadap pendapatan masa depan masih belum ditentukan. Kami belum keluar dari inti masalah, "kata Nancy Davis, kepala investasi di Quadratic Capital. Dikutip dari CNBC Internasional.

Jadi akan lebih baik jika investor saat ini ‘wait and see’ menanggapi dari penanganan pandemi virus corona ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular