
Rupiah Tanda-Tanda Stabil, BI Bersiap Pangkas Suku Bunga?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 April 2020 14:21

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Setelah mengalami gejolak pada pertengahan Maret lalu, nilai tukar rupiah perlahan mulai stabil, bahkan menguat hingga ke bawah Rp 16.000/US$ di pekan ini. Stabilnya nilai tukar rupiah tentunya memberikan ruang lebih besar lagi bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali memangkas suku bunga acuannya di pekan depan.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, sebelumnya mengatakan memiliki ruang untuk memangkas suku bunga, tetapi saat ini fokusnya lebih ke stabilitas nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah mengalami gejolak di pekan kedua dan ketiga Maret. Kala itu Dalam sehari, rupiah melemah lebih dari 4% hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 23 Maret, mendekati level terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$ yang dicapai saat krisis moneter 1998.
Tetapi semenjak mencapai level tersebut, rupiah mulai stabil dan perlahan menguat lagi. Sepanjang pekan ini, Mata Uang Garuda membukukan penguatan 3,66% ke Rp 15.800/US$. Penguatan paling tajam terjadi pada Kamis lalu, ketika melesat 2,17%. Persentase penguatan harian tersebut menjadi yang terbesar dalam lima tahun terakhir, tepatnya sejak 7 Oktober 2015, kala rupiah menguat 3,1%.
Arus modal asing (capital outflow) yang besar akibat pandemi virus corona (COVID-19) menjadi pemicu gejolak yang terjadi di nilai tukar rupiah hingga merosot tajam.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi.
Sementara sepanjang kuartal I-2020, sebesar Rp 134,95 triliun.
Itu artinya aksi jual investor asing di pasar obligasi memang terjadi di bulan Maret, yang membuat kurs rupiah merosot. Dampaknya, rupiah ambles 13,67% sepanjang Maret, dan sepanjang kuartal I-2020 sebesar 17,44%.
Memasuki kuartal II-2020, aliran hot money di pasar obligasi mulai stabil, sejalan dengan pergerakan rupiah. Dari dari DJPPR menunjukkan sejak akhir Maret hingga 7 April lalu, terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 920 miliar.
BI menyebut tingkat kepercayaan investor asing mulai pulih kembali setelah bank sentral maupun pemerintah secara global menggelontorkan stimulus guna memerangi pandemi COVID-19. Hingga saat ini, virus corona sudah "menyerang" 185 negara/wilayah, dan menjangkiti lebih dari 1,7 juta orang dengan korban meninggal sebanyak 108.862, dan yang sembuh sebanyak 404.236 orang per hari ini, berdasarkan data Johns Hopkins CSSE. Sementara di Indonesia, hingga Sabtu kemarin sudah ada 3.843 kasus, dengan 327 meninggal dunia dan 286 dinyatakan sembuh.
Banyak negara menetapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) guna meredam penyebaran COVID-19, sehingga aktivitas ekonomi menjadi menurun, pertumbuhan ekonomi melambat bahkan resesi dipastikan terjadi di beberapa negara.
Untuk meminimalisir dampak COVID-19 tersebut ke perekonomian, bank sentral di berbagai negara menurunkan suku bunga acuannya, serta menggelontorkan berbagai stimulus lainnya. Tujuannnya, agar tidak terjadi pengetatan likuiditas, dan ketika pandemi berhasil diredam, perekonomian bisa langsung terakelerasi.
Berdasarkan data dari Reuters, sejak pandemi COVID-19 muncul sudah lebih dari 50 bank sentral di dunia yang menurunkan suku bunga. BI termasuk di dalamnya.
BI sudah dua kali memangkas suku bunga (7-Day Reverse Repo Rate) masing-masing 25 basis poin (bps) pada Februari dan Maret lalu hingga menjadi 4,5%, sementara lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.
Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko Covid-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi melalui tujuh langkah kebijakan, yakni:
Pertama, BI akan memperkuat intensitas kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, baik secara spot, Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
Kedua, BI memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas Rupiah perbankan, yang berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.
Ketiga, BI akan menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas, yang berlaku efektif sejak 19 Maret 2020.
Keempat, BI akan memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di dalam negeri.
Kelima, BI akan mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening Rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, sehingga dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia, berlaku efektif paling lambat pada 23 Maret 2020 dari semula 1 April 2020.
Keenam, BI akan memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian dalam Rupiah sebesar 50bps yang semula hanya ditujukan kepada bank-bank yang melakukan pembiayaan ekspor-impor, ditambah dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain, berlaku efektif sejak 1 April 2020.
Ketujuh, BI akan memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran COVID-19 melalui tiga hal. Pertama, menjaga ketersediaan uang layak edar yang higienis, layanan kas, dan backup layanan kas alternatif, serta menghimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai. Yang kedua menurunkan biaya SKNBI antar BI dengan bank dari Rp 600 per transaksi menjadi Rp 1 dan biaya transaksi dari bank ke nasabah dari Rp 3.500 menjadi Rp 2.900 per transaksi. Kebijakan ini berlaku mulai 1 April 2020. Yang terakhir mendukung penyaluran dana bansos melalui non tunai.
Kebijakan BI perlahan membuahkan hasil, nilai tukar rupiah mulai stabil hingga kembali ke bawah Rp 16.000/US$.
Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) bertindak super agresif dalam melindungi perekonomian Paman Sam dari "serangan" COVID-19. The Fed melakukan dua kali pemangkasan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) di bulan Maret, tetapi dalam dua pemangkasan tersebut FFR dibabat habis hingga 0-0,25%.
Pemangkasan pertama dilakukan pada 3 Maret waktu Indonesia sebesar 50 bps, kemduian selanjutnya pada 16 Maret sebesar 100 bps. Kedua pemangkasan tersebut dilakukan diluar jadwal Rapat Dewan Gubernur (RGD) resmi, sehingga bisa dikatakan sebagai pemangkasan suku bunga darurat.
Selain itu, The Fed juga mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas.
Kebijakan bank sentral paling powerful di dunia tersebut sama dengan saat menghadapi krisis finansial global tahun 2008, bahkan saat ini lebih agresif lagi mengingat QE dilakukan dengan nilai tak terbatas.
"Tidak seperti pascakrisis finansial global (2008), saat The Fed nilai QE terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas," kata Ray Attril, Kepala Strategi Valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Di pekan ini, The Fed mengumumkan detail salah satu stimulusnya berupa pinjaman lunak ke dunia usaha senilai US$ 2,3 triliun.
Program yang diberi nama main street tersebut akan diberikan kepada perusahaan dengan jumlah tenaga kerja hingga 10.000 orang, dan pendapatan kurang dari US$ 2,5 miliar pada tahun 2019 lalu. Pembayaran pokok dan bunga pinjaman tersebut akan ditangguhkan selama satu tahun.
Berbagai kebijakan The Fed dan bank sentral lainnya membuat sentimen pelaku pasar membaik, ada harapan ketika penyebaran virus corona berhasil dihentikan, perekomomian global akan segera bangkit lagi. Dampaknya para investor mulai kembali masuk ke aset-aset berisiko.
The Fed yang super agresif dalam memangkas suku bunga membuat selisih yield di AS dan Indonesia, menjadi semakin lebar. Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun saat ini berada di level 0,722% sementara obligasi Indonesia tenor yang sama sebesar 8,115%. Selisih yang sangat lebar.
Meski dalam kondisi saat ini, pelaku pasar tidak melihat tingginya yield, tetapi lebih melihat keamanan berinvetasi. Tetapi sekali lagi, ketika pandemi berhasil dihentikan, investor tentunya akan memilih berinvetasi di yield yang tinggi, sehingga aliran modal bisa masuk kembali ke Indonesia, rupiah bisa stabil bahkan kembali menguat.
Selain nilai tukar rupiah yang mulai stabil, inflasi yang rendah juga memberikan ruang bagi BI untuk kembali menurunkan suku bunga.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini melaporkan inflasi di bulan Maret sebesar 0,1% month-on-month (MoM), dan 2,96% secara year-on-year (YoY).
"Harga komoditas secara umum menunjukkan kenaikan meski lebih landai dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Maret 2020, terjadi inflasi 0,1% MoM sehingga inflasi tahunan (year-on-year) adalah 2,96%. Inflasi pada Maret cukup terkendali," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers secara virtual, Rabu (1/4/2020).
Inflasi tersebut masih dalam target BI sebesar 3% plus minus 1%. BI juga memprediksi inflasi di bulan ini akan menurun tajam.
"Perkembangan harga-harga di pasar itu terkendali dan rendah. Kami perkirakan bahwa berdasarkan SPH (Survei Pemantauan Harga) minggu ke-2, inflasi April berada di sekitar 0,2% month-to-month. Year-on-year juga rendah yaitu 2,08%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers Perkembangan Ekonomi Terkini, Kamis (9/4/2020).
Faktor pertama yang membuat inflasi domestik tetap terjaga rendah adalah keberhasilan pemerintah pusat dan daerah dalam mengendalikan harga. Faktor kedua adalah tingkat pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dari produksi nasional, kesenjangan output masih negatif sehingga tidak menciptakan tekanan inflasi yang berlebihan.
Dengan inflasi yang rendah, dan rupiah yang mulai stabil, peluang BI kembali memangkas suku bunga pekan depan terbuka cukup lebar.
Meski saat ini pemangkasan suku bunga belum akan efektif untuk memacu perekonomian mengingat pandemi COVID-19 membuat aktivitas ekonomi menurun drastis bahkan nyaris lumpuh di beberapa negara yang menerapkan kebijakan lockdown. Tetapi pemangkasan suku bunga mampu menambah likuditas di pasar sehingga tidak terjadi pengetatan, dan terjadi gejolak di pasar keuangan.
Selain itu, dengan suku bunga rendah, ketika pandemi COVID-19 berhasil dihentikan, roda perekonomain bisa berputar lebih cepat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Penampakan Kontainer dan Kardus Berisi Uang Baru 10 M
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, sebelumnya mengatakan memiliki ruang untuk memangkas suku bunga, tetapi saat ini fokusnya lebih ke stabilitas nilai tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah mengalami gejolak di pekan kedua dan ketiga Maret. Kala itu Dalam sehari, rupiah melemah lebih dari 4% hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ pada 23 Maret, mendekati level terlemah sepanjang masa Rp 16.800/US$ yang dicapai saat krisis moneter 1998.
Arus modal asing (capital outflow) yang besar akibat pandemi virus corona (COVID-19) menjadi pemicu gejolak yang terjadi di nilai tukar rupiah hingga merosot tajam.
Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.
Sejak tahun 2011 transaksi berjalan RI sudah mengalami defisit (current account deficit/CAD). Praktis pasokan valas hanya dari hot money, yang mudah masuk-keluar. Ketika terjadi capital outflow yang besar maka tekanan bagi rupiah akan semakin kuat.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret terjadi capital outflow sebesar Rp 121,26 triliun di pasar obligasi.
Sementara sepanjang kuartal I-2020, sebesar Rp 134,95 triliun.
Itu artinya aksi jual investor asing di pasar obligasi memang terjadi di bulan Maret, yang membuat kurs rupiah merosot. Dampaknya, rupiah ambles 13,67% sepanjang Maret, dan sepanjang kuartal I-2020 sebesar 17,44%.
Memasuki kuartal II-2020, aliran hot money di pasar obligasi mulai stabil, sejalan dengan pergerakan rupiah. Dari dari DJPPR menunjukkan sejak akhir Maret hingga 7 April lalu, terjadi inflow di pasar obligasi sebesar Rp 920 miliar.
BI menyebut tingkat kepercayaan investor asing mulai pulih kembali setelah bank sentral maupun pemerintah secara global menggelontorkan stimulus guna memerangi pandemi COVID-19. Hingga saat ini, virus corona sudah "menyerang" 185 negara/wilayah, dan menjangkiti lebih dari 1,7 juta orang dengan korban meninggal sebanyak 108.862, dan yang sembuh sebanyak 404.236 orang per hari ini, berdasarkan data Johns Hopkins CSSE. Sementara di Indonesia, hingga Sabtu kemarin sudah ada 3.843 kasus, dengan 327 meninggal dunia dan 286 dinyatakan sembuh.
Banyak negara menetapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) guna meredam penyebaran COVID-19, sehingga aktivitas ekonomi menjadi menurun, pertumbuhan ekonomi melambat bahkan resesi dipastikan terjadi di beberapa negara.
Untuk meminimalisir dampak COVID-19 tersebut ke perekonomian, bank sentral di berbagai negara menurunkan suku bunga acuannya, serta menggelontorkan berbagai stimulus lainnya. Tujuannnya, agar tidak terjadi pengetatan likuiditas, dan ketika pandemi berhasil diredam, perekonomian bisa langsung terakelerasi.
Berdasarkan data dari Reuters, sejak pandemi COVID-19 muncul sudah lebih dari 50 bank sentral di dunia yang menurunkan suku bunga. BI termasuk di dalamnya.
BI sudah dua kali memangkas suku bunga (7-Day Reverse Repo Rate) masing-masing 25 basis poin (bps) pada Februari dan Maret lalu hingga menjadi 4,5%, sementara lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.
Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko Covid-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi melalui tujuh langkah kebijakan, yakni:
Pertama, BI akan memperkuat intensitas kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, baik secara spot, Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
Kedua, BI memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas Rupiah perbankan, yang berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.
Ketiga, BI akan menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas, yang berlaku efektif sejak 19 Maret 2020.
Keempat, BI akan memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di dalam negeri.
Kelima, BI akan mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening Rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, sehingga dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia, berlaku efektif paling lambat pada 23 Maret 2020 dari semula 1 April 2020.
Keenam, BI akan memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian dalam Rupiah sebesar 50bps yang semula hanya ditujukan kepada bank-bank yang melakukan pembiayaan ekspor-impor, ditambah dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain, berlaku efektif sejak 1 April 2020.
Ketujuh, BI akan memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran COVID-19 melalui tiga hal. Pertama, menjaga ketersediaan uang layak edar yang higienis, layanan kas, dan backup layanan kas alternatif, serta menghimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai. Yang kedua menurunkan biaya SKNBI antar BI dengan bank dari Rp 600 per transaksi menjadi Rp 1 dan biaya transaksi dari bank ke nasabah dari Rp 3.500 menjadi Rp 2.900 per transaksi. Kebijakan ini berlaku mulai 1 April 2020. Yang terakhir mendukung penyaluran dana bansos melalui non tunai.
Kebijakan BI perlahan membuahkan hasil, nilai tukar rupiah mulai stabil hingga kembali ke bawah Rp 16.000/US$.
Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) bertindak super agresif dalam melindungi perekonomian Paman Sam dari "serangan" COVID-19. The Fed melakukan dua kali pemangkasan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) di bulan Maret, tetapi dalam dua pemangkasan tersebut FFR dibabat habis hingga 0-0,25%.
Pemangkasan pertama dilakukan pada 3 Maret waktu Indonesia sebesar 50 bps, kemduian selanjutnya pada 16 Maret sebesar 100 bps. Kedua pemangkasan tersebut dilakukan diluar jadwal Rapat Dewan Gubernur (RGD) resmi, sehingga bisa dikatakan sebagai pemangkasan suku bunga darurat.
Selain itu, The Fed juga mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas.
Kebijakan bank sentral paling powerful di dunia tersebut sama dengan saat menghadapi krisis finansial global tahun 2008, bahkan saat ini lebih agresif lagi mengingat QE dilakukan dengan nilai tak terbatas.
"Tidak seperti pascakrisis finansial global (2008), saat The Fed nilai QE terbatas setiap bulannya, kali ini jumlahnya tak terbatas," kata Ray Attril, Kepala Strategi Valas di National Australia Bank, sebagaimana dilansir CNBC International.
Di pekan ini, The Fed mengumumkan detail salah satu stimulusnya berupa pinjaman lunak ke dunia usaha senilai US$ 2,3 triliun.
Program yang diberi nama main street tersebut akan diberikan kepada perusahaan dengan jumlah tenaga kerja hingga 10.000 orang, dan pendapatan kurang dari US$ 2,5 miliar pada tahun 2019 lalu. Pembayaran pokok dan bunga pinjaman tersebut akan ditangguhkan selama satu tahun.
Berbagai kebijakan The Fed dan bank sentral lainnya membuat sentimen pelaku pasar membaik, ada harapan ketika penyebaran virus corona berhasil dihentikan, perekomomian global akan segera bangkit lagi. Dampaknya para investor mulai kembali masuk ke aset-aset berisiko.
The Fed yang super agresif dalam memangkas suku bunga membuat selisih yield di AS dan Indonesia, menjadi semakin lebar. Yield obligasi (Treasury) AS tenor 10 tahun saat ini berada di level 0,722% sementara obligasi Indonesia tenor yang sama sebesar 8,115%. Selisih yang sangat lebar.
Meski dalam kondisi saat ini, pelaku pasar tidak melihat tingginya yield, tetapi lebih melihat keamanan berinvetasi. Tetapi sekali lagi, ketika pandemi berhasil dihentikan, investor tentunya akan memilih berinvetasi di yield yang tinggi, sehingga aliran modal bisa masuk kembali ke Indonesia, rupiah bisa stabil bahkan kembali menguat.
Selain nilai tukar rupiah yang mulai stabil, inflasi yang rendah juga memberikan ruang bagi BI untuk kembali menurunkan suku bunga.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini melaporkan inflasi di bulan Maret sebesar 0,1% month-on-month (MoM), dan 2,96% secara year-on-year (YoY).
"Harga komoditas secara umum menunjukkan kenaikan meski lebih landai dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Maret 2020, terjadi inflasi 0,1% MoM sehingga inflasi tahunan (year-on-year) adalah 2,96%. Inflasi pada Maret cukup terkendali," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers secara virtual, Rabu (1/4/2020).
Inflasi tersebut masih dalam target BI sebesar 3% plus minus 1%. BI juga memprediksi inflasi di bulan ini akan menurun tajam.
"Perkembangan harga-harga di pasar itu terkendali dan rendah. Kami perkirakan bahwa berdasarkan SPH (Survei Pemantauan Harga) minggu ke-2, inflasi April berada di sekitar 0,2% month-to-month. Year-on-year juga rendah yaitu 2,08%," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers Perkembangan Ekonomi Terkini, Kamis (9/4/2020).
Faktor pertama yang membuat inflasi domestik tetap terjaga rendah adalah keberhasilan pemerintah pusat dan daerah dalam mengendalikan harga. Faktor kedua adalah tingkat pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dari produksi nasional, kesenjangan output masih negatif sehingga tidak menciptakan tekanan inflasi yang berlebihan.
Dengan inflasi yang rendah, dan rupiah yang mulai stabil, peluang BI kembali memangkas suku bunga pekan depan terbuka cukup lebar.
Meski saat ini pemangkasan suku bunga belum akan efektif untuk memacu perekonomian mengingat pandemi COVID-19 membuat aktivitas ekonomi menurun drastis bahkan nyaris lumpuh di beberapa negara yang menerapkan kebijakan lockdown. Tetapi pemangkasan suku bunga mampu menambah likuditas di pasar sehingga tidak terjadi pengetatan, dan terjadi gejolak di pasar keuangan.
Selain itu, dengan suku bunga rendah, ketika pandemi COVID-19 berhasil dihentikan, roda perekonomain bisa berputar lebih cepat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Penampakan Kontainer dan Kardus Berisi Uang Baru 10 M
Most Popular