Ada yang 'Ramal' Harga Minyak Dunia Bisa Negatif, Serius?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 April 2020 08:15
Ada yang 'Ramal' Harga Minyak Dunia Bisa Negatif, Serius?
Foto: Ilustrasi produksi minyak (REUTERS/Nick Oxford)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia anjlok pada pekan ini. Ironisnya, pelemahan terjadi saat OPEC+ sudah sepakat untuk memangkas produksi.

Minyak mentah jenis Brent anljok 7,71% ke US$ 31,48 per barel, sementara jenis Light Sweet lebih parah lagi, ambles 19,69% di US$ 22,76 per barel.
Pada akhir Maret lalu, harga minyak mentah bahkan berada di level terendah dalam 18 tahun terakhir.

Harga minyak mentah diprediksi masih akan lebih rendah lagi, bahkan pada satu titik bisa negatif. Hal tersebut diprediksi oleh Direktur Pelaksana Muzuho Securities, Paul Sankey pada pertengahan Maret lalu.



"Harga minyak bisa menjadi negatif," tulis Sankey, (18/3/2020) lalu sebagaimana dilansir Fox Business.

Ketika harga negatif, itu artinya pembeli minyak mentah bisa mendapat minyak mentah secara gratis, bahkan juga mendapat uang. Bagaimana itu bisa terjadi?

Sankey menjelaskan, harga negatif bisa terjadi saat ketika biaya penyimpanan minyak mentah menjadi mahal, sementara permintaan sangat rendah. Sehingga produsen akan memberikan minyaknya secara gratis plus diberi uang, sehingga bisa menekan biaya penyimpanan yang mahal.

"Realita di pasar fisik, minyak mentah terus diproduksi dan itu harus dikonsumsi atau disimpan. Ketika biaya penyimpanan menjadi tinggi, atau tempat penyimpanan habis, perusahaan mungkin membayar konsumennya untuk membawa minyak mentah tersebut," kata Sankey.

Harga minyak mentah yang rendah saat ini dimanfaatkan oleh Pemerintah AS untuk membeli minyak mentah dan menambah cadangan strategis di Lousiana dan Texas. Pemerintah AS berencana membeli 77 juta barel. Menurut Sankey itu bisa dilakukan dengan jumlah pembelian 2 juta barel per hari.

Sankey memperkirakan, cadangan strategis AS akan mencapai kapasitas maksimal dalam waktu empat bulan, dan ia percaya harga minyak akan menjadi negatif ketika hal cadangan strategis AS sudah penuh.



"Harga negatif terjadi saat suplai melebihi permintaan, sehingga memerlukan tempat penyimpanan. Harga negatif secara sederhana adalah ketika biaya penyimpanan lebih tinggi dibandingkan harga minyak di pasar," tulis Sankey.

Ada dua faktor yang membuat harga minyak mentah terus merosot. Pertama, pandemi Covid-19 yang membuat permintaan menurun drastis, serta kenaikan produksi Arab Saudi dan Rusia, serta perang harga kedua negara.

Seperti diketahui sebelumnya, Arab Saudi dan Rusia sempat pecah kongsi. Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang dipimpin Arab Saudi bersama dengan Ruisa dan beberapa negara lainnya, yang disebut OPEC+, beberapa tahun terakhir menerapkan kebijakan pembatasan jumlah produksi guna mengangkat harga minyak mentah.

Tetapi di awal bulan Maret, OPEC+ gagal mencapai kata sepakat untuk membatasi tingkat produksi. Menteri Energi Rusia, Alexander Novak mengatakan meninggalkan pertemuan OPEC+ di Wina Austria, yang berarti Rusia bebas untuk memproduksi minyak mentah seberapapun besarnya mulai tanggal 1 April.

Keputusan tersebut juga membuat Arab Saudi bereaksi dan mendiskon harga minyak mentah ekspornya sebesar 10%. Akibatnya harga minyak mentah pun merosot.

[Gambas:Video CNBC]




Kabar bagus datang pada Jumat (10/4/2020) dini hari waktu Indonesia. OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi 10 juta barel/hari, plus (bila disetujui G20) 5 juta barel/hari dari negara-negara lain. Dengan berkurangnya pasokan diharapkan harga akan lebih tinggi dan stabil, tidak di level rendah seperti sekarang.

OPEC mengatakan pemangkasan produksi sebesar 10 juta barel per hari akan dilakukan pada bulan Mei dan Juni. Kemudian dikurangi menjadi 8 juta barel per hari di sisa tahun ini. Pada tahun depan, produksi akan dikurangi sebanyak 6 juta barel per hari, dan berlangsung hingga April 2022, sebagaimana dilansir CNBC International.

Tetapi harapan minyak mentah bisa menguat setelah produksi di pangkas ternyata tidak terwujud. Harga minyak mentah tetap saja melemah. Sebabnya, outlook permintaan yang masih suram akibat pandemi Covid-19.

Virus corona hingga saat ini sudah "menyerang" 185 negara/wilayah, menjangkiti lebih dari 1,6 juta orang, dengan lebih dari 95.000 orang meninggal dunia dan 356.161 sembuh, berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSE.

Penyebaran tersebut membuat beberapa negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) atau satu negara penuh, sehingga roda perekonomian menurun drastis. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi global akan melambat, bahkan resesi hampir pasti terjadi.



Ketika aktivitas ekonomi menurun, permintaan akan minyak mentah tentunya juga akan berkurang, tidak hanya dari industri, tetapi juga secara ritel. Maklum,  lockdown membuat aktivitas masyarakat dibatasi, sehingga permintaan bahan bakar minyak (BBM) juga pasti menurun. Dan hal ini terjadi di berbagai negara.

Bank of America memprediksi konsumsi minyak mentah global di kuartal I-2020 turun sekitar 12 juta barel per hari. Kemudian konsultan minyak mentah, FGE, juga melihat permintaan minyak mentah berkurang 12 juta barel per hari, bahkan 20 juta barel per hari dalam skenario terburuknya.

OPEC+ baru mulai memangkas produksinya pada bulan Mei, sementara permintaan sudah mulai merosot sejak munculnya pandemi Covid-19. Jika pandemi masih belum bisa dihentikan pada bulan depan, jumlah produksi yang dipangkas juga masih lebih sedikit dibandingkan penurunan permintaan. Hal itu menyebabkan harga minyak masih terus tertekan.

Akibat penurunan permintaan tersebut, Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak jenis Brent rata-rata berada di level US$ 20/barel di kuartal II tahun ini. Sementara Citi lebih rendah lagi, rata-rata diperkirakan US$ 17/barel.

Kedua prediksi tersebut lebih rendah dari harga minyak mentah saat ini, jika pandemi Covid-19 terus berlanjut yang meyebabkan lockdown berkepanjangan, bukan tidak mungkin harga minyak mentah negatif akan menjadi nyata. 


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular