Beban Perusahaan Naik, Anak Usaha Garuda Rugi Rp 51 Miliar
07 April 2020 09:42

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI), anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), pada 2019 lalu membukukan kerugian US$ 3,18 juta atau Rp 51,93 miliar (asumsi kurs Rp 16.300/US$). Ini bertolak belakang dengan pencapaian perusahaan di periode yang sama 2018 yang berhasil mencatatkan laba bersih senilai US$ 11,12 juta.
Nilai rugi per saham menjadi senilai US$ 0,000113 dari sebelumnya laba per saham yang senilai US$ 0,000394.
Sepanjang 2019 perusahaan mengantongi kenaikan pendapatan usaha sebesar 10,52% year on year (YoY). Nilai pendapatan di akhir 2019 tercatat sebesar US$ 519,48 juta (Rp 8,46 triliun), naik dari pendapatan di akhir 2018 yang senilai US$ 470,01 juta.
Pendapatan ini mayoritas disumbang dari jasa reparasi dan overhaul pesawat yang berkontribusi senilai US$ 417,20 juta. Pendapatan dari perawatan pesawat menyumbang senilai US$ 88,46 juta dan operasi lainnya menyumbang US$ 13,81 juta.
Penyumbang pendapatan terbesar atau lebih dari 10% masih didominasi oleh pesawat dari sister company-nya yakni Garuda dan Citilink Indonesia, kemudian dari maskapai Sriwijaya.
Sayangnya, tahun lalu beban usaha perusahaan hampir seluruhnya mengalami peningkatan. Mulai dari beban pegawai, beban material, beban subkontrak dan beban penyusutan. Hanya beban operasional lainnya yang mengalami sedikit penurunan.
Selain itu, beban keuangan perusahaan juga naik menjadi US$ 19,59 juta dari sebelumnya sebesar US$ 16,10 juta.
Nilai penghasilan keuangan juga turun drastis menjadi senilai US$ 441.422 dari sebelumnya senilai US$ 795.704. Selain itu, pendapatan bersih lain-lain mengalami penurunan drastis dari sebelumnya senilai US$ 7,74 juta menjadi hanya sebesar US$ 1,95 juta.
Perusahaan juga memiliki utang yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun senilai total US$ 141,24 juta dari dua debitur, yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) senilai US$ 108,02 juta dan dari PT Indonesia Infrastructure Finance senilai US$ 33,21 juta.
(hps/hps)
Nilai rugi per saham menjadi senilai US$ 0,000113 dari sebelumnya laba per saham yang senilai US$ 0,000394.
Sepanjang 2019 perusahaan mengantongi kenaikan pendapatan usaha sebesar 10,52% year on year (YoY). Nilai pendapatan di akhir 2019 tercatat sebesar US$ 519,48 juta (Rp 8,46 triliun), naik dari pendapatan di akhir 2018 yang senilai US$ 470,01 juta.
Pendapatan ini mayoritas disumbang dari jasa reparasi dan overhaul pesawat yang berkontribusi senilai US$ 417,20 juta. Pendapatan dari perawatan pesawat menyumbang senilai US$ 88,46 juta dan operasi lainnya menyumbang US$ 13,81 juta.
Penyumbang pendapatan terbesar atau lebih dari 10% masih didominasi oleh pesawat dari sister company-nya yakni Garuda dan Citilink Indonesia, kemudian dari maskapai Sriwijaya.
Sayangnya, tahun lalu beban usaha perusahaan hampir seluruhnya mengalami peningkatan. Mulai dari beban pegawai, beban material, beban subkontrak dan beban penyusutan. Hanya beban operasional lainnya yang mengalami sedikit penurunan.
Selain itu, beban keuangan perusahaan juga naik menjadi US$ 19,59 juta dari sebelumnya sebesar US$ 16,10 juta.
Nilai penghasilan keuangan juga turun drastis menjadi senilai US$ 441.422 dari sebelumnya senilai US$ 795.704. Selain itu, pendapatan bersih lain-lain mengalami penurunan drastis dari sebelumnya senilai US$ 7,74 juta menjadi hanya sebesar US$ 1,95 juta.
Perusahaan juga memiliki utang yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun senilai total US$ 141,24 juta dari dua debitur, yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) senilai US$ 108,02 juta dan dari PT Indonesia Infrastructure Finance senilai US$ 33,21 juta.
Artikel Selanjutnya
Diversifikasi Bisnis Ala GMFI Demi Bertahan Kala Pandemi
(hps/hps)