
Kuartal I Penuh Bumbu, Gerak Harga Emas Bak Roller Coaster
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 April 2020 18:29

Belum juga konflik selesai, dunia lagi-lagi dihebohkan oleh fenomena biologis yang muncul di China. Pada akhir tahun lalu, di Kota Wuhan, China banyak dilaporkan kasus pneumonia misterius yang diderita oleh puluhan orang.
Pada akhir tahun tepatnya 31 Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa orang-orang yang terjangkit pneumonia misterius di Wuhan tersebut disebabkan oleh virus corona jenis baru.
Tak butuh waktu yang lama, jumlah orang yang terinfeksi virus corona tersebut di China jumlahnya semakin banyak. Tak hanya di Wuhan saja, virus tersebut juga menyebar ke luar Wuham. Hingga lonjakan kasus secara signifikan terjadi pada 20 Januari.
Tiga hari berselang, pemerintah China memutuskan untuk mengkarantina kota Wuhan dan beberapa kota di dekatnya untuk mengunci agar virus tersebut tidak semakin meluas. Namun sayangnya virus tersebut sudah keluar terlebih dahulu.
Seiring dengan pertambahan kasus di China, jumlah kasus di luar China juga bertambah pelan-pelan. Namun ketika kasus di China sudah mencapai puncaknya, lonjakan kasus signifikan justru terjadi di luar China.
Awal Maret lalu, jumlah kasus di luar China terus bertambah dengan pesat. Jumlah negara yang terjangkit juga terus bertambah. Karena saking cepatnya virus menular dan jumlah negara yang terjangkit banyak, WHO akhirnya memutuskan untuk mendeklarasikan wabah corona yang kemudian diberi nama COVID-19 ini sebagai pandemi.
Sebelum WHO menyematkan status pandemi untuk wabah COVID-19 harga emas terus merangkak naik seiring dengan prospek perekonomian yang kembali buram.
Masalahnya yang diserang bukan hanya manusia tapi juga perekonomian. Apalagi perekonomian yang diserang adalah ekonomi terbesar kedua di dunia dan pusat manufaktur global yakni China. Dampaknya pasti akan dirasakan oleh seantero jagad.
Outlook perekonomian yang suram pun membuat tekanan jual yang masif di pasar saham global. Ketika bursa saham mulai ditinggalkan oleh para investor, harga emas mulai bergejolak tinggi.
Tak jarang emas harus dijual untuk menutup kerugian pada investasi di tempat lain. Namun emas masih mampu bangkit dan sempat mencetak rekor tertingginya dalam 7 tahun pada 9 Maret 2020 di level US$ 1.679,6/troy ons.
Apalagi ada sentimen yang mendukung. Pada 3 Maret lalu secara mengejutkan bank sentral AS, The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin untuk meredam dampak COVID-19 di Amerika melihat jumlah kasus di Negeri Paman Sam juga terus bertambah.
Namun usai pengumuman WHO, pasar saham makin bergerak liar. Kacau pokoknya. Tekanan jual semakin masif. Bahkan Wall Street sempat anjlok 12% dalam sehari dua pekan lalu. Kejadian Black Monday pun terulang lagi. (twg/twg)
Pada akhir tahun tepatnya 31 Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa orang-orang yang terjangkit pneumonia misterius di Wuhan tersebut disebabkan oleh virus corona jenis baru.
Tak butuh waktu yang lama, jumlah orang yang terinfeksi virus corona tersebut di China jumlahnya semakin banyak. Tak hanya di Wuhan saja, virus tersebut juga menyebar ke luar Wuham. Hingga lonjakan kasus secara signifikan terjadi pada 20 Januari.
Seiring dengan pertambahan kasus di China, jumlah kasus di luar China juga bertambah pelan-pelan. Namun ketika kasus di China sudah mencapai puncaknya, lonjakan kasus signifikan justru terjadi di luar China.
Awal Maret lalu, jumlah kasus di luar China terus bertambah dengan pesat. Jumlah negara yang terjangkit juga terus bertambah. Karena saking cepatnya virus menular dan jumlah negara yang terjangkit banyak, WHO akhirnya memutuskan untuk mendeklarasikan wabah corona yang kemudian diberi nama COVID-19 ini sebagai pandemi.
Sebelum WHO menyematkan status pandemi untuk wabah COVID-19 harga emas terus merangkak naik seiring dengan prospek perekonomian yang kembali buram.
Masalahnya yang diserang bukan hanya manusia tapi juga perekonomian. Apalagi perekonomian yang diserang adalah ekonomi terbesar kedua di dunia dan pusat manufaktur global yakni China. Dampaknya pasti akan dirasakan oleh seantero jagad.
Outlook perekonomian yang suram pun membuat tekanan jual yang masif di pasar saham global. Ketika bursa saham mulai ditinggalkan oleh para investor, harga emas mulai bergejolak tinggi.
Tak jarang emas harus dijual untuk menutup kerugian pada investasi di tempat lain. Namun emas masih mampu bangkit dan sempat mencetak rekor tertingginya dalam 7 tahun pada 9 Maret 2020 di level US$ 1.679,6/troy ons.
Apalagi ada sentimen yang mendukung. Pada 3 Maret lalu secara mengejutkan bank sentral AS, The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin untuk meredam dampak COVID-19 di Amerika melihat jumlah kasus di Negeri Paman Sam juga terus bertambah.
Namun usai pengumuman WHO, pasar saham makin bergerak liar. Kacau pokoknya. Tekanan jual semakin masif. Bahkan Wall Street sempat anjlok 12% dalam sehari dua pekan lalu. Kejadian Black Monday pun terulang lagi. (twg/twg)
Pages
Most Popular