
Moody's Ramal Ekonomi RI Tumbuh Terendah Sejak Krismon 1998
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 April 2020 14:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga rating global Moody's memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh di level terlemah sejak krisis moneter (krismon) tahun 1998 silam.
Berbagai ramalan tentang jatuhnya perekonomian tanah air akibat wabah virus corona yang terus merebak sudah disampaikan oleh berbagai pihak mulai dari ekonom hingga Menteri Keuangan sendiri.
Kini giliran lembaga rating global Moody's yang menyampaikan ramalannya bahwa ekonomi RI akan tumbuh terendah sejak krisis tahun 1998-1999. Moody's memperkirakan dampak virus corona akan membuat perekonomian RI tumbuh 3% pada 2020 sebelum akhirnya kembali pulih dengan laju 4,3% pada 2021.
"Pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2020 akan melambat secara moderat. Namun terhentinya aktivitas ekonomi di Jakarta dan beberapa wilayah lain di Jawa yang merupakan episentrum perekonomian nasional akan menyebabkan laju perlambatan terjadi secara signifikan dan membuat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi pada kuartal kedua secara quarter on quarter (qoq)" tulis Moody's dalam risetnya.
Moody's juga menyoroti depresiasi nilai tukar rupiah yang tajam terhadap dolar AS. sejak awal Februari hingga akhir Maret, nilai tukar rupiah telah melemah 20% di hadapan dolar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah tercermin dari adanya aliran keluar dana asing atau capital outflows. Berdasarkan perhitungan Moody's menggunakan data satu bulan ke belakang yang berakhir pada 31 Maret 2020, rata-rata outflow per harinya mencapai US$ 203 juta.
Capital outflows yang besar membuat ekonomi Indonesia menjadi rentan mengingat di investor asing juga memegang porsi obligasi pemerintah yang besar. Pada pertengahan Maret saja, investor asing menguasai 36% obligasi pemerintah RI dengan denominasi rupiah.
Artinya jika uang investor asing tersebut ditarik alias balik kampung dan obligasi pemerintah dilego, maka harganya akan turun. Sehingga imbal hasil atau yield obligasi menjadi naik. Hal ini sudah tercermin dari kenaikan yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun yang naik 125 basis poin menjadi 7,9% di akhir Maret 2020.
"Terlepas dari upaya berupa dukungan likuiditas oleh Bank Indonesia, kelangkaan dolar akan mengakibatkan bank sentral membiayai kembali obligasi yang ada atau menerbitkan obligasi baru dengan tingkat kupon yang kurang terjangkau" tulis Moody's.
"Tingkat depresiasi rupiah yang sudah terlihat, dikombinasikan dengan naiknya imbal hasil, akan secara material meningkatkan biaya layanan utang dan mengurangi keterjangkauan utang" tambah Moody's
Berbagai ramalan tentang jatuhnya perekonomian tanah air akibat wabah virus corona yang terus merebak sudah disampaikan oleh berbagai pihak mulai dari ekonom hingga Menteri Keuangan sendiri.
Kini giliran lembaga rating global Moody's yang menyampaikan ramalannya bahwa ekonomi RI akan tumbuh terendah sejak krisis tahun 1998-1999. Moody's memperkirakan dampak virus corona akan membuat perekonomian RI tumbuh 3% pada 2020 sebelum akhirnya kembali pulih dengan laju 4,3% pada 2021.
Moody's juga menyoroti depresiasi nilai tukar rupiah yang tajam terhadap dolar AS. sejak awal Februari hingga akhir Maret, nilai tukar rupiah telah melemah 20% di hadapan dolar AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah tercermin dari adanya aliran keluar dana asing atau capital outflows. Berdasarkan perhitungan Moody's menggunakan data satu bulan ke belakang yang berakhir pada 31 Maret 2020, rata-rata outflow per harinya mencapai US$ 203 juta.
Capital outflows yang besar membuat ekonomi Indonesia menjadi rentan mengingat di investor asing juga memegang porsi obligasi pemerintah yang besar. Pada pertengahan Maret saja, investor asing menguasai 36% obligasi pemerintah RI dengan denominasi rupiah.
Artinya jika uang investor asing tersebut ditarik alias balik kampung dan obligasi pemerintah dilego, maka harganya akan turun. Sehingga imbal hasil atau yield obligasi menjadi naik. Hal ini sudah tercermin dari kenaikan yield obligasi pemerintah RI tenor 10 tahun yang naik 125 basis poin menjadi 7,9% di akhir Maret 2020.
"Terlepas dari upaya berupa dukungan likuiditas oleh Bank Indonesia, kelangkaan dolar akan mengakibatkan bank sentral membiayai kembali obligasi yang ada atau menerbitkan obligasi baru dengan tingkat kupon yang kurang terjangkau" tulis Moody's.
"Tingkat depresiasi rupiah yang sudah terlihat, dikombinasikan dengan naiknya imbal hasil, akan secara material meningkatkan biaya layanan utang dan mengurangi keterjangkauan utang" tambah Moody's
Pages
Most Popular