Kuartal I Penuh Drama. Harga Minyak Mentah Rontok 60% Lebih

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
02 April 2020 18:00
Kuartal I Penuh Drama. Harga Minyak Mentah Rontok 60% Lebih
Foto: Ilustrasi: Minyak mengalir keluar dari semburan dari sumur 1859 asli Edwin Drake yang meluncurkan industri perminyakan modern di Museum dan Taman Drake Well di Titusville, Pennsylvania AS, 5 Oktober 2017. REUTERS / Brendan McDermid / File Foto
Jakarta, CNBC Indonesia - Kuartal pertama tahun 2020 menjadi babak penuh dengan drama yang menjadi sentimen penggerak harga minyak mentah dunia. Harga minyak anjlok lebih dari 60% pada kuartal pertama (quarter on quarter/qoq) tahun ini.

Pada akhir tahun 2019, harga minyak masih berada di atas US$ 60/barel. Pada 3 Januari ketika jenderal tertinggi pasukan militer Iran Qassem Soleimani dikabarkan tewas terbunuh, harga minyak melonjak naik nyaris US$ 70/barel.

Kala itu, Jenderal Qassem Soleimani terbunuh oleh drone milik AS atas perintah Presiden AS ke-45 Donald Trump. Taipan properti Paman Sam itu memerintahkan aksi pembunuhan Soleimani dengan dalih jenderal Iran itu merupakan teroris yang berbahaya bagi AS.

Kuartal I Penuh Drama. Harga Minyak Mentah Rontok 60% LebihFoto: Qasem Soleimani. (AP Photo/Karim Kadim, File)


Konflik pun berkecamuk di Timur Tengah. Mengingat negara-negara Timur Tengah kaya akan minyak, ada kekhawatiran pasokan minyak terganggu akibat konflik AS dengan Iran itu, harga minyak naik.

Namun selang tak berapa lama, harga minyak malah melorot ke bawah US$ 60/barel. Bahkan kabar blokade ladang minyak Libya pada 18 Januari 2020 pun tak mampu mengangkat harga minyak naik lagi ke atas US$ 60/barel.


Fayez al-Sarraj, kepala pemerintah Libya yang diakui secara internasional, telah memperingatkan bahwa negara Afrika Utara akan menghadapi krisis keuangan dan defisit anggaran pada tahun 2020 karena blokade terminal minyak dan ladang minyak oleh kelompok-kelompok yang loyal kepada saingannya, Khalifa Haftar.

Produksi minyak Libya telah turun tajam sejak 18 Januari ketika blokade dimulai dari sebelumnya 1,2 juta barel per hari (bpd) menjadi 163.684 bpd pada Februari 2020.

Harga minyak justru tertekan ketika China melaporkan terjadinya lonjakan kasus infeksi virus corona di Wuhan dan beberapa kota lainnya pada 20 Januari 2020. Kala itu kasus di China secara kumulatif masih di bawah angka 500.

Namun virus corona semakin ganas menginfeksi China. Bahkan virus corona mulai menjangkiti negara lain. Jumlah kasus di China yang naik signifikan setelah 20 Januari membuat pemerintah China menetapkan lockdown kota Wuhan dan beberapa kota lain pada 23 Januari 2020.

Pada tanggal tersebut pemerintah China menutup semua akses transportasi dari dan ke kota Wuhan. Masyarakat diminta untuk tetap tinggal di rumah. Aktivitas ekonomi jadi terhambat. Permintaan minyak mentah dari China drop karena sektor penerbangan juga terdampak.

Jumlah penumpang pesawat terbang langsung drop ketika lonjakan kasus di China terus terjadi. Hal ini membuat harga minyak makin tertekan. Koreksi harga minyak yang sudah dalam pada akhir Februari saat kasus infeksi di China melesat signifikan lebih dari 50.000 kasus, Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan aliansinya yang tergabung dalam OPEC+ mengadakan pertemuan untuk membahas anjloknya harga minyak.


[Gambas:Video CNBC]




Komite penasihat teknis OPEC+ merekomendasikan kepada organisasi untuk memangkas produksi minyak tambahan sebanyak 1,5 juta bpd. Arab Saudi sebagai pemimpin de facto OPEC menyetujui penuh gagasan tersebut demi menjaga stabilitas harga di pasar.

Namun usulan tersebut ditolak oleh Rusia. Penolakan ini membuat Arab Saudi geram dan menabuh genderang perang harga dengan Rusia. Arab Saudi mengambil manuver dengan mendiskon harga minyak ekspornya (official selling price/OSP) sebesar 10%.

Tak sampai di situ saja, Arab Saudi berencana kembali membanjiri pasar dengan pasokan minyaknya. Setelah kesepakatan OPEC+ memangkas produksi minyak 1,7 – 2,1 juta bpd pada kuartal I selesai, Arab berencana menaikkan produksi minyaknya dengan kapasitas maksimum ke level 12 juta bpd dari sebelumnya hanya 9,7 juta bpd.

Kuartal I Penuh Drama. Harga Minyak Mentah Rontok 60% LebihFoto: Saudi Aramco (AP Photo/Amr Nabil)

Rusia sebenarnya punya alasan mengapa pihaknya menolak proposal tersebut. Pihak Rusia menganggap bahwa tindakan pemangkasan produksi minyak secara terus-terusan tak akan membantu menstabilkan pasar dan merupakan kesia-siaan belaka lantaran produksi minyak AS (shale oil) terus meningkat.

Kala perang harga berkecamuk, harga minyak anjlok lebih dari 25% dalam sehari menandai koreksi harian paling dalam sejak 1991. Arab Saudi dan Rusia kini kembali strategi untuk memperoleh pangsa pasar ketimbang menjaga stabilitas harga.

Harga minyak makin rontok kala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah corona sebagai pandemi. Langkah ini ditempuh oleh WHO karena wabah sudah menjangkiti lebih dari 100 negara dan lonjakan kasus secara signifikan terus terjadi di luar China.

Pada akhir bulan Maret sekaligus menjadi akhir dari kuartal pertama tahun ini, harga minyak mentah kontrak futures benar-benar berada di level terlemah dalam 18 tahun terakhir. Brent dihargai US$ 22,74/barel (-65,5% qoq) dan WTI dibanderol US$ 20,48/barel (-66,5% qoq).



Harga minyak mentah saat ini diobral murah lantaran ketika pandemi corona membuat permintaan minyak anjlok lebih dari 15 juta bpd (negative demand shock), pasar malah berpotensi kebanjiran pasokan minyak setidaknya 4 juta bpd (positive supply shock) akibat ketegangan antara produsen minyak terbesar di dunia (Arab Saudi & Rusia).

Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Kuartal pertama tahun 2020 memang dipenuhi oleh berbagai drama dan kejadian bersejarah yang membuat ketidakpastian kembali tinggi dan dunia berada di ambang resesi yang nyata.



TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular