
Deretan 'Senjata' Negara-negara yang Berperang Lawan Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 memberikan pukulan telak bagi perekonomian global.
Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini sudah lebih dari 170 negara yang terpapar Covid-19. Sebanyak lebih dari 660.000 orang terinfeksi, dengan 30.652 orang meninggal dunia, dan lebih dari 139.000 sembuh.
Amerika Serikat kini menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak di dunia mengalahkan China yang merupakan asal pandemi ini. Hingga tercatat ada 122.666 kasus positif Covid-19, dengan korban meninggal lebih dari 2.000 orang dan yang sembuh lebih dari 1.000 orang.
Banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) yang membuat aktivitas ekonomi merosot tajam. Akibatnya, perekonomian global melambat signifikan, resesi di beberapa negara bukan lagi kemungkinan, tetapi pasti.
Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Services memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia atau G-20, akan terkontraksi tajam di tahun ini.
"Ekonomi negara G-20 akan mengalami guncangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada paruh pertama tahun ini dan akan berkontraksi pada tahun 2020 secara keseluruhan," tulis Moody's, dalam riset bertajuk Global Macro Outlook 2020-21, dikutip Kamis (26/3/2020).
Moody's memperkirakan, PBD riil sepanjang tahun 2020 dari negara-negara G-20 secara rata-rata akan minus 0,5%, jauh di bawah perkiraan pada proyeksi awal November lalu dengan estimasi pertumbuhan sebesar 2,6%.
"Namun pada tahun setelahnya akan diikuti oleh peningkatan ke pertumbuhan [ekonomi G-20] sebesar 3,2% pada tahun 2021," terang Moody's.
Untuk memerangi pandemic ini, berbagai bank sentral dan pemerintah negara-negara yang terpapar mengeluarkan 'senjata' berupa stimulus moneter dan fiskal. Yang paling sensasional tentunya dari Negeri Paman Sam yang kini menjadi episentrum Covid-19.
Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya hingga menjadi 0-0,25%. Kemudian The Fed juga melakukan program pembelian aset atau quantitative easing (QE) dengan nilai tak terbatas guna membantu perekonomian AS menghadapi tekanan dari pandemi virus corona (Covid-19). Aset yang akan dibeli seperti obligasi pemerintah, efek beragun aset perumahan (Residential Mortgage-Backed Security/RMBS), dan beberapa jenis efek lainnya.
The Fed mengatakan akan melakukan QE dalam besaran berapapun yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran fungsi pasar serta transmisi kebijakan moneter yang efektif di segala kondisi finansial dan ekonomi.
Jumlah yang tak terbatas tersebut artinya The Fed akan membeli seberapapun aset yang diperlukan guna menjaga likuiditas di pasar agar tidak mengetat.
Itu dari sisi moneter, dari sisi fiskal Pemerintah AS menggelontorkan stimulus jumbo. Pada Jumat waktu AS, Presiden AS Donald Trump menandatangani undang-undang sehingga pemerintah AS bisa menggelontorkan stimulus senilai US$ 2 triliun guna memerangi Covid-19. Nilai stimulus tersebut sangat jumbo, dua kali nilai ekonomi Indonesia.
Dengan nilai sebesar itu, sebesar US$ 117 miliar dialokasikan untuk rumah sakit dan US$ 16 untuk persediaan farmasi dan kelengkapan alat kesehatan nasional.
Selain itu, bantuan langsung tunai (BLT) juga dikucurkan sebesar US$ 1.200 per orang atau US$ 2.400 jika berpasangan dan tambahan US$ 500 untuk setiap anak. Bantuan ini hanya diperuntukkan untuk penduduk dengan pendapatan kurang dari US$ 75.000/tahun.
Kemudian memberikan hibah untuk industri maskapai penerbangan maupun pengangkutan masing-masing senilai US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang dialokasikan untuk membayar upah, gaji, dan tunjangan karyawan. Tidak lupa juga menyisihkan US$ 25 miliar dan US$ 4 miliar yang digunakan sebagai pinjaman maupun jaminan pinjaman.
bantuan juga diberikan dalam bentuk pinjaman ke UKM senilai US$ 350 miliar untuk membayar upah. Masih banyak lagi peruntukan stimulus tersebut, termasuk untuk menangguhkan Pajak Penghasilan (PPh) pengusaha dengan kewajiban membayar setengahnya pada akhir 2021, dan setengahnya lagi pada 2022.
Sebelum AS, Indonesia sudah bertindak terlebih dahulu. Pada 19 Maret lalu, Bank Indonesia (BI) memangkas suku acuannya.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Maret 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (19/3/2020).
Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko Covid-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi melalui tujuh langkah kebijakan, yakni:
Pertama, BI akan memperkuat intensitas kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar, baik secara spot, Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder.
Kedua, BI memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas Rupiah perbankan, yang berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.
Ketiga, BI akan menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas, yang berlaku efektif sejak 19 Maret 2020.
Keempat, BI akan memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di dalam negeri.
Kelima, BI akan mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening Rupiah dalam negeri (Vostro) bagi investor asing sebagai underlying transaksi dalam transaksi DNDF, sehingga dapat mendorong lebih banyak lindung nilai atas kepemilikan Rupiah di Indonesia, berlaku efektif paling lambat pada 23 Maret 2020 dari semula 1 April 2020.
Keenam, BI akan memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian dalam Rupiah sebesar 50bps yang semula hanya ditujukan kepada bank-bank yang melakukan pembiayaan ekspor-impor, ditambah dengan yang melakukan pembiayaan kepada UMKM dan sektor-sektor prioritas lain, berlaku efektif sejak 1 April 2020.
Ketujuh, BI akan memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung upaya mitigasi penyebaran COVID-19 melalui tiga hal. Pertama, menjaga ketersediaan uang layak edar yang higienis, layanan kas, dan backup layanan kas alternatif, serta menghimbau masyarakat agar lebih banyak menggunakan transaksi pembayaran secara nontunai. Yag kedua menurunkan biaya SKNBI antar BI dengan bank dari Rp 600 per transaksi menjadi Rp 1 dan biaya transaksi dari bank ke nasabah dari Rp 3.500 menjadi Rp 2.900 per transaksi. Kebijakan ini berlaku mulai 1 April 2020. Yang terakhir mendukung penyaluran dana bansos melalui non tunai.
Kemudian dari sisi fiskal, Kamis (26/3/2020) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23 Tahun 2020 tentang pemberian insentif perpajakan bagi pelaku usaha yang terdampak Covid-19. Aturan ini akan mulai berlaku pada 1 April 2020.
Setidaknya, ada empat insentif di bidang perpajakan yang akan di berikan Sri Mulyani sebagai langkah membantu Wajib Pajak (WP) terdampak wabah Virus Corona.
"Keempat insentif tersebut terkait dengan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)," tulis keterangan resmi Kemenkeu, Kamis (26/3/2020).
Pada kesempatan sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan nilai insentif pajak tersebut sebesar Rp 125 triliun.
"Itu Rp 125 triliun sendiri (tambahan defisit). Belanja tidak direm tapi penerimaan turun. Kita akan lihat APBN memberikan dampak suportif kepada ekonomi hampir 0,8% PDB," katanya dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Sebelumnya, berbagai insentif juga sudah digelontorkan seperti subsidi avtur agar harga tiket pesawat turun, pembebasan pajak hotel dan restoran, tambahan anggaran Bantuan Sosial, serta penambahan jumlah rumah bersubsidi dan menambah anggaran subsidi uang muka.
Presiden Jokowi sudah memberikan arahan tegas untuk menangani wabah Covid-19 yang sudah merebak di tanah air. Jokowi sudah memberikan setidaknya 10 arahan makroekonomi untuk merespons kondisi genting akibat wabah ini.
Nomor | Instruksi Presiden | Anggaran (IDR Triliun) |
1 | Memangkas pengeluaran bukan prioritas pada APBN & APBD |
|
2 | Realokasi anggaran kementerian, pemerintah provinsi dan daerah untuk program kesehatan | 62.3 |
3 | Memastikan ketersediaan bahan pangan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan koordinasi antar kementerian dan pemerintah daerah |
|
4 | Memperkenalkan program insentif uang tunai |
|
5 | Distribusi bantuan tambahan mencapai Rp 200.000/orang/bulan melalui Kartu Sembako dari sebelumnya hanya Rp 150.000 | 4.56 |
6 | Distribusi bantuan tunai di bawah Kartu Pra-Kerja untuk masyarakat selama 3-4 bulan ke depan | 10 |
7 | Relaksasi Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk pekerja sektor manufaktur selama 6 bulan | 8.6 |
8 | Relaksasi pinjaman UMKM oleh OJK (di bawah Rp10milyar) dari perbankan dan lembaga non-bank dalam bentuk: |
|
9 | Keringanan kredit KPR bersubsidi dalam bentuk: | 1.5 |
10 | Mendistribusikan alat pelindung diri (APD) 105.000 unit untuk tenaga medis: |
|
Arahan RI-1 tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai kebijakan dan program oleh Kementerian Keuangan sebagai berikut :
Nomor | Kebijakan Fiskal Kemenkeu |
1 | Pengadaan alat pelindung diri (APD) sebanyak 105.000 unit |
2 | Mengatur pembayaran biaya kesehatan pasien COVID-19 non-asuransi dengan Departemen Kesehatan, melalui |
3 | Membagikan insentif bagi pekerja medis, dalam bentuk: |
4 | Membuat akun donasi untuk COVID-19 yang dikelola bersama oleh BNPB dan Kementerian Keuangan |
5 | Penguatan sistem jaring pengaman sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang mencakup 10 juta |
6 | Memberikan kompensasi 3 bulan (Rp1.000.000 / bulan) dan pelatihan untuk pekerja yang terkena PHK |
7 |
|
Sumber : Kementerian Keuangan, Bahana Sekuritas, CNBC Indonesia Research
Selain itu, Pemerintah berencana menerbitkan surat utang pemulihan bencana (Recovery Bond/R-Bond), yang hasil penerbitannya akan dipakai untuk membantu pelaku usaha meningkatkan likuiditas keuangannya di tengah dampak wabah covid-19.
Mengutip penjelasan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, Recovery Bond akan berbentuk surat utang pemerintah dalam bentuk rupiah yang bisa dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dan pihak swasta lain, seperti importir, eksportir, dan investor.
"Dana hasil penjualan surat utang ini, dipegang oleh pemerintah lalu disalurkan ke seluruh dunia usaha dalam bentuk kredit khusus, untuk bangkitkan dunia usaha," kata Susiwijono dalam konferensi pers, Kamis (26/3/2020).
Berikut beberapa kebijakan moneter yang diterapkan bank sentral dunia, serta kebijakan fiskal pemerintahnya.
China
Bank Sentral China (People’s Bank of China/PBoC)menurunkan suku bunga reverse repo tenor 7 hari i menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55%.
Menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Kemudian menurunkan Loan Prime Rate (LPR) tenor setahun menjadi 4,05% dari 4,15%, dan tenor lima tahun turun 4,75% menjadi 4,8%.
PBoC juga menurunkan giro wajib minimum sebesar 50-100 basis poin (bps), dan menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Sementara itu Pemerintah China belum mengungkapkan detail seberapa besar stimulus fiskal yang diberikan, tetapi berjanji melebarkan defisit anggaran guna memacu perekonomian.
Jepang
Bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) sudah lama menerapkan suku bunga -0,1%, dan kebijakan yield curve control untuk menjaga likuditas di pasar. Gubernur BoJ, Haruhiko Kuroda menyatakan akan memperkuat kebijakanya dengan memperbesar nilai QE guna tetap menyediakan likuditas agar tidak terjadi pengetatan.
Sementara itu, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, pada Senin (23/3/2020) lalu berjanji akan menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 137 miliar. Nilai tersebut nyaris sama dengan stimulus yang dikeluarkan ketika krisis finansial global 2008.
India
Bank sentral India (Reserve Bank of India/RBI) memangkas suku bunga repo sebesar 75 bps menjadi 4,4%, dan suku bunga reverse repo sebesar 90 bps menjadi 4%.
Sementara itu pemerintah India mengumumkan stimulus fiskal senilai US$ 22,5 milar.
Korea Selatan
Bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BoK) memangkas suku bunganya hingga ke rekor terendah sepanjang masa 0,75%
Sementara pemerintahnya menggelontorkan stimulus senilai 11,7 triliun won.
Malaysia
Bank Sentral Malaysia (Bank Negara Malaysia/BNM) menurunkan suku bunga overnight menjadi 2,5% menjadi yang terendah dalam 10 tahun terakhir. BNM juga memangkas GWM sebesar 100 bps menjadi 2%.
Sementara itu dari sisi fiskal, Pemerintah Malaysia menggelontorkan stimulus senilai US$ 83,6 miliar.
Singapura
Bank Sentral Singapura (Monetary Autorithy Singapore/MAS) tidak menggunakan suku bunga sebagai alat moneternya, melainkan menetapkan kisaran dan nilai tengah dolar Singapura untuk mengatur ketat atau longgarnya likuiditas. MAS sebelumnya mengatakan akan melemahkan kisaran dolar Singapura guna menyediakan likuiditas yang dibutuhkan oleh perekonomian.
Untuk stimulus fiskal, Pemerintah Singapura mengumumkan stimulus sebesar SG$ 48 miliar.
Australia
Bank Sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) sudah memangkas suku bunga acuannya hingga ke rekor terendah sepanjang masa 0,25%. Selain itu, RBA juga menggelontorkan QE yang baru pertama kali dilakukan sepanjang sejarah.
Dari sisi fiskal, Pemerintah Australia menggelontorkan stimulus senilai AU$ 17,6 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/miq) Next Article Inggris Gencarkan 2 Jurus Sekaligus Untuk Hadapi Corona