Sejak Isu Corona Merebak, Rupiah Sudah Anjlok Nyaris 17%

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 March 2020 10:43
Sejak Isu Corona Merebak, Rupiah Sudah Anjlok Nyaris 17%
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Malang betul nasib rupiah. Sejak isu virus corona muncul pada pekan keempat Januari, rupiah langsung nosedive alias terjun bebas.

Pada Senin (23/3/2020) pukul 10:15 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 16.550/US$. Rupiah melemah 4,09% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Mata uang Tanah Air berada di posisi terlemah secara intraday sejak Juni 1998, kala Indonesia bergelut dengan krisis ekonomi-sosial-politik yang membuat Orde Baru tumbang setelah nyaris 32 tahun berkuasa.


Kali pertama investor menyadari potensi ancaman virus corona terhadap perekonomian dunia adalah pada 22 Januari. Saat itu virus corona masih terkonsentrasi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China di mana ada 300 kasus dan enam orang meninggal dunia.

Merespons isu corona, Wall Street kala itu langsung melemah tetapi tipis saja. Pada 22 Januari dini hari waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,57%, S&P 500 terkoreksi 0,28%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,2%.

Sekarang situasinya semakin hari semakin parah. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 08:43 WIB, virus ini sudah menyebar ke lebih dari 180 negara. Jumlah pasien corona di seluruh dunia mencapai lebih dari 300.000 orang sementara korban jiwa tidak kurang dari 14.000 orang.




Sejak 22 Januari, rupiah sudah melemah 16,57% di hadapan dolar AS. Dalam periode yang sama, depresiasi rupiah adalah yang terdalam di antara mata uang Asia lainnya.

Berikut perubahan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia sejak 22 Januari hingga hari ini pukul 09:51 WIB:




Corona memang membuat risk appetite investor turun drastis. Maklum, corona membuat aktivitas ekonomi global nyaris lumpuh total.

Untuk meredam penyebaran virus, berbagai negara mengampanyekan gerakan tinggal di rumah. Tidak perlu keluar rumah kalau tidak ada urusan yang amat sangat mendesak sekali. Hindari juga kerumunan. Ini dilakukan untuk mengurangi ruang gerak penularan virus corona.

Bahkan sejumlah negara sudah melakukan karantina wilayah (lockdown). Isolasi total. Tidak ada akses keluar/masuk dan warga diwajibkan tinggal di rumah.


Upaya untuk melindungi nyawa ini memang harus menjadi prioritas pertama dan yang paling utama. Namun bagaimana pun, kebijakan ini membuat roda perekonomian berputar sangat pelan, bahkan mungkin berhenti sama sekali.

"Resesi global mungkin akan terjadi dalam waktu dekat. Kita semua dalam kondisi yang tidak diinginkan, sehingga aturan-aturan normal tidak bisa lagi berlaku," tegas Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres, seperti diberitakan Reuters.


Namun mengapa rupiah jadi 'korban' yang paling parah dari serangan virus corona? Sepertinya ini ada hubungannya dengan fundamental ekonomi domestik.

Indonesia punya pekerjaan rumah yang tidak kunjung rampung yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit). Akibatnya, rupiah begitu tergantung dari pasokan 'darah' investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. Apakah itu saham, obligasi, dan aset-aset keuangan lainnya.

Nah, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, sekarang arus hot money sedang mampet karena investor khawatir akan risiko resesi. Sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu, investor asing membukukan jual bersih (net sell) Rp 10,24 triliun di pasar saham. Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing berkurang Rp 87,92 triliun selama 2 Januari-18 Maret.

Dengan transaksi berjalan yang masih defisit sementara tidak ada pasokan hot money, sangat wajar rupiah terus melemah. Andai 'dosa' defisit transaksi berjalan sudah tertebus, mungkin rupiah tidak akan separah sekarang.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular