Bursa Hong Kong -5%, Seoul -5%, Singapura -6%, Apa-apaan Ini?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 March 2020 08:44
Bursa Hong Kong -5%, Seoul -5%, Singapura -6%, Apa-apaan Ini?
Ilustrasi Bursa Saham Tokyo (REUTERS/Issei Kato)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Asia bergerak variatif pada perdagangan hari ini. Pelaku pasar sepertinya masih berhati-hati mengingat isu virus corona yang semakin 'liar'.

Pada Senin (23/3/2020) pukul 08:43 WIB, berikut perkembangan indeks saham utama Asia:



Investor masih terus memonitor perkembangan penyebaran virus corona. Per pukul 07:43 WIHB, jumlah kasus corona di seluruh dunia adalah 335.974 di mana 14.641 orang meninggal dunia, mengutip data satelit pemetaan ArcGis.


Di China, lokasi awal penyebaran virus corona, kondisi semakin membaik. Kota Wuhan (ground zero kasus corona) sudah mengendurkan aturan karantina wilayah alias lockdown. Transportasi publik sudah kembali berfungsi dan karyawan diperbolehkan bekerja.

"Sekarang saya rasa pendemi ini sudah terkontrol, tetapi bukan berarti sudah selesai. Saya sudah keluar rumah, tetapi masih merasa takut," kata seorang warga Beijing bermarga He, seperti dikutip dari Reuters.

Namun di negara-negara lain, situasinya malah memburuk terutama di Eropa dan AS. Kasus corona di Italia kian bertambah menjadi 59.138 dengan korban jiwa 5.476 orang. Korban meninggal akibat corona di Italia adalah yang tertinggi di dunia, sudah melampaui China.


AS menjadi negara dengan kasus corona terbanyak ketiga di dunia dengan 33.276 pasien. Dari jumlah tersebut, 417 orang tutup usia.

Sejumlah negara bagian di Negeri Paman Sam telah menetapkan status lockdown. Terbaru, Ohio, Louisiana, dan Delaware melakukan hal yang sama dengan New York California, Illinois, Connecticut, dan New Jersey.

Jumlah penduduk di negara-negara bagian tersebut adalah sekitar 101 jiwa. Artinya, hampir satu dari tiga warga AS kini harus tinggal di rumah. Tidak bisa sekolah, kerja, apalagi pelesiran.

Akibatnya, ekonomi Negeri Adidaya terancam melambat. Roda ekonomi yang tertahan membuat pengangguran di AS meningkat. Jumlah klaim tunjangan pengangguran atau unemployment benefits pada pekan yang berakhir 14 Maret tercatat 281.000. Melonjak 70.000 dibandingkan pekan sebelumnya dan menjadi yang tertinggi sejak September 2017.





Namun James Bullard, Presiden Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang St Louis, menegaskan bahwa risiko resesi belum terlihat. Menurutnya apa yang terjadi di AS saat ini adalah investasi sedang bergeser ke arah kesehatan, karena ini menjadi fokus utama untuk membuat orang-orang kembali produktif nantinya.

"Coba lihat ini sebagai investasi di sektor kesehatan. Shutdown adalah upaya untuk membuat masyarakat tetap sehat. Anggap saja kita sedang menyimpan tenaga untuk bangkit. Kita harus menjaga rumah tangga dan dunia usaha setidaknya sampai kuartal II," kata Bullard dalam wawancara dengan Reuters.

Akan tetapi, pelaku pasar sudah terlanjur punya bayangan resesi bahkan semakin kuat. Berdasarkan jajak pendapat Reuters yang melibatkan 41 institusi di Benua Amerika dan Eropa, 31 di antaranya memperkirakan ekspansi ekonomi akan berhenti pada kuartal I tahun ini. Kali terakhir perekonomian dunia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) adalah pada 2009.

"Tidak ada keraguan. Ekspansi ekonomi terpanjang sepanjang sejarah akan berakhir kuartal ini. Sekarang masalahnya apakah kontraksi akan berlangsung lama sehingga menciptakan resesi?" kata Bruce Kasman, Head of Global Economic Research di JP Morgan, seperti dikutip dari Reuters.


Resesi bisa diartikan sebagai kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Survei Reuters menunjukkan perekonomian global masih tumbuh 1,6% tahun ini, jauh melambat dibandingkan pencapaian tahun lalu.

Namun bukan berarti tidak ada resesi. Bisa saja kontraksi terjadi secara beruntun pada kuartal I dan II, kemudian baru bangkit pada dua kuartal berikutnya. Kontraksi pada kuartal I dan II sudah masuk kategori resesi.

Reuters
 
"Kami memperkirakan ekonomi global tahun ini masih tumbuh 1,25%. Lebih baik dibandingkan saat resesi 1981-1982 atau 2008-2009, tetapi lebih buruk dibandingkan resesi ringan pada 1991 dan 2001," sebut riset Goldman Sachs.

Perlambatan ekonomi global sudah pasti terjadi, risiko resesi pun semakin tinggi. Dibayangi oleh ketakutan tersebut, wajar jika investor menjaga jarak dengan instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Jelang Rilis Data Inflasi AS, Bursa Eropa Tetap Tegar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular