Bursa Hong Kong -5%, Seoul -5%, Singapura -6%, Apa-apaan Ini?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 March 2020 08:44
Pelambatan Ekonomi Sudah Pasti, Resesi?
Ilustrasi Bursa Saham Tokyo (AP Photo/Koji Sasahara)
Namun James Bullard, Presiden Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang St Louis, menegaskan bahwa risiko resesi belum terlihat. Menurutnya apa yang terjadi di AS saat ini adalah investasi sedang bergeser ke arah kesehatan, karena ini menjadi fokus utama untuk membuat orang-orang kembali produktif nantinya.

"Coba lihat ini sebagai investasi di sektor kesehatan. Shutdown adalah upaya untuk membuat masyarakat tetap sehat. Anggap saja kita sedang menyimpan tenaga untuk bangkit. Kita harus menjaga rumah tangga dan dunia usaha setidaknya sampai kuartal II," kata Bullard dalam wawancara dengan Reuters.

Akan tetapi, pelaku pasar sudah terlanjur punya bayangan resesi bahkan semakin kuat. Berdasarkan jajak pendapat Reuters yang melibatkan 41 institusi di Benua Amerika dan Eropa, 31 di antaranya memperkirakan ekspansi ekonomi akan berhenti pada kuartal I tahun ini. Kali terakhir perekonomian dunia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) adalah pada 2009.

"Tidak ada keraguan. Ekspansi ekonomi terpanjang sepanjang sejarah akan berakhir kuartal ini. Sekarang masalahnya apakah kontraksi akan berlangsung lama sehingga menciptakan resesi?" kata Bruce Kasman, Head of Global Economic Research di JP Morgan, seperti dikutip dari Reuters.


Resesi bisa diartikan sebagai kontraksi ekonomi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Survei Reuters menunjukkan perekonomian global masih tumbuh 1,6% tahun ini, jauh melambat dibandingkan pencapaian tahun lalu.

Namun bukan berarti tidak ada resesi. Bisa saja kontraksi terjadi secara beruntun pada kuartal I dan II, kemudian baru bangkit pada dua kuartal berikutnya. Kontraksi pada kuartal I dan II sudah masuk kategori resesi.

Reuters
 
"Kami memperkirakan ekonomi global tahun ini masih tumbuh 1,25%. Lebih baik dibandingkan saat resesi 1981-1982 atau 2008-2009, tetapi lebih buruk dibandingkan resesi ringan pada 1991 dan 2001," sebut riset Goldman Sachs.

Perlambatan ekonomi global sudah pasti terjadi, risiko resesi pun semakin tinggi. Dibayangi oleh ketakutan tersebut, wajar jika investor menjaga jarak dengan instrumen berisiko di negara-negara berkembang Asia.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular