
Anjlok 1% Lebih, Sudah Siap Lihat Rupiah di Rp 15.000/US$?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 March 2020 14:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali tertekan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (16/3/2020) hingga menyentuh level terlemah sejak November 2018.
Rupiah sebenarnya mengawali perdagangan hari ini dengan positif, menguat 0,27% ke Rp 14.740/US$. Tetapi penguatan tersebut hanya sesaat, rupiah berbalik melemah hingga 1,15% di Rp 14.910/US$ pada pukul 13:17 WIB di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 13 November 2018.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memangkas suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) dini hari tadi membuat rupiah menguat di awal perdagangan hari ini.
The Fed mengumumkan pemangkasan FFR sebesar 100 basis poin (bps) menjadi 0-0,25%. Suku bunga tersebut menjadi yang terendah sejak tahun 2015.
Selain itu The Fed juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (Quantitative Easing/QE) senilai US$ 700 miliar.
Bank sentral paling powerful di dunia ini juga memangkas suku bunga pinjaman darurat untuk perbankan sebesar 125 bps menjadi 0,25% dan memperpanjang tenornya menjadi 90 hari.
Pemangkasan suku bunga agresif The Fed dilakukan demi melindungi perekonomian AS dari dampak negatif pandemi virus corona.
"Dampak dari penyebaran virus corona akan membebani aktivitas ekonomi dalam jangka pendek sehingga menimbulkan risiko terhadap prospek ke depan. Dengan perkembangan ini, Komite memutuskan untuk menurunkan target suku bunga. Komite akan mempertahankan target ini sampai ada keyakinan bahwa ekonomi sudah membaik, penciptaan lapangan kerja ke titik maksimum, dan stabilitas harga sesuai dengan target," sebut keterangan tertulis The Fed.
The Fed seharusnya melangsungkan rapat kebijakan moneter pada 17 - 18 Maret waktu setempat, tetapi sekali lagi dilakukan lebih awal. Sebelumnya Pada Selasa (3/3/2020) malam (Selasa pagi waktu AS), The Fed mengejutkan pasar dengan pemangkasan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) sebesar 50 basis poin (bps) ke 1%-1,25%. Pemangkasan mendadak sebesar itu menjadi yang pertama sejak Desember 2008 atau saat krisis finansial. Kala itu The Fed memangkas suku bunga 75 bps.
Akibatnya pemangkasan "kejutan" 2 kali, dolar AS mengalami tekanan dan rupiah berhasil menguat di awal perdagangan.
Tetapi hanya di awal perdagangan, setelahnya rupiah justru kembali tertekan. Pandemi virus corona atau COVID-19 masih "menghantui" pelaku pasar dan membuat sentimen memburuk sehingga keluar dari aset-aset berisiko yang menyebabkan outflow di pasar keuangan dalam negeri.
Di pasar saham, investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 397,15 miliar di pasar reguler, sementara di pasar obligasi, yield imbal hasil tenor 10 tahun naik 2 basis poin menjadi 7,316% dibandingkan Jumat pekan lalu.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga sedang turun, itu artinya sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Padahal di awal perdagangan hari ini, yield obligasi tenor 10 tahun menguat 22,8 bps ke 7,068%.
Akibat besarnya outflow tersebut, tekanan kepada rupiah tidak terelakkan. Di kurs di Non-Deliverable Market (NDF), untuk tenor 1 pekan rupiah sudah nyaris Rp 15.000/US$. Sementara tenor 1 bulan hingga 1 tahun sudah di atas level Rp 15.000/US$, dan dan dihargai lebih dari Rp 16.000/US$ di tenor 2 tahun.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.
Berikut kurs terakhir NDF pada perdagangan Senin pukul 13:21 WIB, berdasarkan data Refinitiv
Rupiah sebenarnya mengawali perdagangan hari ini dengan positif, menguat 0,27% ke Rp 14.740/US$. Tetapi penguatan tersebut hanya sesaat, rupiah berbalik melemah hingga 1,15% di Rp 14.910/US$ pada pukul 13:17 WIB di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 13 November 2018.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang memangkas suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) dini hari tadi membuat rupiah menguat di awal perdagangan hari ini.
Selain itu The Fed juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (Quantitative Easing/QE) senilai US$ 700 miliar.
Bank sentral paling powerful di dunia ini juga memangkas suku bunga pinjaman darurat untuk perbankan sebesar 125 bps menjadi 0,25% dan memperpanjang tenornya menjadi 90 hari.
Pemangkasan suku bunga agresif The Fed dilakukan demi melindungi perekonomian AS dari dampak negatif pandemi virus corona.
"Dampak dari penyebaran virus corona akan membebani aktivitas ekonomi dalam jangka pendek sehingga menimbulkan risiko terhadap prospek ke depan. Dengan perkembangan ini, Komite memutuskan untuk menurunkan target suku bunga. Komite akan mempertahankan target ini sampai ada keyakinan bahwa ekonomi sudah membaik, penciptaan lapangan kerja ke titik maksimum, dan stabilitas harga sesuai dengan target," sebut keterangan tertulis The Fed.
The Fed seharusnya melangsungkan rapat kebijakan moneter pada 17 - 18 Maret waktu setempat, tetapi sekali lagi dilakukan lebih awal. Sebelumnya Pada Selasa (3/3/2020) malam (Selasa pagi waktu AS), The Fed mengejutkan pasar dengan pemangkasan suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) sebesar 50 basis poin (bps) ke 1%-1,25%. Pemangkasan mendadak sebesar itu menjadi yang pertama sejak Desember 2008 atau saat krisis finansial. Kala itu The Fed memangkas suku bunga 75 bps.
Akibatnya pemangkasan "kejutan" 2 kali, dolar AS mengalami tekanan dan rupiah berhasil menguat di awal perdagangan.
Tetapi hanya di awal perdagangan, setelahnya rupiah justru kembali tertekan. Pandemi virus corona atau COVID-19 masih "menghantui" pelaku pasar dan membuat sentimen memburuk sehingga keluar dari aset-aset berisiko yang menyebabkan outflow di pasar keuangan dalam negeri.
Di pasar saham, investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 397,15 miliar di pasar reguler, sementara di pasar obligasi, yield imbal hasil tenor 10 tahun naik 2 basis poin menjadi 7,316% dibandingkan Jumat pekan lalu.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun. Saat harga sedang turun, itu artinya sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Padahal di awal perdagangan hari ini, yield obligasi tenor 10 tahun menguat 22,8 bps ke 7,068%.
Akibat besarnya outflow tersebut, tekanan kepada rupiah tidak terelakkan. Di kurs di Non-Deliverable Market (NDF), untuk tenor 1 pekan rupiah sudah nyaris Rp 15.000/US$. Sementara tenor 1 bulan hingga 1 tahun sudah di atas level Rp 15.000/US$, dan dan dihargai lebih dari Rp 16.000/US$ di tenor 2 tahun.
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot.
Berikut kurs terakhir NDF pada perdagangan Senin pukul 13:21 WIB, berdasarkan data Refinitiv
Periode | Kurs |
1 Pekan | Rp14.973,55 |
1 Bulan | Rp15.127,35 |
2 Bulan | Rp15.229 |
3 Bulan | Rp15.322 |
6 Bulan | Rp15.550 |
9 Bulan | Rp15.770 |
1 Tahun | Rp15.958,73 |
2 Tahun | Rp16.678,1 |
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular