Pasar Keuangan RI Bergejolak, Tapi Jangan Samakan dengan 1998

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 March 2020 17:25
Pasar Keuangan RI Bergejolak, Tapi Jangan Samakan dengan 1998
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri berguguran belakangan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun ke level terlemah 4 tahun, sementara nilai tukar rupiah anjlok ke Rp 14.835/US$ hari ini, yang menjadi level terlemah sejak November 2018.

Sepanjang tahun ini, IHSG sudah ambles lebih dari 25%, sementara rupiah lebih dari 6%.

Dalam beberapa dekade terakhir, pasar keuangan Indonesia pernah mengalami gejolak, yang paling diingat tentunya pada tahun 1998, hingga terjadi krisis.


Situasi tersebut tentunya tidak bisa disamakan dengan saat ini. Pelemahan rupiah sepanjang tahun ini "hanya" 6%, sementara di tahun 1998 nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi yang jauh lebih besar.

Di bulan Januari 1998, kurs rupiah sempat merosot hingga 185%, dari Rp 5.400/US$ di akhir 1997 hingga menyentuh Rp 15.400/US$ pada 23 Januari 1998.



Fluktuasi rupiah tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis. Akibat depresiasi besar rupiah, inflasi menjadi meningkat tajam, di sisi lain pembayaran utang negara maupun swasta dalam bentuk dolar menjadi membengkak hingga terjadi gagal bayar. Pada akhirnya Indonesia dilanda krisis moneter.

Akibat krisis yang terjadi, IHSG juga merosot, tercatat bursa kebanggaan Tanah Air ini ambles lebih dari 36% dari akhir Desember 1997 sampai September 1998.

Kemerosotan nilai tukar rupiah saat itu dikatakan akibat aksi para spekulan, selain itu ketidakstabilan politik di dalam negeri juga menjadi awal anljoknya pasar finansial dalam negeri.


Sementara di awal tahun 2020 ini, gejolak yang terjadi disebabkan oleh pandemi virus corona atau COVID-19 yang dikhawatirkan membuat perekonomian global, begitu juga dengan Indonesia, melambat signifikan.

Lembaga riset global, Moody's Analytics, memprediksi virus corona Wuhan (Covid-19) dapat menekan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 menjadi tinggal 5,4% dari angka pertumbuhan tahun lalu 6%.

Selain berdampak pada ekonomi China, ekonomi AS juga akan diprediksi akan melambat 0,6 ppt (persentase poin) dan hanya dapat tumbuh 1,3% pada kuartal I-2020. Tahun ini, ekonomi AS diprediksi melambat 0,2 ppt dari prediksi awal 2% atau artinya hanya tumbuh 1,7%.

Dengan penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi di China dan AS itu, maka dampaknya diprediksi dapat membuat pertumbuhan ekonomi dunia melambat 0,4 ppt menjadi 2,4% tahun ini dari prediksi awal 2,8%.



Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam acara Economic Outlook 2020 CNBC Indonesia di The Ritz Carlton Ballroom, Pasific Place, Jakarta, Rabu (26/2/2020) menyatakan jika perekonomian China melambat 1%, maka pertumbuhan ekonomi RI bisa terpangkas 0,3-0,6%.

Itu baru China saja, belum lagi negara-negara lainnya, tentunya ekonomi Indonesia bisa lebih tertekan akibatnya terjadi arus modal keluar dari RI, sehingga pasar finansial bergejolak. Tetapi tidak hanya Indonesia, pasar finansial global juga mengalami gejolak yang sama, bahkan lebih parah lagi.

Namun, patut diingat penyebab pelambatan ekonomi tersebut adalah COVID-19, artinya ketika pandemi berakhir, perekonomian global akan segara bangkit.

Bank Indonesia sebelumnya menyatakan, dampak COVID-19 ke perekonomian akan V-shape, artinnya pelambatan terjadi dengan cepat, tetapi pulihnya juga cepat.

Pergerakan harga emas belakangan ini berlawanan dengan fitrahnya. Emas merupakan aset yang dianggap aman (safe haven) dan akan menjadi incaran pelaku pasar ketika terjadi pelambatan ekonomi yang memicu gejolak di pasar finansial.

Anjloknya harga emas di pekan ini bisa dikatakan karena logam mulia itu sendiri, dimana nilainya sudah naik tajam.

Harga emas dunia sedang bersinar di tahun ini, bahkan sempat melewati US$ 1.700/troy ons di awal pekan ini. Sejak akhir 2019, hingga ke level tertinggi tahun ini US$ 1.702,56/troy ons yang dicapai Senin lalu, emas sudah menguat lebih dari 12%.

Di sisi lain, bursa saham global mengalami aksi jual yang masif, sehingga merosot tajam. Kemerosotan tajam di pasar saham tersebut tentunya membuat banyak investor mengalami margin call atau pemberitahuan untuk membayar kekurangan dana.

Dengan demikian, pelaku pasar mencairkan keuntungan dari investasi emas, dan memasukkan kembali di bursa saham untuk menghindari kekurangan dana, dengan harapan bursa saham akan bangkit ketika wabah virus corona berakhir, atau ketika para pemangku kebijakan mulai bertindak guna meminimalisir dampak virus corona ke perekonomian.

Hal tersebut membuat harga emas merosot di pekan ini, meski bursa saham terus mengalami aksi jual.



Kemerosotan emas dunia tentunya berdampak pada harga emas batangan yang dijual PT Aneka Tambang Tbk. Pergerakan harga emas dunia merupakan salah satu acuan yang menentukan harga emas Antam. Ketika harga emas dunia turun, maka harga emas Antam cenderung mengikutinya.

Sepanjang pekan ini, sepanjang pekan ini hingga Kamis kemarin, emas dunia jeblok nyaris 6%. Sementara itu harga emas Antam mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah Rp 802.000/gram pada Senin (9/3/2020) lalu, dan merosot 4,86% ke Rp 763.000/gram.

Meski demikian, sepanjang tahun ini harga emas dunia masih mencatat penguatan 3,94%, dan emas Antam sebesar 6,56%.



TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article Kasus Covid Global Naik, Tekanan di Rupiah & IHSG Meningkat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular