RI Terpapar Corona, Emiten Batu Bara Masih Pede

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 March 2020 14:50
Sejumlah emiten tambang di Bursa Efek Indonesia (BEI) buka suara soal dampak industri pertambangan.
Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah emiten tambang di Bursa Efek Indonesia (BEI) buka suara soal dampak industri pertambangan di tengah wabah virus corona (COVID-19) yang kian mengglobal. Dampak corona saat ini sudah terasa di China, sebagai salah satu konsumen energi terbesar di dunia.

Head of Corporate Communication Division
 PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira mengatakan sampai sekarang pihaknya belum merasakan dampaknya secara langsung.

Menurutnya Adaro memiliki banyak pelanggan di berbagai negara dengan portfolio pasar yang berimbang.

"Sehingga Adaro memiliki fleksibilitas untuk shifting volume jika diperlukan," ungkapnya saat dihubungi Kamis, (12/03/2020).

Menurutnya, dari total penjualan Adaro, sebanyak 71% dari volume penjualan ditujukan ke pasar Asia Tenggara dan Asia Timur di luar China.


Sedangkan volume penjualan ke China di 2019 sebesar 12%. Manajemen Adaro optimistis dengan fundamental jangka panjang batu bara yang mendapat dukungan dari wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan

"Seiring upaya mereka mengejar pembangunan ekonomi dan meningkatkan sektor ketenagalistrikan," terangnya.

Hal senada disampaikan Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) Dileep Srivastava. Menurut dia, virus corona sampai saat ini belum berdampak. Kegiatan ekspor masih berlangsung normal.

"Tetapi kita perlu menilai kuartal berikutnya dampak pandemi virus pada pasokan," terangnya saat dihubungi, Kamis, (12/03/2020).

Direktur Keuangan PT ABM Investama Tbk (ABMM) Adrian Erlangga mengakui sampai sekarang China masih negosiasi untuk pengiriman awal April, sehingga sejauh ini tidak berdampak untuk jangka pendek.


Menurutnya untuk komoditas dampaknya lebih ke sentimen harga, sedangkan untuk permintaan tetap dan tidak berkurang.
"Jangka panjang kalau berkepanjangan bisa saja harganya turun karena kebutuhan energi bisa berkurang. Tapi kan corona virus di China sudah mulai berkurang. Harusnya ekonomi mulai menggeliat, tentu kebutuhan energi kembali," ungkapnya.

Sejauh ini, imbuhya, ekspor yang dilakukan masih sama, karena kebutuhan batu bara tidak berkurang. Ditambah dengan semakin banyaknya pembangkit yang menggunakan batu bara, sehingga kebutuhan semakin bertambah.

"Ekspor kita sekitar 65-70% dari produksi kita 15 juta ton. Ke China 5% saja, kita kontrak volume jangka panjang," jelasnya.

Kementerian ESDM sebelumnya menyatakan virus corona kini mulai berdampak pada sektor mineral dan batu bara (minerba). Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan China menutup pasar spot-nya sampai dengan 1 April 2020. Dengan demikian bisa berpotensi pada pasokan batu bara ke negeri tersebut sampai April ini gegara corona.

Meskipun kebijakan China ini bersifat sementara, hanya sampai 1 April 2020, namun telah membuat harga komoditas ini gonjang ganjing. Untuk batu bara kalori 4200 yang sebelumnya berada di kisaran US$ 36 per ton anjlok ke level US$ 32,5 per ton untuk kontrak bulan depan.

"Jadi ini pasti ada pengaruhnya," kata Irwandy Arif saat paparan di Ditjen Minerba, Kamis (12/3/2020).


Dia mengatakan dampak corona saat ini baru menyasar ke batu bara saja, namun jika terus berlanjut akan berdampak juga ke nikel, apalagi menurutnya Nickel Pig Iron (NPI) 100% itu diekspor ke China untuk pabrik stainless steel.

"Belum terlihat dampaknya. Emas yang selama ini paling stabil baik produksi, demand dan harga yang naik turunnya tidak terlalu besar pada periode akhir-akhir ini," imbuhnya.

Kamis kemarin (12/3), harga batu bara dunia untuk kontrak berjangka ICE Newcastle ditutup melemah 0,69% ke level US$ 64,6/ton dan menjadi harga terlemah sejak September 2019.

[Gambas:Video CNBC]




(tas/tas) Next Article Saham Batu Bara 'Kesurupan'! BUMI Melesat Pimpin Kenaikan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular