
IHSG Jeblok 4%, BEI Siap Terapkan Auto Reject Asimetris

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) siap mengambil opsi penerapan auto reject (batas penolakan sistem untuk naik dan turun) secara asimetris guna merespons laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi cukup tajam pada perdagangan sesi pertama, Senin (9/3/2020).
Auto reject asimetris adalah batas penolakan sistem perdagangan yang batas kenaikan maksimum saham (batas atas) dan batas penurunan maksimum (batas) bawah tidak sama.
Sebaliknya auto reject simetris adalah batas atas dan batas bawahnya sama. Biasanya dalam keadaan normal, auto reject simetris yang berlaku sebagaimana pernah dilakukan BEI pada September 2016.
Laksono W. Widodo, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, mengatakan dalam penerapannya nanti, BEI masih akan berhati-hati dalam penerapan auto reject asimetris dan terus memantau perkembangan pasar.
Data BEI mencatat, IHSG turun 3,82% ke level 5.288,21 poin hingga pukul 11.16 WIB. Transaksi saham di bursa mencapai Rp 2,51 triliun dengan volume saham yang diperdagangkan sebanyak 2,36 miliar saham. Pada sesi I, IHSG pun akhirnya ditutup minus 4,22% di level 5.266,28.
"Auto reject atas [ARA] menjadi salah satu opsi [yang disiapkan]," kata Laksono Widodo, kepada CNBC Indonesia, Senin (9/3/2020).
Auto reject asimetris bertujuan untuk meredam penurunan IHSG lebih dalam. Kebijakan ini sudah diterapkan sejak tahun 2015 lalu.
Sebagai informasi, auto rejection adalah penolakan secara otomatis oleh sistem perdagangan saham yang dimiliki oleh BEI terhadap penawaran jual dan atau permintaan beli saham akibat dilampauinya batasan harga atau jumlah efek bersifat ekuitas yang ditetapkan oleh BEI.
Dalam konferensi pers di BEI, sebelumya, Senin (2/3/2020), Laksono menyebut, saat ini batas bawah dan batas atas belum ditentukan. Hal ini bisa mulai dari rentang 5% hingga 15%.
Langkah ARA bisa ditempuh otoritas bursa bila penghentian transaksi short selling (transaksi beli kosong) tidak memberikan dampak yang signifikan. "Langkah yang akan kami ambil adalah ARA asimetris bila itu perlu," kata Laksono.
Pekan lalu, BEI sudah menghentikan transaksi short selling. Sederhananya, short selling adalah mekanisme dalam penjualan saham di mana investor/trader meminjam dana (on margin) untuk menjual saham (yang belum dimiliki) dengan harga tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan mengembalikan pinjaman saham ke pialangnya pada saat saham turun.
Secara teknis, transaksi short selling berkebalikan dengan transaksi saham secara umum. Normalnya, investor membeli saham dengan harapan harganya kemudian naik sehingga ada keuntungan.
Menurut Laksono, penurunan bursa saham belakangan ini, disebabkan oleh sentimen negatif meluasnya penyebaran virus corona yang menekan hampir seluruh bursa saham global dan regional.
Misalnya saja, di sesi pertama, indeks Nikkei terkoreksi paling dalam dengan pelemahan 5,5%, indeks Hang Seng melemah 3,5%, Shanghai Composite melemah 2,41% dan Straits Times anjlok 4,42%.
Selain itu, ketegangan di Timur Tengah dan perseteruan OPEC dengan Rusia menjadi katalis negatif yang memicu pelemahan bursa saham.
"Ada gonjang ganjing mengenai supply minyak dari Saudi," tutur Laksono.
Mengacu Surat Keputusan Direksi BEI Kep-00096/BEI/08-2015 tentang Perubahan Batasan Auto Rejection, batasan auto reject yakni:
• Saham dengan rentang harga Rp 50-Rp 200: batasan auto rejection 35% (naik & turun)
• Saham dengan rentang harga Rp 200-Rp 5.000: batasan auto rejection 25% (naik & turun)
• Saham dengan Rp 5.000 ke atas: batasan auto rejection 20% (naik & turun)
Sementara itu, untuk saham yang baru pertama kali diperdagangkan (hari pertama listing di BEI) di pasar sekunder, batasan auto rejection yang berlaku adalah dua kali lipatnya yakni 70% untuk rentang harga Rp 50-Rp 200, 50% untuk rentang harga Rp 200-Rp 5.000, dan 40% untuk saham dengan harga di atas Rp 5.000.
(tas/tas) Next Article Jadi 'Korban' Corona, IHSG Ambles 6,9%, Asing Masih Kabur!