
Naik 1% Kemarin, Harga Batu Bara Masih Dibayangi Corona
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
06 March 2020 10:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle kemarin ditutup menguat. Wabah virus corona masih menjadi sorotan para pelaku pasar mengingat jumlah korban terus bertambah dan meluas ke berbagai negara di luar China.
Kamis (6/3/2020), harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle naik 1% ke level US$ 66,7/ton. Harga batu bara naik setelah terus-terusan berada dalam tren koreksi sejak 14 Februari lalu.
Bagaimanapun juga, harga batu bara masih dibayangi tekanan akibat wabah virus corona yang meluas ke berbagai negara terutama di kawasan Asia yang merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia seperti Jepang dan Korea Selatan.
Kinerja impor batu bara di negara-negara konsumen batu bara di kawasan Asia juga masih belum menunjukkan perbaikan. Data Refinitiv menunjukkan impor batu bara Korea Selatan untuk jenis batu bara termal maupun kokas pada Februari 2020 hanya sebesar 6,9 juta ton lebih rendah dari bulan Januari (11,4 juta ton) dan Februari tahun lalu (9,4 juta ton).
Pelemahan permintaan batu bara impor dari Korea Selatan juga dipicu oleh penutupan berbagai pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari batu bara. Sejak Desember hingga Februari total sudah ada 15 pembangkit yang ditutup untuk mengurangi polusi saat musim dingin.
Kabar buruknya lagi bagi eksportir batu bara, Korea Selatan dikabarkan akan menutup sebagian pembangkit listrik bertenaga batu bara di bulan ini. Kementerian Energi Korsel berencana untuk menutup total hingga 28 pembangkit dimulai dari 1 Maret kemarin.
Korea Selatan merupakan negara perekonomian terbesar keempat di Asia memiliki kurang lebih 60 pembangkit listrik bertenaga batu bara yang menyuplai 40% kebutuhan listrik negaranya. Sementara 30% disumbang oleh tenaga nuklir dan 20% disumbang oleh gas.
Sentimen negatif juga datang dari Jepang. Suhu udara yang lebih hangat pada musim dingin saat ini, aktivitas ekonomi yang melemah hingga murahnya harga Liquified Natural Gas (LNG) di pasar spot menjadi alasan melemahnya impor batu bara Jepang.
Data Refinitiv menunjukkan impor batu bara Jepang pada Februari sebesar 13,3 juta ton lebih rendah dibanding impor bulan Januari 2020 (16 juta ton) dan Februari tahun lalu (13,8 juta ton). Jepang sendiri merupakan importir batu bara terbesar ketiga di kawasan Asia.
Tantangan lain yang dihadapi adalah Korea Selatan dan Jepang kini menjadi dua negara yang masuk ke dalam 10 negara dengan kasus infeksi paling banyak di dunia. Tentu ini akan mempengaruhi permintaan batu bara dan juga pengiriman komoditas ini ke negara tersebut.
India sebagai importir batu bara terbesar kedua setelah China juga mengalami penurunan impor. Berdasarkan data Refinitiv impor batu bara termal dan kokas India bulan Februari sebesar 16,4 juta ton lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 18,2 juta ton.
India memang sedang mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya, sehingga permintaan terhadap listrik pun juga ikut melambat.
Selain itu, beberapa pembangkit listrik di pantai yang mengandalkan batu bara impor pun sedang mengalami kesulitan dalam menjual listrik dengan harga lebih mahal untuk untuk mengoperasikan generator.
Pelemahan impor pada ketiga negara importir batu bara tersebut menjadi sentimen negatif untuk harga batu bara. Pasalnya Asia sendiri merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia.
Sementara itu S&P Global kemarin memperkirakan perekonomian Asia Pasifik akan terpukul dengan kejadian wabah corona ini.
S&P Global mengestimasi kerugian ekonomi akibat virus corona ini bisa mencapai US$ 211 miliar dengan negara yang paling rentan terkena dampaknya adalah Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Lebih lanjut, S&P Global juga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 dari sebelumnya 5,7% menjadi 4,8%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Ukur Sentimen Pendorong Koreksi Harga Batu Bara
Kamis (6/3/2020), harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle naik 1% ke level US$ 66,7/ton. Harga batu bara naik setelah terus-terusan berada dalam tren koreksi sejak 14 Februari lalu.
Bagaimanapun juga, harga batu bara masih dibayangi tekanan akibat wabah virus corona yang meluas ke berbagai negara terutama di kawasan Asia yang merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia seperti Jepang dan Korea Selatan.
Kinerja impor batu bara di negara-negara konsumen batu bara di kawasan Asia juga masih belum menunjukkan perbaikan. Data Refinitiv menunjukkan impor batu bara Korea Selatan untuk jenis batu bara termal maupun kokas pada Februari 2020 hanya sebesar 6,9 juta ton lebih rendah dari bulan Januari (11,4 juta ton) dan Februari tahun lalu (9,4 juta ton).
Pelemahan permintaan batu bara impor dari Korea Selatan juga dipicu oleh penutupan berbagai pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari batu bara. Sejak Desember hingga Februari total sudah ada 15 pembangkit yang ditutup untuk mengurangi polusi saat musim dingin.
Kabar buruknya lagi bagi eksportir batu bara, Korea Selatan dikabarkan akan menutup sebagian pembangkit listrik bertenaga batu bara di bulan ini. Kementerian Energi Korsel berencana untuk menutup total hingga 28 pembangkit dimulai dari 1 Maret kemarin.
Korea Selatan merupakan negara perekonomian terbesar keempat di Asia memiliki kurang lebih 60 pembangkit listrik bertenaga batu bara yang menyuplai 40% kebutuhan listrik negaranya. Sementara 30% disumbang oleh tenaga nuklir dan 20% disumbang oleh gas.
Sentimen negatif juga datang dari Jepang. Suhu udara yang lebih hangat pada musim dingin saat ini, aktivitas ekonomi yang melemah hingga murahnya harga Liquified Natural Gas (LNG) di pasar spot menjadi alasan melemahnya impor batu bara Jepang.
Data Refinitiv menunjukkan impor batu bara Jepang pada Februari sebesar 13,3 juta ton lebih rendah dibanding impor bulan Januari 2020 (16 juta ton) dan Februari tahun lalu (13,8 juta ton). Jepang sendiri merupakan importir batu bara terbesar ketiga di kawasan Asia.
Tantangan lain yang dihadapi adalah Korea Selatan dan Jepang kini menjadi dua negara yang masuk ke dalam 10 negara dengan kasus infeksi paling banyak di dunia. Tentu ini akan mempengaruhi permintaan batu bara dan juga pengiriman komoditas ini ke negara tersebut.
India sebagai importir batu bara terbesar kedua setelah China juga mengalami penurunan impor. Berdasarkan data Refinitiv impor batu bara termal dan kokas India bulan Februari sebesar 16,4 juta ton lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 18,2 juta ton.
India memang sedang mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya, sehingga permintaan terhadap listrik pun juga ikut melambat.
Selain itu, beberapa pembangkit listrik di pantai yang mengandalkan batu bara impor pun sedang mengalami kesulitan dalam menjual listrik dengan harga lebih mahal untuk untuk mengoperasikan generator.
Pelemahan impor pada ketiga negara importir batu bara tersebut menjadi sentimen negatif untuk harga batu bara. Pasalnya Asia sendiri merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia.
Sementara itu S&P Global kemarin memperkirakan perekonomian Asia Pasifik akan terpukul dengan kejadian wabah corona ini.
S&P Global mengestimasi kerugian ekonomi akibat virus corona ini bisa mencapai US$ 211 miliar dengan negara yang paling rentan terkena dampaknya adalah Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Lebih lanjut, S&P Global juga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China pada 2020 dari sebelumnya 5,7% menjadi 4,8%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Ukur Sentimen Pendorong Koreksi Harga Batu Bara
Most Popular