
Khofifah Diprotes Gegara 2 Tambang Emas di Jatim, kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Gubernur Jawa Timur Gubernur Jawa Timur, Khofiffah Indar Parawansa agar segera menindaklanjuti tuntutan warga untuk mencabut izin PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI), dua anak usaha emiten tambang emas PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).
Selain itu, Walhi juga mendesak segera lakukan evaluasi, penegakan hukum, dan pemulihan akibat aktivitas perusahaan itu.
MDKA, melalui anak perusahaannya, BSI dinilai Walhi terus memperparah kerusakan lingkungan dan ruang produksi petani dan nelayan di Pesanggaran, Banyuwangi, melalui penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu.
Tak hanya di Tumpang Pitu, menurut Walhi, pencemaran kejahatan serupa hendak dilakukan Merdeka Copper Gold, melalui anak perusahaan lain, yakni DSI yang terus memaksa masuk untuk menambang emas di Gunung Salakan, bersebelahan dengan Gunung Tumpang Pitu.
![]() |
Ekspansi ke Gunung Salakan ini setelah mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dari Gubernur Jawa Timur, dengan Surat Keputusan No. P2T/83/15.01/V/2018 pada 17 Mei 2018. IUP eksplorasi DSI itu berlaku hingga 25 Januari 2022 dengan luas konsesi tambang mencapai 6.558,46 hektar.
Dalam keterangan resmi, Walhi menceritakan kronologis. Pada Kamis, 5 Januari 2020, warga melakukan blokade dengan mendirikan tenda perjuangan di lokasi, menghadang aksi tersebut sebagai sikap penolakan warga terhadap rencana penelitian DSI yang membawa tim dari Universitas Trisakti dan Tim Geologi BSI ke Gunung Salakan.
"Warga, secara bergantian melakukan penjagaan selama 45 hari, sambil serta menuntut pemerintah untuk menghentikan rencana jahat ancaman kerusakan lingkungan tersebut, dan segera mencabut izin tambang pihak perusahaan," tulis perwakilan Walhi, dalam siaran pers, dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (29/2/2020).
Alih-alih mendapat respons dari pemerintah, warga justru didatangi oleh pihak kepolisian dan juga perwakilan dari TNI, meminta warga untuk membongkar tenda dan membubarkan diri. Hal serupa juga sudah terjadi sebelumnya, ketika 4 orang warga dilaporkan ke polisi; mulai dari Fitri dan Edy Las (2015), Budi Pego (2017), dan Agus Hariadi (2020).
"Tuduhan yang dialamatkan kepada warga terlapor itu pun cenderung mengada-ada, mulai dari provokator, menyebar ajaran komunisme, dan penganiayaan. Hal tersebut merupakan pola kriminalisasi yang terjadi terhadap para pejuang lingkungan yang hendak mempertahankan lingkungan yang baik dan sehat," tulis Walhi.
Pascaaksi blokade dan tiadanya respons dari pemerintah setempat, warga memutuskan untuk berangkat ke Surabaya pada 15 Februari 2020, guna mendesak Gubernur Jawa Timur mencabut izin tambang BSI dan DSI. Aksi "kayuh sepeda" tersebut menempuh jarak sejauh 310 kilometer, dari Banyuwangi - Jember - Lumajang - Probolinggo - Pasuruan - Sidoarjo - hingga Surabaya.
Di Surabaya, warga menggelar aksi di Kantor Gubernur Jawa Timur, membawa serta surat dan tanda tangan penolakan dari 2.000 warga Pesanggaran, sebagai bentuk hak veto rakyat atas keselamatan diri dan lingkungannya.
Namun, sejak 22 Februari hingga 25 Februari 2020 warga menggelar aksi, Gubernur Jawa Timur tetap diam tak bergemik, masa bodoh dan tidak peduli dengan tuntutan warga yang datang jauh-jauh dari Banyuwangi demi memperjuangkan keselamatan diri, ruang hidup, dan anak cucunya.
"Sikap diam Gubernur Jawa Timur, Khofiffah Indar Parawansa patut diduga bahwa Gubernur Jawa Timur tidak lagi peduli terhadap nasib warga Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan serta abai dalam pelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat," tegas Walhi.
"Apakah sikap diamnya ini, murni karena masa bodoh atau karena ada pengaruh besar, dan tak terlepas dari peran serta para elite politik-pengusaha yang sudah dan tengah menduduki posisi penting di MDKA. Beberapa di antaranya, Tri Boewono selaku Presiden Direktur, Edwin Soeryadjaya selaku Presiden Komisaris, Garibaldi Thohir selaku Komisaris, Sakti Wahyu Trenggono sebagai Komisaris, Mahendra Siregar selaku Komisaris Independen dan Presiden Komite Audit, dan beberapa nama penting lainnya," tulis Walhi.
Sebagai informasi, dalam RUPSLB 13 Januari 2020, Mahendra dan Wahyu Trenggono sudah mengundurkan diri setelah masing-masing diangkat menjadi Wakil Menteri Luar Negeri dan Wakil Menteri Pertahanan.
"Sikap Diam Gubernur Khofiffah Jawa Timur dalam menghadapi massa aksi didepan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Jawa Timur dalam sektor lingkungan hidup tampak bertekuk lutut di hadapan kuasa elit-politik dan pengusaha tersebut, meski taruhannya adalah keselamatan rakyat dan ruang hidupnya di Banyuwangi," tulis Walhi.
CNN Indonesia, melaporkan, warga terdampak tambang emas Tumpang Pitu akhirnya menemui Gubernur Jawa Timur pada Jumat (28/2), setelah sejumlah orang tak dikenal berusaha menghentikan rencana aksi mereka.
Sedikitnya delapan orang perwakilan Desa Sumberagung, dan empat desa sekitarnya di wilayah Kecamatan Pesanggaran, yang mengikuti pertemuan tersebut. Mereka juga didampingi Walhi Jatim dan LBH Surabaya.
Begitu Khofifah tiba di lokasi, pertemuan tiba-tiba digelar tertutup. Para wartawan diminta keluar ruangan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Salah satu perwakilan warga, Nurhidayat, mengaku kecewa dengan pertemuan yang berlangsung selama dua jam.
"Kita sangat kecewa terhadap sikap gubernur yang kurang memihak terhadap masyarakat terdampak di sana," kata Nurhidayat, warga Desa Sumbermulyo, Pesanggaran, Banyuwangi, usai pertemuan.
Menurutnya, Khofifah terus berusaha membantah laporannya tentang dugaan pelanggaran oleh PT BSI dan PT DSI, dengan laporan kelompok yang pro dengan tambang.
![]() |
Usai pertemuan tersebut, Khofifah enggan berkomentar kepada awak media. Ia malah meminta Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur Setiajit untuk memberikan penjelasan.
Setiajit mengungkapkan pihaknya akan melakukan kajian lebih dulu untuk merespons berkas laporan dugaan kerusakan lingkungan yang diserahkan oleh warga. Sebab kata dia ada pula usulan warga yang justru meminta tambang tak ditutup.
Berkas laporan yang diserahkan warga itu sendiri berisi tentang bukti-bukti bahwa PT BSI dan PT DSI telah melanggar Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Itu kan ada dua itu satu menuntut agar tambang di Tumpang Pitu atau PT BSI dilakukan evaluasi atau penutupan. Dan yang kedua ada aksi ribuan orang juga yang mendukung agar tambang PT BSI ini dilanjutkan dan bahkan didukung oleh pemerintah," ujar Setiajit.
Menurut Walhi, keberadaan BSI dan DSI di wilayah tersebut diduga melanggar Pasal 40 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. BSI dan DSI juga diduga melanggar Perda No.1 Tahun 2018 tentang Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Hal itu sebab, alokasi ruang untuk pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Banyuwangi, terutama Kecamatan Pesanggaran, tidak untuk zona pertambangan, melainkan untuk zona pelabuhan perikanan, zona pariwisata, dan zona migrasi biota.
Sementara yang ditemukan di lapangan terdapat Pelabuhan Candrian yang digunakan untuk kegiatan pertambangan seperti menurunkan alat-alat berat.
"Gunung Tumpang Pitu, Gunung Salakan dan gunung-gunung di sekitarnya adalah benteng alami bagi perkampungan komunitas nelayan yang tinggal di pesisir Teluk Pancer dari ancaman angin Tenggara yang terkenal ganas pada musim-musim tertentu. Selain itu, ia juga berfungsi sebagai benteng utama terhadap bahaya ancaman gelombang badai tsunami," tulis Walhi.
(tas/tas) Next Article Bantah Tuduhan Walhi, Merdeka Copper Buka Ruang Dialog
