Corona Kian Ganas, Kilau Emas Malah Meredup, Kok Bisa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
29 February 2020 09:44
Corona Kian Ganas, Kilau Emas Malah Meredup, Kok Bisa?
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia sedang dihebohkan dengan meluasnya penyebaran virus corona dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Pasar yang panik dan diliputi kecemasan membuat para pelakunya mengamankan portofolionya dengan berburu aset-aset minim risiko.

Sejak jumlah kasus baru dilaporkan bertambah signifikan di China pada 20 Januari lalu, harga emas cenderung bergerak naik. Epidemi corona di China sebagai ekonomi kedua terbesar di China membuat prospek ekonomi jadi suram. Jadi wajar saja kalau emas sebagai aset safe haven diburu dan harganya terkerek naik.



Harga logam mulia ini mulai cetak rekor dan mencatatkan reli tak terbendung sejak 18 Februari 2020. Kala itu harga emas dunia di pasar spot ditutup di US$ 1.601,66/troy ons. Setelah itu harga emas terus naik dan mencetak rekor tertingginya dalam tujuh tahun.

Puncaknya terjadi pada 24 Februari lalu di mana harga emas ditutup di level paling tingginya di US$ 1.660,42/troy ons. Namun setelah itu harga emas langsung melorot. Bahkan pada penutupan Jumat (28/2/2020), harga emas anjlok dalam 3,35% ke level US$ 1.587,01/troy ons.



Harga emas kembali keluar dari level psikologis IS$ 1.600/troy ons. Dalam sepekan terakhir tercatat jatuh 3,42% (wow). Di tengah merebaknya virus corona yang kini telah menjangkiti lebih dari 80.000 orang di lebih dari 50 negara emas malah mendapat tekanan jual.

Investor lebih memilih untuk mencairkan cuan dari harga emas yang sudah sangat tinggi. "Ada aksi ambil untung pada emas" kata Xiao Fu, analis Bank of China seperti diwartakan Reuters. "Jadi tak heran jika ada koreksi dari waktu ke waktu apalagi (harga) sudah meningkat secara tajam" tambahnya.

"Mungkin yang dibayangkan adalah, permintaan emas akan tetap kuat dalam kondisi seperti sekarang ini, tetapi yang terjadi malah sebaliknya" tulis analis Commerzbank dalam sebuah catatan.

Lebih lanjut Commerzbank menilai aksi jual emas ini dilakukan para investor untuk mengimbangi kerugian di tempat lain. Maklum sejak lonjakan kasus baru infeksi virus corona di luar China dilaporkan, terjadi tekanan jual yang masif di bursa saham global.

"Ketika sentimen diliputi oleh rasa ketakutan, investor selalu memilih kas dan likuiditas dan memilih menjual investasi yang sudah untung karena margin calls atau untuk menutupi kerugian pada investasi lain" kata Samson Li, seorang analis logam mulia Refinitiv yang berbasis di Hong Kong, melansir Reuters.

Selain faktor di atas, virus corona yang masih jadi wabah di China ditakutkan mengganggu permintaan emas di negara tersebut. Perlu diketahui, China merupakan negara pembeli emas terbesar di dunia dan telah mengungguli India. Hal ini juga jadi sentimen negatif lain yang membuat kilau emas akhirnya pudar.

[Gambas:Video CNBC]



Emas sebagai aset minim risiko kini tengah dilego, pertanyaannya adalah sekarang investor beralih ke mana? Dalam situasi yang penuh kecemasan seperti ini aset safe haven lain yang diburu oleh investor adalah surat utang.

Surat utang pemerintah AS atau US Treasury Bond yang bertenor 10 tahun saat ini menawarkan imbal hasil (yield) terendahnya sepanjang sejarah atau all time low.

Artinya surat utang ini sedang diburu yang menyebabkan harganya naik. Seperti yang diketahui bersama harga dan imbal hasil surat utang memiliki korelasi yang terbalik.



Ketika aset berupa obligasi pemerintah negeri Paman Sam diburu artinya dunia sedang cemas dengan prospek ekonomi global yang suram. Selain itu ekonomi negera adikuasa itu dianggap resilien atau tahan banting terhadap guncangan eksternal.

Memang rilis data ekonomi AS terbaru menunjukkan bahwa performa ekonomi Paman Sang bisa terbilang masih cemerlang di tengah ketidakpastian global seperti sekarang ini. Indikator pertama bagusnya kinerja ekonomi AS adalah angka pertumbuhan ekonomi kuartal IV yang tetap berada di 2,1% dan tidak direvisi pada pembacaan kedua.

Indikator kedua adalah sentimen konsumen yang masih kuat dan terjaga. Berdasarkan data Trading Economics survei sentimen pelanggan versi Universitas Michigan menunjukkan indeks sentimen pelanggan bulan Februari direvisi naik sedikit menjadi 101 dari pembacaan awal 100,9.

Pelanggan masih memandang perekonomian saat ini masih baik, tercermin dari angka indeks 114,8 dari sebelumnya 1113,8. Sementara untuk ekspektasi terhadap perekonomian ke depannya naik lebih rendah dari perkiraan (92,1 vs 92,6).



Data ekonomi AS lain yang menunjukkan bahwa performa ekonomi AS cukup oke adalah data pemesanan barang-barang manufaktur drop 0,2% pada Januari 2020 lebih rendah dari bulan sebelumnya lebih baik dari ekspektasi pasar yang memperkirakan turun 1,5%.

Pada dasarnya dunia saat ini sedang dilanda kekhawatiran. Semua mata fokus pada perkembangan kasus wabah corona yang ditakutkan akan jadi pandemi.

Walaupun belum menyandang status sebagai pandemi, WHO tetap memperingatkan setiap negara untuk tetap waspada dan tidak terlena dengan merasa aman serta kebal dari serangan patogen ganas ini.

"Tidak ada negara yang boleh merasa aman, itu fatal sekali. Virus ini punya potensi menjadi pandemi," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti yang diwartakan Reuters.

Ungkapan itu barangkali tak hanya jadi refleksi bahwa kata ‘aman’ merujuk pada aspek kesehatan saja, tetapi juga aspek lain yaitu ekonomi. Tidak ada yang tahu pasti akhir dari wabah ini. Namun yang pasti tragedi kemanusiaan ini akan jadi sejarah di kemudian hari.




TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article Bank Sentral Gelontorkan Stimulus, Harga Emas Kembali Melesat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular