Rupiah Tembus Rp 14.000/US$, Semua Gara-gara Corona!

Lidya Julita S, CNBC Indonesia
27 February 2020 14:57
Di mana, utamanya disebabkan aksi jual asing di pasar saham yang membuat IHSG drop sekitar 2%.
Foto: Freepik
Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh faktor kombinasi antara global dan domestik. Di mana, utamanya disebabkan aksi jual asing di pasar saham yang membuat IHSG drop sekitar 2%.

Pada pukul 14.30 WIB, nilai tukar rupiah di pasar spot akhirnya tembus level Rp 14.000/US$.

"Kombinasi dari pelemahan di bursa dan di obligasi dan kekhawatiran global karena corana," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (27/2/2020).

Menurutnya, level rupiah saat ini masih baik dan bagus bagi perekonomian. Justru rupiah yang terlalu kuat dinilai tidak bagus bagi perekonomian.



"Kalau menurut saya justru rupiah terlalu kuat nggak bagus ke ekonomi karena penguatan didorong inflow portofolio. Kecuali masuk dari investasi langsung. Posisi Rp 13.500-an kemarin terlampau kuat. Di level Rp 14.000/US$ ini bagus, buat ekonomi cukup baik," kata David.

Di sisi lain, Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana mengatakan, level rupiah masih akan bergantung dari seberapa lama virus corona berlangsung. Jadi selama virus ini masih membuat kekhawatiran maka rupiah akan ikut tertekan.

Sementara itu, Ekonom Maybank Myrdal Gunarto memperkirakan level rupiah pada saat corona ini masih berlangsung ada di kisaran Rp 13.700- Rp 14.200 per US$. Hal ini disebabkan oleh virus corona membuat cadangan devisa terganggu.

"Terutama dari transmisi investment, ekspor-impor, maupun pariwisata. Sementara di sisi lain, investor di pasar saham maupun obligasi juga mengambil momentum ini untuk profit taking. Walaupun di pasar SUN masih ada BI yang terus melakukan stabilisasi serta tidak dapat dipungkiri yield kita masih terlihat sangat menarik," jelasnya.



"Pelemahan nilai tukar hari ini masih merupakan dampak dari pelepasan portofolio asing dari aset emerging market termasuk dari Indonesia ke aset yang dipandang aman terutama obligasi pemerintah AS. Oleh karenanya meningkatnya pembelian obligasi AS menyebabkan yield nya turun hingga 1.30%," papar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia.

Hampir seluruh aset finansial negara emerging market tertekan dan Indonesia termasuk dalam satu basket portfolio EM.

"Kami meyakini setelah risk off global karena wabah COVID-19 ini reda, dana asing akan kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia karena yield obligasi Indonesia masih menawarkan imbal hasil yang tertinggi dalam skala negara Emerging Markets, di tengah besarnya likuiditas global saat ini karena ekspansi likuiditas di negara negara maju," tuturnya.

Untuk informasi yield SBN 10 tahun saat ini ada di kisaran 6,7-6,6%. Secara fundamental kondisi ekonomi Indonesia juga dalam posisi yang lebih resilien dibandingkan negara PEER.

"BI tetap berada di pasar spot, bond, dan DNDF untuk memastikan volatilitas kurs rupiah tetap terkelola dalam batas yang wajar," kata Nanang.

[Gambas:Video CNBC]






(dru) Next Article Menguat Lebih dari 1%, Rupiah Tembus Level 15.620/Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular