Top! Triple Intervention, BI Habis-habisan Jaga Rupiah

Lidya Julita S & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
27 February 2020 14:25
Bank Indonesia (BI) membeberkan alasan nilai tukar rupiah melemah pada hari ini, Kamis (27/2/2020).
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) membeberkan alasan nilai tukar rupiah melemah pada hari ini, Kamis (27/2/2020). BI melakukan intervensi di tiga titik untuk menjaga pelemahan tak terlalu dalam.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan pasar spot hari ini, melanjutkan pelemahan tujuh hari beruntun sebelumnya. Dampaknya, beberapa bank nasional mulai menjual rupiah di harga Rp14.000an per dolar AS.

Pada Kamis (27/2/2020), US$ 1 dibanderol Rp 13.985/US$ di pasar spot. Rupiah melemah 0,43% di pasar spot dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin.

Nilai rupiah belum mencapai Rp 14.000/US$ sampai pada 14.24 WIB siang ini.

"Pelemahan nilai tukar hari ini masih merupakan dampak dari pelepasan portofolio asing dari aset emerging market termasuk dari Indonesia ke aset yang dipandang aman terutama obligasi pemerintah AS. Oleh karenanya meningkatnya pembelian obligasi AS menyebabkan yield nya turun hingga 1.30%," papar Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah kepada CNBC Indonesia.

Hampir seluruh aset finansial negara emerging market tertekan dan Indonesia termasuk dalam satu basket portfolio EM.

"Kami meyakini setelah risk off global karena wabah COVID-19 ini reda, dana asing akan kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia karena yield obligasi Indonesia masih menawarkan imbal hasil yang tertinggi dalam skala negara Emerging Markets, di tengah besarnya likuiditas global saat ini karena ekspansi likuiditas di negara negara maju," tuturnya.

Untuk informasi yield SBN 10 tahun saat ini ada di kisaran 6,7-6,6%. Secara fundamental kondisi ekonomi Indonesia juga dalam posisi yang lebih resilien dibandingkan negara PEER.

"BI tetap berada di pasar spot, bond, dan DNDF untuk memastikan volatilitas kurs rupiah tetap terkelola dalam batas yang wajar," kata Nanang.



Deputi Gubenur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, pada 27 Januari 2020 di saat virus corona mewabah, pasar saham dan keuangan 'jeblok' atau bergerak negatif. Ditambah sektor rill yang juga terkena imbasnya, BI bersama pemerintah melakukan stimulus ekonomi.

Dalam menghalau gejolak moneter, BI melakukan triple intervention. Di antaranya Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), intervensi di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

"DNDF itu instrumen yang belum banyak negara yang menggunakan, tapi ternyata sejak 2018 BI menggunakan instrumen ini, ini sangat efektif untuk memberikan smoothing nilai tukar kita sendiri dan memberikan arah yang lebih real terhadap ke arah ekspektasi exchange rate itu mau kemana," kata Destry dalam panel diskusi pagelaran Economic Outlook 2020 CNBC di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (26/2/2020).

Destry menjelaskan selama ini upaya pemerintah melakukan intervensi di DNDF cukup memberikan kepercayaan bagi investor. Tak terkecuali, saat bank sentral melakukan intervensi di pasar spot untuk menstabilkan rupiah.

Selain itu, BI juga melakukan intervensi di pasar spot, namun diklaim Destry intervensi itu tidak dilakukan secara 'jor-joran'.

"Kita masuk di spot market, tapi tidak banyak. Karena kami melihat ada korelasi erat antara inflow dari offshore terhadap spot market. Ketika mereka menjual bonds, sebagian mereka akan beli di spot dan sebagian maintain di rupiah karena menunggu timing," jelas Destry.

Adapun intervensi ketiga yang dilakukan BI untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar, BI masuk di dalam pasar SBN. Dengan kata lain, BI juga membeli bonds yang diterbitkan oleh pemerintah. Pasalnya, kata Destry, hubungan bonds market dengan rupiah sangat dekat sekali.

"Artinya masuk di bonds market, satu sisi ini convert instrumen keuangan kita, dari SBI dengan SBN, kita ingin membantu stabilkan sektor keuangan rupiah," ucapnya.

Masuknya BI ke pasar bonds, pada akhirnya membuat imbal hasil atau yield SBN yang diterbitkan tetap menarik atau sebesar 6,5%. "Dilihat dari kredibilitas dan dinilai investor sangat positif. Terbukti dengan kenaikan rating oleh moodys dan sebagainya," jelas Destry.





[Gambas:Video CNBC]




(dru) Next Article RI, Jepang, China Hingga Korsel Siap 'Buang' Dolar AS di 2024

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular