Corona Menyerang, Sell Off Bursa Dunia Capai Rp 21.000 T

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
25 February 2020 17:40
Corona Menyerang, Sell Off Bursa Dunia Capai Rp 21.000 T
Foto: Wall Street (AP Photo/Richard Drew)
Jakarta, CNBC Indonesia - Merebaknya virus corona dalam waktu kurang dari dua bulan terakhir memicu tekanan jual signifikan di bursa global, hingga membuat dana menguap senilai US$1,5 triliun dari pasar modal dunia.

Virus bernama COVID-19 yang muncul pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, China ini telah menyebar dan menginfeksi puluhan ribu orang di lebih dari 26 negara di dunia. Data terbaru John Hopkins University CSSE menunjukkan sampai dengan hari ini ada 80.289 orang yang terinfeksi virus mematikan ini. Jumlah korban jiwa mencapai 2.704 orang.

Meski jumlah kasus baru dikabarkan sempat turun, secara mengejutkan lonjakan kasus baru terjadi di luar China, yakni Korea Selatan, Italia dan Iran. Pada Senin jumlah kasus infeksi COVID-19 di Korea Selatan (Korsel) mencapai lebih dari 600 orang.

Di Negeri Ginseng, 977 orang teridentifikasi terjangkit virus ganas ini, dan 10 orang dilaporkan meninggal dunia. Sementara di Italia, jumlah orang yang terinfeksi mencapai 270 dan korban meninggal mencapai 7 orang. Di Iran, jumlah kasus yang dilaporkan mencapai 61 dan korban meninggal menjadi 15 orang. Ini adalah lonjakan signifikan di luar China.

Walau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyatakan wabah ini sebagai pandemi, tetapi dunia mulai mengkhawatirkan dampak ekonomi yang ditimbulkan dari merebaknya virus ganas ini. Tak pelak, pelaku pasar pun diliputi kecemasab.

Kepanikan memicu aksi jual hingga dana senilai US$ 1,5 triliun atau setara dengan Rp 21.000 triliun (estimasi kurs Rp 14.000/US$) menguap di bursa saham global. Nilai tersebut jauh lebih besar dibanding total output perekonomian Indonesia yang hanya sekitar Rp 4.000 triliun.

Indeks FTSE 100 di bursa London terpangkas hingga 100 poin atau ambles 3,3%. Pasar saham negeri Ratu Elizabeth kehilangan US$ 149 miliar. Senada dengan bursa saham London, bursa Zona Euro lain seperti Paris, Frankfurt dan Milan juga terbenam di zona merah.

Bursa saham Amerika Serikat juga mengalami hal yang sama. Tiga indeks bursa saham utama Wall Street mencatatkan koreksi yang signifikan. Indeks Dow Jones anjlok 1.000 poin atau turun 3,5%.

Sementara itu, indeks S&P 500 anjlok 111,86 poin atau melemah 3,35% dan indeks Nasdaq komposit juga mengalami nasib sama, turun 354,78 poin atau terkoreksi 3,76%.
Saat ini investor sedang panik dan ketakutan kalau virus corona ini dapat berdampak pada aktivitas manufaktur yang kembali terkontraksi ditambah dengan konsumsi yang melemah karena orang-orang lebih memilih untuk tinggal di rumah.

Kekhawatiran akan risiko ini membuat aset-aset minim risiko harganya melambung. Emas contohnya, yang terus mencetak rekor harga ke level tertinggi dalam 7 tahun mendekati level psikologis selanjutnya di US$ 1.700/troy ons.

Aset safe haven lainnya adalah surat utang AS (US Treasury) yang bertenor 10 tahun. Investor memburu obligasi pemerintah yang membuat harganya naik. Ketika harga obligasi naik maka yield-nya turun. Yield surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun ini turun menjadi 1,4%.

Para trader bertaruh saat ini bank sentral dari berbagai negara akan memangkas suku bunga acuannya sebagai bentuk stimulus yang diberikan untuk perekonomian guna meredam dampak dari meluasnya virus ganas ini.

Beberapa bank sentral dunia seperti Federal Reserves AS, European Central Bank, Bank of England, begitu juga bank-bank sentral lain seperti Jepang, Australia New Zealand hingga Canada diperkirakan akan melonggarkan kebijakan moneternya.

Walau sedang dilanda panik, Rupert Thompson selaku Chief Investment Officer di perusahaan pengelola dana Kingswood mengatakan bahwa dampak dari merebaknya virus akan cepat berlalu walau semakin parah dalam jangka waktu singkat.

“Aktivitas ekonomi akan secara signifikan terganggu terutama pada kuartal pertama, dengan pertumbuhan ekonomi global mungkin terhenti. Namun kami meyakini bahwa wabah ini kemungkinan mengikuti jejak wabah-wabah sebelumnya yang ditandai dengan rebound di kuartal kedua dan ketiga,” kata Thompson seperti diwartakan The Sidney Morning Herald.

Ketika pasar dilanda dengan kepanikan, investor kawakan asal AS yang namanya sudah tak asing lagi yaitu Warren Buffet justru enggan untuk melakukan aksi jual. Bahkan Buffet menilai ini adalah saat yang tepat untuk melakukan aksi beli.

Melansir CNBC Internasional, Buffet selaku bos Berkshire Hathaway malah melontarkan penyakit reflektif. “Pertanyaannya adalah, apakah prospek bisnis di Amerika Serikat untuk 10 tahun dan 20 tahun mendatang akan berubah dalam 24 atau 48 jam saja? Kami tegaskan kami tidak akan menjual,” katanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular