Sepekan Meroket 3,7%, Emas Dunia Siap Cetak Rekor Tertinggi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 February 2020 13:12
Sepekan Meroket 3,7%, Emas Dunia Siap Cetak Rekor Tertinggi?
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia meroket di pekan ini hingga ke level tertinggi tujuh tahun. Dalam 5 hari perdagangan, emas hanya melemah sekali pada Senin (17/2/2020), setelahnya membukukan penguatan beruntun hingga Jumat kemarin.

Emas mengakhiri perdagangan Jumat kemarin dengan menguat 1,48% US$ 1.643,31/troy ons yang merupakan level tertinggi sejak 14 Februari 2013. Total sepanjang pekan ini emas membukukan penguatan 3,7%.

Meroketnya harga logam mulia ini dipicu oleh "produk turun" dari wabah virus corona atau Covid-19 yang melanda China.

Berdasarkan data dari ArcGis dari Johns Hopkins CSSE hingga saat ini Covid-19 sudah menewaskan 2.360 orang dan menjangkiti 77.661 orang di berbagai negara. Dari angka tersebut, sebanyak 13 korban meninggal di luar China yang merupakan pusat wabah Covid-19.

"Produk turunan" virus corona bisa dilihat dari sisi makro yakni risiko terjadinya resesi, sementara dari sisi mikro adalah penurunan pendapatan perusahaan.



Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%.

Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.

Setidaknya ada tiga negara yang berisiko mengalami resesi, yakni Singapura, Jerman, dan Jepang. Ketiganya memiliki hubungan erat dengan China.
Pemerintah Singapura di awal pekan ini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.

Setelah Singapura, Jerman juga sudah waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.

Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.

Sementara itu raksasa teknologi asal AS, Apple Inc. menyatakan pendapatan di kuartal II tahun fiskal 2020 akan lebih rendah dari prediksi sebelumnya akibat wabah Covid-19, yang menyebabkan gangguan suplai serta penurunan penjualan di China. Apple sebelumnya memberikan prediksi penjualan bersih akan mencapai US$ 63 miliar sampai US$ 67 miliar.



Apple Inc. merupakan perusahaan dengan kapitalisasi pasar lebih dari US$ 1,3 triliun. Sebagai perbandingan nilai perekonomian Indonesia di tahun 2018 sebesar US$ 1,042 triliun, masih di bawah kapitalisasi pasar Apple.

Di tahun yang sama, nilai ekonomi AS sebagai yang terbesar di dunia sebesar US$ 20,5 triliun, itu artinya kapitalisasi pasar perusahaan pembuat iPhone ini sekitar 6,3% dari nilai ekonomi AS.

Tidak hanya itu melansir Investopedia yang melihat data World Bank, hanya ada 14 negara yang nilai ekonominya lebih besar dari Apple.

Maka ketika Apple mengumumkan kemungkinan penurunan pendapatan akan memberikan dampak buruk ke sentimen pelaku pasar. Apalagi banyak perusahaan yang bermitra dengan Apple di berbagai negara, sehingga bursa saham global akan terguncang.

Kombinasi risiko resesi dan penurunan pendapatan perusahaan membuat pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset aman (safe haven) seperti emas.

Penguatan emas dunia di pekan ini juga terjadi saat dolar AS sedang perkasa. Indeks dolar di pekan ini menyentuh level tertinggi sejak Mei 2017.
Ketika dolar AS menguat, harga emas yang dibanderol dengan mata yang Paman Sam tersebut akan menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, permintaan berisiko menurun.

Fakta emas terus melaju naik saat dolar AS perkasa bisa menunjukkan aksi beli yang cukup besar. Hal tersebut tercermin dari jumlah kempemilikan aset di SPDR Gold Trust, ETF berbasis emas terbesar di dunia, sebesar 0,25% 933,93 ton, yang menjadi level tertinggi sejak November 2016.

Harga emas dunia saat ini memang masih cukup jauh dari rekor tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,30/troy ons yang disentuh pada 6 September 2011. Itu artinya, emas sudah lebih dari 8 tahun belum lagi memecahkan rekor tertinggi.

Waktu tersebut sudah cukup lama, misalnya jika dibandingkan dengan rekor tertinggi yang dicetak Wall Street. Indeks S&P 500 misalnya, waktu paling lama memecahkan rekor tertinggi kurang dari 8 tahun, dari bulan Februari tahun 2000 dan baru pecah rekor lagi pada Oktober 2007. Setelahya kurang dari 6 tahun S&P pecah rekor lagi, yakni pada April 2013. Sejak saat itu, S&P 500 membutuhkan waktu kurang dari 1 tahun untuk mencetak rekor tertinggi, hingga saat ini.

Indeks Dow Jones bahkan lebih singkat lagi dari rekor di bulan Januari 2007, dipecahkan kembali pada Oktober 2006. Tetapi Nasdaq membutuhkan waktu yang cukup lama. Indeks sektor teknologi ini membukukan rekor tertinggi pada Maret 2000, sebelum mengalami crash dari dot-com bubble. Nasdaq baru bisa memecahkan rekor tertinggi pada Juli 2015, alias lebih dari 15 tahun.



Harga emas dunia diprediksi naik dua digit persentase di tahun ini, bahkan tidak menutup kemungkinan memecahkan rekor tertinggi.

Dalam survei tahunan LBMA yang dirilis 3 Februari lalu, hasil survei terhadap 30 analis menunjukkan rata-rata harga emas di tahun ini diprediksi di level US$ 1.558,8/troy ons, naik 11,9% dibandingkan rata-rata actual tahun 2019 sebesar US$ 1.392,6/troy ons.

James Stell analis dari HSBC, yang disuervei London Bullion Market Association (LBMA) memprediksi rata-rata harga emas berada di US$ 1.613/troy ons, dengan level terendah di US$ 1.475 dan tertinggi di US$ 1.705/troy ons. Harry Tchilinguirian dari BNP Paribas memprediksi rata-rata emas di level US$ 1.520/troy ons, dengan level terendah US$ 1.425 dan tertinggi US$ 1.680/troy ons.

Sementara itu Ross Norman mantan CEO Sharps Pixely, salah satu broker emas terbesar di London, menjadi yang paling bullish dalam survei tersebut. Norman memprediksi harga emas dunia bisa mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.080/troy ons di tahun ini, dengan level terendah di US$ 1.520/troy ons. Rata-rata harga emas di tahun ini diramal di level US$ 1.755/troy ons.

Untuk diketahui, Ross Norman pada tahun lalu menjadi pemenangan survei harga palladium. Rata-rata prediksi harga palladium yang ia berikan di tahun 2019 menjadi yang paling mendekati rata-rata aktual, dibandingkan dengan analis lainnya.

Kemudian pemenang survei harga emas tahun lalu, Rene Hochreiter dari Noah Capital Markets/Sieberana Research memprediksi rata-rata harga emas di tahun ini di level US$ 1.670/troy ons, dengan level terendah US$ 1.550 dan tertinggi di US$ 1.720/troy ons.

Dalam survei tersebut, LBMA melihat ada tiga faktor utama yang menggerakkan harga emas di tahun ini. Pertama, tensi ekonomi dan geopolitik, misalnya perang dagang, Brexit, dan Pemilu AS. Faktor ini diprediksi memberikan pengaruh sebesar 38% terhadap harga emas dunia.

Kedua, dengan pengaruh 35% adalah kebijakan moneter bank sentral dunia, khususnya bank sentral AS. Ketiga, adalah permintaan dari China dan India yang akan mempengaruhi pergerakan emas sebesar 15%. 12% sisanya dipengaruhi faktor-faktor lainnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA



[Gambas:Video CNBC]







(pap/dru) Next Article Harga Emas Bergerak "Agak Liar" di Pasar AS, Ini Pemicunya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular